Begini Rasanya Mengidap Fobia Berbicara

FYI.

This story is over 5 years old.

Begini Rasanya Mengidap Fobia Berbicara

Selective Mutism adalah gangguan kecemasan biasanya hilang setelah dewasa. Namun bagi mereka yang terus menderita gangguan ini, aktivitas bicara jadi menakutkan.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Cerita ini awalnya dimuat di The Wireless.

Lima belas tahun lalu, ketika masih 17 tahun, Anna Clark duduk di samping buku hariannya di atas ranjang.

"Saya merasa tengah berada di pelataran bandar udara," tulisnya. "Sementara orang lain bebas di luar pelataran, di padang rumput hijau. Saya merasa seperti terjebak di dalam sebuah kotak."

Anna memang dari dulu anak yang pemalu. Ketika masih kecil, dia selalu membawa selimut satin kesayangannya. Ketika duduk di bangku SD kelas 1, dia kerap menjawab pertanyaan dari gurunya dengan suara yang amat kecil.

Iklan

Namun ketika dia berumur enam tahun, suaranya mulai hilang total. Kecuali dia sedang bersama keluarganya, tidak satu patah katapun bisa keluar dari mulutnya.

Kini di umur 32 tahun, dia masih kesulitan berbicara.

"Dulu misalnya saya lagi duduk di kelas," jelasnya lewat email. "Kemudian guru saya meminta saya membacakan sesuatu keras-keras, saya gak bisa. Rasanya kaku gitu."

Tanpa sadar, kesulitan Anna untuk berbicara terus berlanjut, dan memakan habis masa kecilnya. "Pas SMP, saya bisa ngobrol sedikit dengan beberapa teman, tapi di SMA malah tambah parah lagi," jelasnya. "Saya gak bisa ngobrol dengan siapapun, termasuk guru. Ada beberapa murid yang berusaha mengajak saya berbicara, tapi karena saya tidak bisa merespon, akhirnya semua menghindari saya."

Anna akhirnya dikenal sebagai "si cewek yang gak bisa ngomong." Kalau terpaksa mesti berkomunikasi, dia harus menulis pesan di atas kertas untuk gurunya. Ketika jam istirahat, dia selalu makan di luar sendiri.

Menjadi seorang outsider tidak hanya menyakitkan, tapi juga membosankan. Tanpa pengalaman tipikal seorang remaja perempuan—nongkrong dengan BFF, atau ngobrol ngalor ngidul berjam-jam di telepon—kehidupan sekolah rasanya suram dan sunyi. "Setiap hari begini," tulisnya di buku harian. "Monoton banget."

Kebosanan, analisa diri yang berlebihan, dan kesendiriannya setiap jam makan siang membuat tubuh Anna yang ketika itu berumur lima belas tahun bergejolak. Sempat harus ditarik dari sekolah "dalam waktu yang tidak sebentar" akibat serangan panik dan depresi akut yang melanda, Anna harus ditemani seorang guru khusus ketika akhirnya kembali ke sekolah.

Iklan

"Batas dari bahasa saya adalah batas dari dunia saya," tulis filosofer Ludwig Wittgenstein. Dunia Anna semakin menyusut ketika dunia teman-teman sebayanya justru makin terbuka lebar. Dia masih harus dibantu Ibunya setiap saat, bahkan ketika sudah lulus dari SMA. "Kayaknya gue gak bisa apa-apa deh," tulisnya dalam buku harian.

Pikiran tentang masa depan mulai menganggu: Suatu hari Ibunya akan tua dan renta, dan Annalah yang harus melakukan semuanya. Bahkan kegiatan sederhana seperti berbelanja ke toko kelontong setempat pun terlalu sulit buat Anna. Dinding yang memisahkannya dari dunia normal—di mana semua orang bisa berbicara—terlalu tebal dan tinggi.

Namun kalau sebetulnya dia bisa berbicara, kenapa enggak?

Selective mutism, atau "SM" adalah gangguan kecemasan misterius yang kerap digambarkan sebagai fobia berbicara.

Penderita SM bisa berbicara normal di situasi "tertentu", namun selain itu biasanya diam. Pola yang umum biasanya melibatkan penderita bisa berbicara dengan anggota keluarga di rumah, tapi tidak di tempat umum atau di situasi sosial, termasuk sekolah, universitas, dengan teman kampus, dengan orang asing—di mana pun dan siapapun di luar zona aman penderita.

