FYI.

This story is over 5 years old.

Easy Riders

Citarasa Otentik Timur Tengah di Cikini Membuatku Berdamai Sama Kambing

Aku tak pernah suka rasa daging kambing atau domba. Ternyata restoran yang tepat mampu mengubah pandangan orang bebal sekalipun.

Kuliner Timur Tengah, jujur saja nih, tidak pernah dapat tempat utama dalam daftar masakan yang ingin kulirik. Andai selera ini dibikin peringkat, boleh dibilang olahan kuliner gaya Arab ada di posisi terakhir. Makanan berbumbu berat, ditambah menu utamanya daging-dagingan berlemak dan berbau khas sulit berdamai sama lidah. Maklum, aku berhenti makan daging kambing kurang lebih 20 tahun lalu. Aku jenis orang yang tidak pernah tertarik sama sajian Idul Adha. Parahnya, aku pernah sesumbar, tidak akan ada restoran atau koki hebat manapun yang bisa membuatku makan daging kambing lagi. Rupanya aku salah besar!

Iklan

Kebebalanku luntur ketika beberapa pekan lalu diajak kawan bernama Rizky main ke kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tepatnya ruas Jalan Raden Saleh. Sepanjang jalan tersebut, terdapat deretan restoran menjual masakan khas Timur Tengah. Sebetulnya mencari kuliner Arab di Jakarta bukan perkara sulit. Tapi Rizky, orang yang sangat menggemari olahan kambing, ngotot minta ditemani jalan ke sana. Pasalnya dia pernah diberi tahu temannya, bahwa tak ada yang bisa menyajikannya sebaik restoran di kawasan 'Little Arabia' Cikini. Dia pun jadi semangat mengajakku mampir ke sana.

Restoran Arab di Raden Saleh berkembang alami, awalnya karena perkara bisnis. Warga keturunan Arab sebetulnya tidak tinggal di sana. Komunitas Arab Jakarta dengan konsentrasi populasi terbesar ada di Pekojan atau Condet. Namun dulu, sebelum bisnis restoran menjamur, ada banyak warga Arab-Indonesia berdagang di Cikini, terutama wewangian. Di era Orde Lama, hotel-hotel besar Jakarta terletak di sepanjang Cikini, makanya lokasi itu cocok sekali buat berdagang. Kini, setelah sekian dasawarsa, restoran menjadi simpul pengikat yang membuat warga keturunan Arab selalu menyempatkan datang ke kawasan Raden Saleh. Bahkan Cikini adalah destinasi terbaik turis Timur Tengah yang sedang ke Indonesia untuk melepas kerinduan pada rumah.

"Biasanya yang datang ke sini [kawasan Little Arab] itu orang Arab langsung dari negaranya, mereka menginap di hotel-hotel sekitar Cikini, dan makan di restoran Arab sekitar Cikini juga," kata Priyanto, yang bertahun-tahun mengelola parkir di ruas jalan Raden Saleh.

Iklan

Setelah mendapat penjelasan panjang lebar dari Rizky dan Priyanto, semangatku tak langsung melonjak. Okelah, banyak orang berani menggaransi masakan Timur Tengah di Cikini enak. Ya enak kalau kamu emang suka sama quzi, shawarma, atau martabak. Sementara aku? Nothing to lose deh. Enggak mau banyak berharap.

Jadi, pada malam saat kami bertandang ke Raden Saleh, kami punya dua misi. Rizky ingin menikmati daging kambing, surga dunia buatnya. Sementara aku harus membuktikan ucapan bahwa kambing ataupun domba memang bukan daging yang berjodoh sama lidah. Di lokasi, kami berdua kebingungan sendiri. Restoran yang menjual masakan Timur Tengah benar-benar banyak. Harus pilih mana ya? Kami pun memantabkan hati main ke tiga tempat. Toh kawasan ini adalah tempat terbaik untuk menjajal kuliner Arab.

Restoran Raden Saleh
Ini restoran pertama yang kami masuki. Namanya sederhana saja, mengambil ilham dari lokasi berjualan. Sebelum masuk, kami sudah membaca ulasan yang merekomendasikan tempat ini. Ternyata restoran ini berani memakai nama Raden Saleh, karena statusnya sebagai rumah makan bercitarasa Arab pertama di Cikini. Di sini masakan Timur Tengah dipadukan dengan citarasa khas Indonesia. Ada penyesuaian bumbu, serta kombinasi dengan menu nusantara seperti Rawon. Rizky melahap nasi kebuli kambing yang dia bilang lezat bukan kepalang. Sayang aku masih menahan diri. Baru lewat setengah jam setelah maghrib. Perut masih bisa diajak nego. Jadi kubiarkan Rizky berbahagia sendirian.

