FYI.

This story is over 5 years old.

Menghargai Perempuan

Cerita dari Cowok yang Ngebiarin Cowok Lain Ngerendahin Perempuan

“Catcalling sudah jadi semacam bagian dari budaya. Semua orang melakukan ini, jadi saya dan teman-teman melakukan hal yang sama.”
Semua foto oleh penulis

Kampanye #metoo kembali ramai terlihat di media sosial akhir-akhir ini. Banyak perempuan dari seluruh dunia secara publik menceritakan kisah mereka mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Seperti yang diduga, kampanye ini mendapat banyak pendukung namun juga tidak sedikit yang mengkritik. Namun satu pertanyaan yang penting terus menerus muncul: Apa yang kaum lelaki lakukan untuk mencegah pelecehan dan memulai perubahan? Apa cowok berani memperingatkan cowok lain yang berperilaku tidak pantas di kehidupan sehari-hari? Atau sama seperti kasus Harvey Weinstein, kebanyakan lelaki hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa? Untuk mendapatkan jawaban, kami mengajak ngobrol beberapa lelaki di jalanan Melbourne dan mencari tahu apakah mereka bersedia berbagi pengalaman ketika mereka membiarkan lelaki lain melecehkan perempuan dan alasan kenapa mereka diam saja.

Iklan

Rowan, 26

Rowan sering menyaksikan temannya catcall perempuan dan tidak mengatakan apapun

VICE: Halo Rowan, ceritain dong pengalamanmu nonton temen catcall perempuan dan diem aja.
Rowan: Biasanya ini selalu terjadi di situasi normal sehari-hari. Misalnya, suatu waktu kita lagi nongkrong terus seorang perempuan cantik lewat. Salah satu teman berteriak "hey lady" dan bersiul. Semacam itulah.

Menurutmu, kenapa temanmu melakukan itu?
Menurut saya, untuk mendapatkan reaksi. Entah reaksi dari orang yang menjadi objek atau dari teman-teman cowok lainnya.

Bagaimana kamu bereaksi?
Saya cuekin aja. Saya tidak mau memberi perhatian terlalu banyak atau memberikan kepuasan kepada teman-teman yang melakukan.

Kamu tidak mengatakan apa-apa ke dia?
Saya belum pernah mengatakan ke dia secara eksplisit atau menegur dia langsung. Tapi kayaknya mereka sadar tentang perasaan saya dan kenapa tindakan macam itu tidak bisa diterima. Saya merasa untuk menegur dia, saya harus melakukannya di tempat dan waktu yang tepat.

Kapan sih "waktu dan tempat yang tepat" ini?
Menurut saya, ketika hanya ada kami berdua. Saya merasa menegurnya di depan orang banyak bukanlah cara yang tepat. Kalau saya labrak dia di depan banyak teman lain, dia mungkin akan malu. Saya tidak mau mempermalukan teman sendiri.

Wilson, 27

Ketika SMA, sekelompok teman Wilson memperkosa seorang perempuan rame-rame. Dia tidak melakukan apapun.

VICE: Ok Wilson, ceritain dong kisahnya.
Wilson: Ibu saya bekerja sebagai staf di SMA saya dan menjadi konselor perempuan ini. Setelah dia diperkosa, dia menceritakan semuanya ke ibu saya dan ibu saya langsung melapor ke polisi. Tapi entah kenapa setelah beberapa minggu, si perempuan menjatuhkan tuntutan dan cowok-cowok itu semuanya bebas.

Iklan

Seberapa deket kamu dengan cowok-cowok itu?
Mereka adalah teman baik saya. Saya sebetulnya tidak pernah membahas masalah ini secara mendalam dengan mereka karena mereka tidak tahu saya tahu—saya tahu lewat Ibu saya. Saya tahu beberapa cowok lumayan terganggu oleh insiden tersebut. Mereka tidak berpartisipasi di pemerkosaan, tapi mereka memang hadir di sana.

Kamu tidak pernah mengkonfrontasi teman-teman soal ini?
Belum, karena mereka semua lumayan menyeramkan. Saya takut mereka akan menghajar saya. Salah satu cowok yang menonton dihajar hanya karena dia hendak membuka mulut. Tapi ya kemudian tuntutannya dijatuhkan dan semua orang melanjutkan hidup dengan normal.

Apa penyesalan kamu?
Saya berharap dulu ada cara untuk bisa mendukung si perempuan. Saya tidak mengenal dia dan hanya kenal dia dari Ibu saya, tapi saya ingin sekali menyuruh dia untuk melanjutkan tuntutan. Saya ingin sekali bisa menjadi saksi mata dan mendukung dia secara hukum.