SM bersifat psikogenik, yang artinya, biarpun SM bermanifestasi secara fisik, tapi akar penyebabnya bersifat psikologis. Penderita SM bukan bisu karena ada yang rusak dengan pita suara mereka, atau karena berusaha menutupi cacat bicara. Namun mereka mempunyai ketakutan akut untuk tidak terdengar aneh atau bodoh. Kuncinya adalah sadar bahwa penderita SM bukan tidak mau berbicara—kebisuan mereka adalah sesuatu yang mereka tidak bisa kendalikan secara sadar, bahkan ketika ini menyebabkan penghakiman dari orang lain yang mereka sangat takuti.

Iklan

"Kita semua bisa menahan untuk tidak berbicara, tapi biasanya tidak dalam waktu lama dan rasanya sangat jauh berbeda dengan tidak bisa berbicara," kata Alison Witgens, seorang ahli terapis bicara di rumah sakit St. George di London yang juga pernah menulis beberapa buku tentang SM. Penderita gangguan ini, jelasnya, "panik sendiri, kaku secara fisik dan tidak bisa mengeluarkan suara apapun."

"Dia bisa pamitan dengan keluarga jauh ketika mereka berkunjung—apabila dia berdiri di belakang pintu atau tembok."

Ketika Anna mencoba berbicara, pikiran rasional tertutup oleh rasa malu yang akut. Tidak ada yang suka saya, pikir Anna. Atau, Semua orang pikir saya aneh. Kemudian badan Anna langsung 'macet'. "Muka saya melilit. Tenggorokan berasa sempit, perut mual, lutut gemetaran…"

Untuk menghindari episode 'kumat' seperti ini, dia menghindari banyak aspek kehidupan: bekerja, makan di luar rumah, berlibur, naik transportasi umum, berbelanja. Beberapa tahun yang lalu, dia tiba-tiba sadar bahwa kalaupun dia bisa berbicara, dia gak akan tahu cara ngobrol dengan orang lain. Bahkan berjalan kaki di luar rumah pun membuat dia mual. Apalagi masuk ke sebuah toko—"Saya selalu takut penjaga toko akan nyamperin dan nanya apabila saya butuh bantuan."

Menyetir juga jelas tidak mungkin. Gimana kalo dia kecelakaan dan mesti keluar mobil untuk ngobrol dengan supir mobil satunya? "Atau kalau saya distop oleh polisi dan ditanya-tanya. Saya pasti gak akan bisa jawab apa-apa dan mereka mengira ada yang salah dengan saya." Anna mendapatkan SIMnya dua tahun yang lalu, tapi itu hanya karena kakak laki-lakinya turut serta ketika dia les mengemudi dan berbicara untuk Anna.

Iklan

Tentu ada pengecualian: Anna bisa pamitan dengan keluarga jauh ketika mereka berkunjung—apabila dia berdiri di belakang pintu atau tembok. Dia juga bisa berbisik "terima kasih" ketika sedang berada di dalam toko.

Anna yang gaya penulisannya fasih namun formal mencerminkan seseorang yang berpendidikan tapi tidak pernah tersentuh percakapan sehari-hari tinggal di sebuah peternakan di Selandia Baru dengan Ibunya. Dia juga mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah. Setiap hari, Anna membantu mengerjakan pekerjaan rumah, mengasuh binatang-binatang, dan mendengarkan musik Kristen kontemporer. Lalu di malam hari dia sering berjalan kaki dan menonton DVD ("Biasanya kita nonton drama sejarah BBC, seperti Pride and Prejudice").

Dia hanya meninggalkan rumah ketika tengah mengunjungi psikiaternya. Dia berkomunikasi dengan psikiaternya dengan cara mengetik pesan di ponsel. "Saya perlu merasa lebih bahagia dan tidak cemas lagi," katanya, "sebelum saya bahkan berusaha untuk berbicara."

"Selective mutism jarang sekali terjadi pada pasien dewasa," kata Dr. Elizabeth Woodcock, seorang psikolog dan direktur Selective Mutism Clinic di Sydney.

