FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Kaum Muslim AS Mencoba Bertahan Hidup di Pemerintahan Trump

Retorika anti-muslim yang dikoar-koarkan Donald Trump sebelum menang pemilu AS hampir pasti memicu kejahatan dilatari kebencian. Warga muslim AS menyatakan kondisi yang kini sudah tak aman, jadi memburuk bagi mereka.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Umat muslim Amerika Serikat tak hanya mengkhawatirkan keselamatan mereka Lebih dari itu, organisasi muslim penting di AS terancam dibubarkan saat Trump berkuasa.

Sepanjang kampanye pilpres AS, Trump sudah blak-blakan mengancam kelompok minoritas di Negeri Paman Sam. Warga keturunan Meksiko, kaum imigran, dan kaum Afrika-Amerika sudah kenyang disuguhi retorika brutal yang meluncur dari bacot Donald Trump.

Salah satu target terbesar Trump adalah umat muslim AS. sejak tahun 2015, Trump sudah mengumbar janji melarang dan mendeportasi seluruh muslim Amerika segera setelah politikus 70 tahun itu memenangi pemilu pada 8 November lalu. Sikap anti-muslim Trump malah makin mengeras seiring kampanye bergulir. Awal November 2015, Trump dikutip mengatakan "pasti akan" mendaftar semua muslim di Amerika. Baru-baru, manager kampanye Trump membocorkan bahwa Trump sudah mengantongi strategi berisi lima cara menaklukan semua wilayah mayoritas Islam yang memusuhi Negeri Paman Sam.

Iklan

Seandainya Trump tidak merealisasikan ancamannya, retorika anti-muslim Trump tetap menyakitkan. Penelitian Georgetown University yang dirilis Mei 2016 menunjukkan bahwa komentar-komentarnya telah menyulut beberapa serangan islamofobik. "Data yang kami peroleh menunjukkan bahwa tindakan dan ancaman bernada anti-muslim meningkat pada tahun 2015, dan angka tersebut terus naik seiring bergulirnya kampanya presiden AS," demikian tertulis dalam laporan itu. Umat muslim di Amerika menjadi saksi meningkatnya Islamfobia sejak insiden 9/11.

Menurut surat kabar Washington Post, kejahatan kebencian (hate crime) yang dipicu oleh islamfobia terjadi hampir lima kali lebih sering selepas dua pesawat yang dibajak teroris menabrak Gedung WTO di New York. Sebelum insiden tragis pada 2001 lalu, hanya ada sekitar 20-30 kejahatan kebencian yang dilaporkan. Angkanya melonjak mencapai 500 kasus pasca insiden 9/11. Saat ini, rata-rata terjadi 150-200 serangan terhadap umat muslim Amerika—dan angka tahunan naik terus dari tahun ke tahun.

Jika warga amerika menilik referendum Brexit sebagai contoh dampak hasil pilpres AS terhadap kehidupan sehari-sehari warga AS, ada banyak alasan untuk takut. Retorika yang bersliweran di sekitar Brexit dilandasi xenofobia. Belum lagi, mereka yang pro-brexit memberikan suara mereka sebagai cara menentang imigrasi dan bertambahnya populasi warga asing di Inggris. Segera setelah kemenangan kelompok pro-brexit diumumkan, kejahatan kebencian yang bernada rasis meningkat pesat. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Inggris, "peningkatan serangan bernada rasis dan agama yang dicatat oleh kepolisiian di bulan Juli 2016 naik 41 persen dari Juli 2015."

Iklan

Menurut Namira Islam, Direktur Eksekutif Muslim Anti-Racism Collaborative, sebuah organisasi yang bermarkas di Michigan, banyak muslim Amerika yang ketar-ketir akan masa depan mereka pasca pengumuman hasil pilpres AS. Kini setelah Trump berjaya, beberapa dari mereka percaya keselamatan mereka kini makin terancam.

"Intinya, ini akan membuat mempersulit kehidupan sehari-hari kami," ujar Islam menanggapi kemenangan Trump. Salah satu contohnya, muslim Amerika akan enggan bepergian ke daerah yang memilih Trump."Banyak yang bilang 'ini bikin saya malas keluar kota" karena mereka selalu melihat peta pilpres. Salah satu orang mengaku gugup ketika hendak pergi ke suatu kota. Alasannya sederhana, ia tahu dari peta pilpres kota itu mencoblos Trump."

Lebih jauh, dalam ranah kebijakan pemerintah, eksistensi organisasi muslim kini berada di ujung tanduk. Islam menguraikan bahwa, selagi hasil pilpres mulai diumumkan, Trump membawa Ben Carson ke atas panggung. "Ben Carson baru menyantroni CAIR [Konsil Hubungan Islam dan Amerika Serikat]. Ia bilang pada bahwa CAIR adalah organisasi teroris yang harus diselidiki dan dibubarkan." Saat ini, CAIR adalah organisasi advokasi muslim terbesar di Negara Adidaya.

Islam membeberkan bukti apa ucapan-ucapan sudah mulai berujung pada petaka. Sebulan lalu, sekelompok pria dari Kansas berencana membom beberapa bangunan milik umat muslim jika Trump gagal total di pilpres awal minggu ini. "Mungkin masa banyak orang lain yang berencana serupa, tapi kami tak mengetahuinya. Secara teknis, mereka masih bisa melakukannya," ujar Islam.

Kendati demikian, Trump tak pernah tercatat mengutuk rencana-rencana keji yang dibuat para pendukungnya, yang berdasarkan catatan kriminal mereka, "memilih lokasi target berdasarkan kebencian mereka atas grup tertentu, persepsi mereka terhadap grup yang mereka benci jelas sebuah ancam bagi masyarakat AS, sebuah hasrat untuk menginspirasi grup milisi lainnya dan hasrat untuk 'menyadarkan orang lain'."

Akhir-akhir ini, sebagian muslim Amerika mulai mengambil tindakan praktis demi mempertahankan diri dari serangan islamofobik. Sepasang wanita di New York membuka kelas bela diri khusus muslimah.

Terlepas dari apakah Trump akan menganulir pernyataannya atau tidak, Islam percaya, "Trump tak bisa seenaknya bermain api dengan golongan ata individu islamofobik dan berharap meninggalkan mereka begitu saja kita tak lagi menguntungkan dirinya. Ini sudah menyebalkan, tapi saya pikir ini kita belum sepenuhnya tahu separah apa kondisinya ke depan."