Apakah insiden ini telah mempengaruhi cara kamu berpikir dan bertindak sekarang?
Kalau ngubah sudut pandang sih engga, tapi insiden itu memang semakin menguatkan pendirian saya. Kini saya menjabat sebagai senior di sebuah bisnis, dan saya berusaha untuk mengakomodasi semua karyawan sebaik mungkin. Saya bekerja di sebuah bar, di mana kerap terjadi perlakuan tidak menyenangkan ke perempuan—jadi saya berusaha memastikan bahwa perilaku macam ini tidak akan ditolerir.

Iklan

Levi, 24

Ketika masih bersekolah, Levi pernah mengejek seorang perempuan yang aktif secara seksual.

VICE: Hai Levi, ceritain dong pengalamanmu.
Saya tidak pernah secara aktif berpartisipasi dalam pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan. Ibu saya adalah seorang ibu tunggal yang membesarkan tiga anak, jadi saya dibesarkan menghormati perempuan. Namun, ketika masih muda, saya sempat membiarkan perempuan dipermalukan karena ingin diterima oleh anak-anak lain.

Ada momen yang masih kamu ingat?
Salah seorang teman meniduri perempuan dan mengumbar pengalamannya di depan kita semua, menceritakan semua detail kejadian sementara kita semua tertawa dan memanggil si perempuan "perek" dan "jalang". Saya tidak setuju dengan perilaku ini, tapi tidak mengatakan apa-apa. Kemudian kita menghina cewek ini secara terbuka dan mempermalukannya di depan teman-temannya—mengira ini semacam lelucon. Saya tidak setuju dengan kelakuan kami, tapi sangat takut apabila membuka mulut saya akan kehilangan teman.

Kalau kejadiannya sekarang, apa yang akan kamu lakukan?
Saya tidak akan berdiam saja. Kalau kejadian seperti itu terjadi sekarang, saya akan menegur mereka dan menghapus mereka dari hidup saya. Saya beruntung memiliki banyak orang dalam kehidupan saya, baik pria dan wanita, yang tidak berlaku seperti itu.

Kamu masih kenal orang-orang yang berperilaku macam ini?
Saya tahu ada beberapa orang seperti ini di dalam dan luar lingkaran sosial saya. Kadang-kadang saya mendengar insiden macam ini terjadi, tapi untungnya tidak sesering ketika saya masih muda.

Iklan

Apakah kamu pernah menegur orang-orang ini?
Saya pernah menegur, tapi kadang juga tidak. Kadang saya tidak menegur karena alasan yang sama—takut dihakimi oleh kelompok pertemanan. Saya merasa mengkonfrontasi isu ini selalu menjadi masalah.

Tim, 27*

Tim pernah catcall perempuan beberapa kali.

VICE: Hi, Tim, ceritain dong soal pengalamanmu catcall perempuan.
Saya tidak pernah melakukan kekerasan seksual ke siapapun, tapi saya tumbuh di sebuah kota kecil di New South Wales dan catcalling sudah seperti menjadi bagian dari budaya. Semua orang melakukannya. Jadi saya dan teman-teman ikut-ikutan. Kami tidak pernah diajarkan dan tidak pernah memikirkan, perlakuan seperti apa yang baik dan yang salah terhadap perempuan. Barulah ketika saya pindah keluar dari kota kecil, saya mulai mengerti gambaran yang lebih luas.

Sekarang, kamu sudah tidak di kota kecil, apa yang kamu rasakan?
Saya tidak akan melakukan hal seperti itu lagi ke perempuan. Ketika kamu meninggalkan lingkungan seperti itu, kamu bertambah dewasa dan keluar dari mentalitas kota kecil. Saya tidak berusaha mencari alasan untuk kelakuan buruk saya di masa lalu. Saya malu atas kelakuan saya dulu. Tapi sekarang, saya tidak akan melakukan hal macam itu lagi.

Oke, apa yang akan kamu lakukan kalau melihat seseorang catcall perempuan?
Kalau pelaku adalah seorang teman atau kolega, saya sudah pasti akan menegurnya. Tapi kalau ini orang yang tidak saya kenal, gak tau deh.

Apa yang membuatmu ragu-ragu menegur orang yang tidak dikenal?
Wah gak tau juga ya. Menurut saya kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Jujur, saya tidak yakin apa metode yang tepat untuk menghadapi situasi seperti ini. Saya tidak tahu harus melakukan apa.

Ceritain dong pengalamanmu mengkonfrontasi seseorang?
Pernah teman-teman saya dimaki-maki secara rasial dan saya sangat terkejut. Saya merasa tidak ada satupun yang bisa saya lakukan atau katakan di saat itu untuk menghentikan kejadian tersebut.