Pemerintah Inggris memperkirakan 7 dari 1.000 anak-anak menderita SM, sementara di kalangan remaja kemungkinannya satu dari setiap 1.000, dan di kalangan dewasa satu dari 2.400.

Gangguan kecemasan lainnya bisa muncul seiring mereka tumbuh, tapi SM hampir selalu muncul di pasien ketika berumur tiga hingga enam tahun, kata Dr. Woodcock. "Biasanya ketika masih anak-anak, mereka mendapat pengobatan untuk gangguan ini. Orang tua akan terus mencoba beberapa pengobatan yang berbeda sampai ketemu yang manjur."

Iklan

Maka dari itu, kasus SM di penderita dewasa selalu lebih kompleks. Fakta bahwa kondisi ini terus bertahan hingga penderita dewasa, berarti entah SMnya sangat akut hingga pengobatan gagal, pengobatannya tidak pas, atau justru tidak pernah diobati sama sekali.

Keluarga Anna berusaha sebaik mungkin—mulai dari konselor, obat antidepresan, hingga terapi seni di sekolah. Tapi mereka tinggal di daerah pedesaan dan akses mereka terbatas.

"Ada bukti yang menyatakan bahwa amigdala—bagian otak yang berperan dalam melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi emosi—penderita SM lebih sensitif dibanding orang normal," jelas Dr. Aimee Kotrba, kepala psikolog klinik di Thriving Minds Behavioral Health, sebuah klinik pediatrik di Michigan yang fokus menangani gangguan kecemasan.

Amigdala, yang disebut Dr. Kotrba sebagai "penjaga otak kita," adalah sekumpulan neuron berbentuk kacang almond yang terletak di cuping temporal medial otak yang menangani respon kita terhadap rasa takit. Tugas amigdala adalah mengingatkan kita apabila ada situasi berbahaya. Masalahnya, penderita SM melihat adanya bahaya hampir di segala situasi. Ini menjelaskan kecenderungan mereka untuk "menjadi kaku", jantung berdebar-debar, dan otot menegang.

Kecemasan dianggap sebagai gabungan dari faktor genetik (alami) dan faktor lingkungan (didikan keluarga). Kebanyakan penderita SM datang dari keluarga yang cemas, kata Dr. Kotrba.

Iklan

Sejarah keluarga Anna memang penuh dengan kecemasan, depresi, anoreksia, dan OCD. Jadi resiko Anna mengalami kecemasan tingkat akut memang tinggi. Fakta bahwa kecemasan ini datang bersamaan dengan SM hanyalah nasib buruk yang kemungkinan berakar di kehidupan sekolah.

Namun jangan salah, Anna mempunyai gelar akademis di bidang I.T dan sejarah, "hal-hal yang saya bisa kerjakan tanpa berbicara." Anna harus tinggal dengan kakak lelakinya ketika tengah menyelesaikan kuliahnya dan berkomunikasi dengan tutor lewat email, tapi semua itu dia kerjakan. Namun tidak pernah sekalipun Anna mempunyai pekerjaan ataupun pacar.

Kalau misalkan Anna bisa berbicara, kira-kira seperti apa hidupnya? "Yang pasti saya akan punya pekerjaan dan tidak akan selalu bergantung ke orang lain," katanya. "Mungkin saya akan keliling dunia, menikah dan mempunyai anak. Saya bisa mempunyai teman. Saya bisa mencari tahu apa sebetulnya peran saya di dunia ini."

Dari sedikit ahli medis dalam bidang SM, mereka semua menggunakan kata-kata seperti "tersembunyi" dan "tidak kasat mata" ketika membicarakan kondisi gangguan ini.

Untuk bisa mengerti perkataan mereka ini, kita harus sedikit mundur ke belakang. Selective Mutism pertama kali dilaporkan oleh seorang dokter Jerman bernama Kussmaul di 1877. Dia bertemu beberapa anak yang "menolak" untuk berbicara, dan menamakan gangguan tersebut sebagai Aphasia Voluntaria.

Hingga seratus tahun kemudian, bisa dibilang tidak ada kemajuan apa-apan. Hingga sekitar 1990an, SM diabaikan, terlalu jarang terjadi untuk menarik perhatian khalayak umum. Ada beberapa tulisan yang ditemukan seputar SM, bahkan yang ditulis pada tahun 1960an, namun rata-rata masih menggambarkan kondisi ini sebagai anak-anak yang berusaha memanipulasi orang tuanya dengan cara berkeras kepala tidak berbicara.

