FYI.

This story is over 5 years old.

medis

Simak Obrolan Kami dengan Para Pengidap Buta Wajah

Ternyata ada penyakit yang membuat orang tak bisa mengingat wajah, bahkan wajah anaknya sendiri. Namanya prosopagnosia.
Audy Bernadus
Diterjemahkan oleh Audy Bernadus

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic Pernah kah kamu membayangkan jika kamu tidak bisa mengenali wajah teman, orang tua, bahkan diri kamu sendiri?

Itu terdengar seperti muka-muka orang yang blur dari film The Ring, tapi itu sebenarnya dialami oleh ribuan orang di dunia setiap harinya. Kondisi neurologis misterius yang mengidap mereka ini dikenal sebagai perkembangan prosopagnosia, atau buta wajah, dan artinya mereka mengalami kesusahan untuk mengenali muka-muka yang familiar.

Iklan

Diperkirakan ada dua persen manusia mengidap masalah ini, tapi bisa jadi lebih tinggi akibat banyaknya orang yang tidak mengetahui bahwa prosopagnosia itu ada, atau mereka bisa mendapatkan diagnosis resmi atas kondisi tersebut. Ilmuwan sedang bekerja keras untuk mendalami penyakit yang satu ini. Sejauh ini mereka masih belum mampu mengidentifikasi penyebabnya, dan masih belum ada cara untuk menyembuhkannya. “Pilihan terbaiknya sekarang adalah bagi para pasien untuk menghubungi para peneliti yang tertarik untuk mempelajari kondisi mereka. Masih sangat banyak yang kita belum ketahui, termasuk banyaknya orang yang mengalaminya, sehingga kita memang harus lebih banyak melakukan penelitian,” ujar Punit Shah, seorang peneliti dari University of Bath di Britania Raya.

Aku berbicara kepada empat orang yang merasa mengidap penyakit buta wajah.

Stephanie Chase, 28, Saint Paul Minnesota

Aku didiagnosis buta wajah saat berumur 21 tahun. Aku jelas sudah mengetahui pada saat itu ada yang salah dengan diriku, tapi aku tidak terlalu mempedulikannya. Pada saat itu, aku bekerja di sebuah taman bermain air dengan 60 penjaga lainnya. Orang-orang sepertinya mengenalku, tapi aku tidak mengenal siapa-siapa. Pada akhirnya, sampai ke suatu titik ketika seorang yang bagiku asing mendatangiku saat sebuah acara pulang kantor dan berkata, “Hi Stephanie, apa kabar?” dan aku membalas, “Baik. Kita belum pernah bertemu kan?.” Dia terlihat sedikit kaget dan berkata, “Cuy, gue kan kerja bareng lo.”

Iklan

Itu benar-benar membuat ku tersadarkan bahwa ini tidak normal. Saat aku sedang googling, aku terlintas sebuah artikel yang mendaftarkan sepuluh fenomena terbaik dari pikiran. Tiga kalimat menggambarkan prosopagnosia, dan itu cukup membuatku berkata, “Ya ampun, ternyata gue kena kondisi ini ya.”

Aku kemudian didiagnosis secara resmi di London. Para ilmuwan di situ tidak bisa berbuat banyak untuk ku karena tidak ada cara untuk menyembuhkannya. Tapi itu membuatku lebih sadar dan menvalidasi apa yang aku idap, dan ini membantuku. Itu banyak menjelaskan tentang kehidupan ku, dan menyadarkanku bahwa ini telah mempengaruhi ku sejak aku masih kecil.

