penelitian

2020 Memang Luar Biasa, Selain Pandemi Kini Muncul Ancaman Kelaparan Global

Laporan terbaru PBB menunjukkan dunia berada di ambang 'bencana kelaparan', sehingga semua negara harus segera mengambil langkah pencegahan.
Tangan orang memegang sebungkus makanan
Tangan orang memegang sebungkus makanan. Foto oleh Md Manik / SOPA Images/Sipa USA via AP Images

Kepala Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan pandemi COVID-19 dapat memengaruhi keamanan pangan, dan meningkatkan risiko kelaparan hingga dua kali lipat pada akhir tahun ini.

Pada Selasa, Direktur Utama Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley memberi tahu Dewan Keamanan PBB dalam konferensi video bahwa 135 juta orang sudah mengalami musibah kelaparan, dan pandemi COVID-19 berpotensi menambahkan angkanya sebanyak 130 juta pada akhir 2020.

Iklan

"Kita berpotensi menghadapi krisis kelaparan dalam beberapa bulan ke depan," kata Beasley. Dia mengatakan berbagai negara harus cepat beraksi agar "pandemi kelaparan" bisa dicegah.

"Kita tidak punya banyak waktu."

Temuan ini dipaparkan dalam Laporan Krisis Pangan Global, laporan tahunan dari lanskap keamanan pangan dunia yang dikerjakan 16 kelompok internasional. Menurut laporannya, sementara krisis pangan di banyak negara—seperti Yaman, Afghanistan dan Suriah—disebabkan oleh konflik, pandemi global hanya akan semakin mengurangi persediaan makanan dan membatasi akses di puluhan negara rentan.

"Ancaman orang mati kelaparan akibat dampak ekonomi COVID-19 lebih besar daripada mati karena virus itu sendiri," kata Beasley, yang baru pulih dari virus corona, saat memberi tahu delegasi Dewan Keamanan PBB.

Laporannya menemukan ada 135 juta orang yang menderita kelaparan di 55 negara. Mereka memiliki “kapasitas yang sangat terbatas atau sama sekali tidak mampu” mengatasi dampak kesehatan atau ekonominya. Ekonom senior WFP Arif Husain menyampaikan pandemi corona bisa menjadi “pukulan keras” bagi mereka yang baru bisa makan jika punya uang dan “berada dalam kondisi keuangan buruk.”

"Covid-19 membuat posisi mereka kian terjepit," kata Beasley menegaskan.

Pandemi corona diperkirakan dapat memengaruhi kehidupan jutaan orang yang sangat rentan dalam berbagai cara. Faktor-faktor seperti lockdown atau ketularan penyakit bisa menghambat pengangkutan dan pengolahan pangan, mengurangi persediaan, dan merugikan para petani yang menggantungkan hidup dari hasil panen mereka. Lockdown mengakibatkan penurunan tajam dalam pengiriman produk, yang berarti buruk bagi negara-negara yang bergantung padanya. Sementara itu, jatuhnya harga minyak akan berdampak buruk bagi negara pengekspor seperti Sudan Selatan.

Iklan

Terbatasnya pergerakan akibat COVID-19 telah berdampak besar bagi pengiriman bantuan kemanusiaan kepada populasi yang membutuhkan. Kawasan timur laut Suriah yang dilanda perang mengumumkan kasus positif pertamanya pekan lalu. Penyaluran bantuan ke sana harus melewati Kurdistan Irak yang sebagian besar rutenya sudah ditutup. Banyak kelompok bantuan meminta Kurdistan Irak untuk segera membuka perbatasannya.

"Sukarelawan wajib diberi pengecualian sehingga mereka bisa memastikan wilayah timur laut Suriah memperoleh cukup bantuan," kata Will Turner, emergency manager dari lembaga Doctors Without Borders.

"Kami memiliki persediaan tambahan yang sangat dibutuhkan… Kami sudah siap pergi, tapi tidak ada jaminan kami bisa masuk Kurdistan Irak untuk mencapai kawasan timur laut Suriah."

Beasley mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera memenuhi janji mereka menggelontorkan bantuan sebesar $2 miliar (Rp31 triliun), dan mengusulkan tambahan dana US$350 juta (setara Rp5,4 triliun) untuk membangun jaringan logistik yang bisa mempermudah pengiriman bantuan pangan dan lainnya di tempat-tempat yang sangat membutuhkan.

Jika masyarakat internasional telah mengambil langkah, dia mengatakan dunia akan menghadapi bencana kemanusiaan terburuk sejak Perang Dunia II.

“Krisis kelaparan adalah ancaman nyata,” ujarnya.

Dengarkan podcast kami di Apple Podcast, Spotify, Stitcher, atau aplikasi lainnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News