Iklan

"Mayoritas orang entah tidak pernah mendengar tentang SM, atau salah mengartikan gangguan ini."

Akhirnya di tahun 1994—berkat kerja keras The Selective Mutism Foundation—nama gangguan ini saat itu, "Elective Mutism," diganti karena penderita tidak "memilih (elect)" untuk tidak berbicara. Semenjak itulah, kesadaran tentang SM semakin meningkat.

Biarpun begitu, jalan yang harus ditempuh masih panjang, kata Toni Pakula, salah satu pendiri Voice, organisasi amal untuk SM asal Selandia Baru. "Mayoritas orang entah tidak pernah mendengar tentang SM, atau salah mengartikan gangguan ini. Banyak orang tua mengeluh bahwa dokter mereka harus googling dulu arti kondisi ini."

Kini di tahun 2017—berkat kehadiran internet—anak-anak penderita SM bisa mendapatkan perawatan. Ada banyak tulisan tersedia seputar gangguan ini. Belum lagi kehadiran support group, penelitian seputar SM yang masih berlangsung, dan tempat praktik spesialis pediatrik.

Namun apabila anda penderita SM dewasa, kenyataannya masih pahit. Tidak ada tulisan, tidak ada penelitian, tidak ada konferensi, dan pastinya tidak ada klinik spesialis.

Intinya, kalau anda penderita SM dewasa, ya semoga beruntung aja.

"Banyak orang bahkan tidak sadar bahwa orang dewasa bisa menderita SM," kata Pakula. "Sangat menyedihkan kalau dipikir betapa banyak penderita SM di luar sana yang mungkin sengsara—terkunci di dalam rumah mereka, di jalanan. Mereka biasanya entah menjadi seorang penderita agorafobia, lari ke narkoba atau alkohol, atau menderita depresi."

Iklan

Kenapa parah banget? Salah satu sebabnya karena penderita SM dewasa sangat jarang. Penyebabnya lainnya adalah penderita SM dewasa cenderung sembunyi dari dunia luar. Kalaupun mereka meninggalkan rumah, kondisi ini tidak terdeteksi. Gangguan ini tidak kentara seperti gagap atau Sindrom Tourette.

Yang paling mengagetkan adalah bagaimana hampir semua badan kesehatan mendefinisikan SM sebagai gangguan anak-anak semata, biarpun penderita SM dewasa dimasukkan dalam dekskripsi resmi DSM. Apa artinya? Anna tidak hanya diabaikan oleh masyarakat umum, tapi juga industri kesehatan.

Carl Sutton yang bekerja di iSpeak—satu-satunya organisasi di dunia yang menangani penderita SM dewasa—telah menyurati beberapa ahli SM tentang ketimpangan ini. "Tapi mereka tidak terbuka soal isu ini," kata pekerja I.T profesional asal Inggris berumur 46 tahun itu. "Mereka cuman bengong ketika saya bilang 'Maaf, tolong informasi di website dan tulisan kamu diganti ya? Soalnya enggak bener informasinya.'

"Orang-orang seperti saya [penderita SM dewasa] itu nyata loh."

Di 2003, Carl melakukan penelitian seputar pengalaman penderita SM dewasa untuk gelar S2nya di Psikologi. Dia mewawancarai 83 orang dari 11 negara yang berbeda dan menemukan bagaimana penderita SM dewasa sangat rentan menderita depresi, tepatnya sekitar empat kali lipat lebih rentan dibanding masyarakat umum.

Hanya sekitar seperempat dari subyek penelitian Carl pernah mendapatkan diagnosis formal. "Jadi," katanya, "untuk setiap orang yang didiagnosa menderita SM, mungkin ada banyak juga penderita di luar sana yang semata-mata belum mendapatkan diagnosis formal saja.

Iklan

"Terkadang saya merasa seakan-akan hanya saya yang peduli soal isu ini."

Di SM Space Cafe, sebuah support group Facebook yang tidak terbuka untuk umum, 553 penderita SM dewasa dari berbagai penjuru dunia saling mendukung sama lain dan mengunggah kutipan-kutipan motivasional ("Memang ini proses yang lama, tapi berhenti berusaha tidak akan membantu").