Aku berjuang untuk mengenali wajah dari orang-orang yang dekat dengan ku. Aku bahkan tidak mengenali diriku saat mengaca. Aku sempat lomba tatap-tatapan dengan seorang asing di depan kaca karena aku pikir itu aku. Aku sebenarnya menatapi orang ini dari atas sampai bawah, berpikir “Gila, gue keliatan oke hari ini,” sampai aku akhirnya sadar bahwa itu bukan aku. Gerakan membuat ku lebih mudah untuk mengenali muka, sehingga umum bagi orang yang mengalami prosopagnosia untuk mempelajari gerakan mulut dari lawan bicara mereka. Tapi, kamu juga akan mencapai titik di mana kamu dikira sedang berusaha mencium lawan bicara mu, dan itu bisa jadi canggung banget.

Menurutku, memberi tahu orang akan kondisi mu adalah cara paling mudah untuk menghadapinya. Karena jika mereka betul-betul ingin mengenalmu lebih dekat, mereka akan mengingatkanmu tentang siapa diri mereka. Tapi, ketika aku berbicara dengan orang yang betul-betul asing, aku ragu untuk memberi tahu mereka soal kondisi ku terlepas dari ucapan ku sebelumnya. Mereka dapat dengan mudah memanfaatkan ku dan aku akan mengalami kesulitan untuk mengenali mereka jika sampai terjadi apa-apa. Tapi, bagiku prosopagnosia hanya sebuah fakta kehidupan. Tidak negatif atau positif, tapi sedikit dari keduanya. Aku lebih sering mengolok diriku lebih dari dari teman-temanku, dan kadang-kadang kita bisa ketawa seru-seruan karena masalah ini.

Iklan

Nicolas Blexman, 36, London, UK

Ketika aku masih kecil, rasanya normal melupakan wajah-wajah orang dewasa. Aku baru sadar ada yang berbeda denganku ketika aku dewasa.

Aku ingat persis sebuah kejadian ketika sesuatu itu rasanya masuk akal, dan aku berpikir, “Oke, kayaknya ada yang enggak bener deh.” Aku sedang nongkrong bareng teman-temanku dari universitas, dan kita melihat seorang perempuan cantik lewat di depan kita. Kami berkomentar bahwa dia terlihat cantik. Enggak lama kemudian, ada cewek cantik lagi lewat, dan aku ngasih tahu ke teman-teman ku. Mereka semua tertawa, karena ternyata itu cewek yang sama.

Situasi kayak gini yang bisa bikin malu, tapi masih lucu sih kalau diinget-iget. Yang enggak lucu itu kalau urusan kerjaan. Satu hari aku lagi ngobrol sama bos saya yang kepalanya plontos mengenai satu project. Lalu kemudian dia keluar ruangan. Beberapa saat kemudian saya papasan dengan orang yang kepalanya plontos juga. Saya enggak yakin kalau itu bos saya atau bukan. Lalu saya ngajak orang itu ngobrol selama 15 menit, tanya-tanya apakah dia bos saya atau bukan, dan ternyata bukan. Yang paling parah waktu mereka berdua berdiri berdampingan, saya sadar mereka benar-benar enggak mirip.

aku bisa membedakan orang dari cara mereka berjalan dan berbicara. Ini teknik yang aku kembangkan untuk bisa membedakan satu orang dengan orang lain. Saya sangat susah untuk membedakan perempuan, khususnya kalau mereka punya rambut panjang yang lurus. Ini karena ini model rambut perempuan yang pasaran. Mengetahui di dunia ini ada yang namanya penyakit buta wajah benar-benar membantu, dan sekarang aku bisa mejelaskan kepada orang-orang tentang penyakit ini. Jadi mereka tidak tersinggung kalau saya tidak mengenali mereka padahal baru kenalan.

Iklan

Kate Hargrave, 38, Leeds, UK

Anak aku sekarang berusia 18. Waktu dia masih kecil, saya harus jemput dia ke sekolah dan aku enggak tahu anakku yang mana. Aku harus tunggu dia yang mendatangiku. Ini hal buruk dan aku tahu ada yang salah, tapi baru tiga sampai empat tahun yang lalu aku tahu soal prosopagnosia.