Iklan

Amira
Inilah lokasi selanjutnya yang kami datangi. Restoran ini memakai konsep rumahan yang konon punya sajian kambing terbaik di Cikini. Awalnya kami tertarik mencoba rumah makan Amira, karena restoran inilah yang direkomendasikan kawannya Rizky. Namun, sepertinya pemilik enggan jika kami publikasikan. Malam itu nyaris semua bangku penuh. Artinya, rasa masakannya mustahil mengecewakan. "Ke restoran Al Basha saja kalau mau coba masakan Arab, di sana lebih otentik," kata salah seorang pramusaji rumah makan Amira. Wah, boleh juga sarannya. Kami pun coba beralih ke nama yang dimaksud.

Al-Basha
Hanya berjarak 100 meter dari rumah makan Amira, kami tiba di restoran Al-Basha. Neon benderang menyambut kami masuk. Kami disambut para pramusaji yang hampir semua mengenakan pakaian khas Arab. Restoran ini memiliki partisi bernuansa Arab dengan warna dominan kuning emas, hijau olive, dan merah.

Restoran ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah dikenal dengan area semi privat, hanya ada beberapa meja makan yang diletakkan di tempat khusus dengan partisi tembok. Sementara di lantai dua bangunan ini, disediakan area privat bagi keluarga khususnya perempuan bercadar. Semua area makan menggunakan partisi baik dalam bentuk kamar maupun partisi bertirai dengan nuansa Timur Tengah.

Kami pun sepakat duduk di area semi-privat lantai bawah. Sajian pembuka adalah teh rosela dingin dengan rasa yang amat menyegarkan. Tidak lama, datang sesosok perempuan berparas oriental yang ikut memandu kami dalam memilih menu dan memberi informasi makanan yang 'wajib' kami pesan. Perempuan ini bernama Hesty Abu, manajer restoran Al-Basha yang ternyata berpusat di Guangzhou, Cina. Restoran arab tapi manajemen di Tiongkok?

Iklan

"Ceritanya, ownernya melihat peluang, bahwa di Cina mencari masakan halal itu sangat susah" kata Hesty pada kami seraya menjelajahi isi buku menu yang dia rekomendasikan. "Kalau customer kami, rata-rata 70 persen asli Arab atau orang Arab yang menetap di Indonesia, dan 30 persen orang Indonesia."

Restoran ini dimiliki oleh seorang perempuan asal Indonesia yang bersuamikan orang Yordania. Maka dari itu, Hesty menjelaskan bahwa pengaruh Yordania sangat kuat di restoran ini. Salah satu menu dengan pengaruh Yordania yang menurut Hesty patut dicoba adalah Sup Ades atau Sup lentil. Tidak lupa kami pun memilih menu lainnya seperti mixed appetizer yang terdiri dari dua jenis roti. Kami memilih dua jenis roti, roti Al-Basha yang beukuran besar dengan diameter sekitar 30 cm dan Arabic Bread yang berukuran lebih kecil (sekitar 20 cm) dengan tekstur lebih padat.

Rizky mengatakan hummus di restoran ini adalah versi terbaik yang Ia bisa temukan di Indonesia, setelah kepulangannya dari Amerika Serikat setahun lalu. "Susah banget di Indonesia cari hummus enak. Ini hummus paling enak yang gue temuin di Jakarta," ujarnya.

Mandee ayam merupakan sajian yang aku pilih, sebelum main course. Mandee merupakan sajian nasi dan ayam yang dimasak khusus. Restoran ini menggunakan nasi briyani dengan ayam yang sebelumnya telah direbus bersama bumbu khusus dan kemudian dibakar dalam oven tradisional bernama tandoor. Ayam terasa begitu juicy dan lembab hingga lapisan dalam. Kalian boleh percaya penilaianku soal ayam. Gini-gini, aku pernah lho seminggu cuma makan ayam goreng doang.

Tantangan utamaku datang di main course betulan: kambing. Mixed grill yang kami pesan terdiri dari tiga jenis daging bakar, yakni daging ayam, dan kambing yang dipotong sebesar daging barbeque tanpa tusukan.

Aku mengambil satu potong daging kambing bakar yang potongannya cukup besar bagi mulutku. Aku pilih yang tanpa lemak. Di otakku terbayang semua bau kambing yang traumatik itu. Ternyata daging kambing enggak buruk-buruk amat. Tekstur dagingnya empuk dan juicy, tanpa aroma. Hey ternyata aku bisa memakannya tanpa rasa eneg sedikitpun. Selama 20 tahun aku puasa kambing, banyak kawan yang bilang aku bodoh dan sembrono. Aku sering kesal, lalu membela diri atas tuduhan itu. Sekarang sepertinya aku tahu alasan mereka bilang begitu padaku. Ternyata cuma butuh restoran yang tepat untuk mengubah pandangan orang bebal soal keluhuran daging kambing.