Saya pernah ngobrol dengan seorang pria di pesta. Pria itu botak dan berkaca mata. Dan ada empat pria yang seperti itu di pesta, aku terus menerus tertukar ketika mau mengobrol dengan salah satu dari mereka. Pria botak itu memberitahu saya mengenai kondisi yang aku alami, dan memberitahu aku bahwa ini bukan sesuatu yang harus membuatku malu. Menurutnya, ini adalah cara otak saya memproses sesuatu secara berbeda. Ini membuat saya merasa lega. Sekarang kalau saya bertemu dengan orang lain, saya akan bersikap seramah mungkin karena mungkin aku pernah bertemu dengan mereka.

Sekitar 12 tahun yang lalu, aku menjadi saksi dari sebuah tindak pidana. Sebuah mobil menabrak sebuah lampu jalan, dan lampu tersebut jatuh ke mobil itu. Kemudian dua orang keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Jelas bahwa itu adalah mobil curian. Sekitar tiga bulan kemudian, polisi meminta saya untuk mengidentifikasi pelakunya. Begitu saya melihat video yang memperlihatkan salah satu pelakunya, saya langsung berkata, “Itu dia!”. Lalu ketika diperlihatkan video lain, saya juga langsung berkata, “Bukan, yang itu ternyata!”. Ternyata polisi memperlihatkan video dengan orang yang sama. Aku sangat kecewa dengan diriku sendiri karena tidak bisa membantu polisi menemukan tersangkanya. Sekarang aku tahu kenapa aku begini, ternyata ada yang namanya kelainan buta wajah.

Iklan

Andrea Ridout, 56, Dallas, Texas

Meskipun aku ingat aku suka salah mengenali orang ketika saya anak-anak, saya sadar bahwa aku memiliki kelainan ketika berumur 20 tahun.

Beberapa tahun yang lalu aku membuka toko perkakas dan sering berada di toko untuk membantu pelanggan. Suatu hari, seorang ibu datang dengan memakai jaket warna jingga. Kami sempat mengobrol sebentar, lalu aku pergi untuk membantu pelanggan lain. Bukan hal yang aneh jika ada beberapa pelanggan yang datang dengan menggunakan pakaian yang mirip seperti agen real estate. Jadi aku menyapa pelanggan lain, pelanggan ini memberikan aku tatapan yang membingungkan. Malahan, aku merasa toko ini penuh dengan perempuan yang mengenakan jaket jingga, dan sepertinya aku terus menerus bertemu dengan perempuan ini. Akhirnya, setelah lima puluh atau enam puluh kali bertemu dengan perempuan ini, dia menyuruh saya untuk berhenti menyapanya dan berusaha untuk memanggil manager toko. Aku segera sadar kalau perempuan yang aku sapa daritadi adalah perempuan yang sama.

Bagiku, ini memang tidak bisa dipastikan. Kadang-kadang aku bisa mengenali seseorang secara cepat. Tapi kadang-kadang aku tidak bisa mengenali orang yang baru saja aku ajak ngobrol. Kadang otak saya mengenali orang dengan membedakan baju yang dipakai, walaupun ini jelas tidak terjadi pada kasus dengan perempuan berjaket jingga.

Aku sering merasa malu kalau tidak mengenali orang, apalagi kalau mereka teman baik atau tetangga. Tapi yang menbuatku lebih takut adalah jika tidak mengenali anakku sendiri. Aku sudah tinggal di Perancis selama beberapa tahun dan kembali terbang ke Paris untuk menghabiskan satu minggu dengan anakku. Ketika sedang menunggu di bandara untuk dijemput. Seorang pemuda mendekatiku dan tersenyum seolah-olah dia mengenalku. Aku tidak mengenali pemuda itu sampai aku sadar bahwa dia mengenakan kaos yang aku berikan kepadanya. Pemuda itu adalah anakku, dan aku merasa sedih ketika aku tidak mengenali dia sejak awal.