Seorang perempuan muda mengunggah foto karya seni rumahannya: empat buah kupu-kupu dengan tulisan "Suatu hari, kita akan menemukan sayap dan terbang bebas."

Ada anggota yang mengalami kemajuan, seperti berani berkomunikasi lewat telepon ketika tidak ada yang mengawasi. Namun banyak juga yang malah semakin mundur. "Bisa gak sih menginap SM tapi tetap bahagia?" tanya mereka. "Teknik atau terapi macam apa yang manjur buat kamu?"

Kebanyakan dari mereka tidak pernah menemui dokter, boro-boro yang mengerti tentang SM dan tahu cara menanganinya. Para penderita ini sudah senang bisa menemukan tempat di mana mereka tidak terlalu mencolok: "Dulu saya kirain hanya saya saja yang mengidap penyakit ini." "Sama dong." "Kirain saya sendiri aja." "Kayaknya kita semua berpikir begitu."

"Kamu berteriak di dalam kepalamu, tapi kata-kata tidak mau keluar dari mulut."

Sebagai penderita SM, lambat laun kecenderunganmu untuk tidak berbicara pasti disalahartikan orang lain. Orang akan mengira kamu tidak sopan, atau cacat. Inilah kenapa anggota Space Cafe sangat ramah terhadap siapapun yang berusaha mengerti gangguan ini.

Iklan

Contohnya, Declan pria berumur 30an dari Irlandia yang bekerja sebagai Quantity Surveyor. Dia sama sekali tidak bisa berbicara dengan siapapun di masa mudanya. "Rasanya seperti saya punya hati kedua yang mengeluarkan cairan manis dingin," jelasnya ketika menjelaskan masa kecilnya yang berat. "Ketika tiba saat untuk berbicara, cairan ini membeku dan menutup tenggorokan dan tubuh saya. Semakin saya coba untuk lawan, semakin intens gejala ini."

Sekarang, "saya merasa marah dan malu dan lemah ketika tidak bisa berbicara."

Ketika berumur enam tahun, Declan dibawa oleh orang tuanya menemui terapis bicara. "Kayaknya mereka pikir saya tidak berbicara karena saya tidak tahu cara mengucapkan kata-kata dengan benar," ingatnya, "tapi saya bisa kok. Saya gak tau kenapa saya dibawa ke sana."

Gabrielle yang berumur 28 tahun dari Pennsylvania terbangun suatu hari ketika berumur 9 tahun. Dia bersin-bersin dan suaranya hilang. "Ketika suara saya akhirnya kembali," katanya, "saya tidak pernah gunakan lagi."

Becky, 29 tahun, dari Yorkshire bisa berbicara dengan kebanyakan orang, tapi hanya menggunakan satu atau dua patah kata. "Setelah itu, pikiran saya langsung kosong, jadi mesti ada yang membantu saya." Seakan-akan ada sesuatu yang menghalangi suaramu, jelasnya. "Kamu berteriak di dalam kepalamu, tapi kata-kata tidak mau keluar dari mulut."

Dia tidak bisa bekerja, dan partnernyalah yang harus menelpon sana-sini untuknya. Kalau terserah saya sih, "Saya milih jadi orang yang mudah bergaul dan cerewet—dan sebetulnya saya begini kalau di rumah. Tapi berhubung tidak ada yang melihat saya selain keluarga, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana saya sesungguhnya."

Iklan

Marian Moldan, seorang pekerja sosial klinik menciptakan sebuah kelompok di New York pagi penderita SM dewasa. Dia mengatakan bahwa sangat "penting" bahwa penderita SM dewasa diakui oleh komunitas medis, agar pelayanan medis bagi mereka akan berkembang.

Ada dua hal yang mengkhawatirkan: "Kurangnya pelayanan kesehatan dan upaya menjaga kesehatan diri dari para penderita, karena mereka takut harus berbicara ke dokter, dokter gigi atau spesialis kesehatan." Yang kedua adalah sulitnya para penderita SM untuk mempunyai hubungan romantis. Berhubung masa muda mereka dihabiskan tanpa banyak interaksi sosial, mereka beresiko tinggi menjalani kehidupan sendirian.

Dr. Aimee Kotrba, satu-satunya spesialis kecemasan yang berpengalaman menangani penderita SM dewasa mengatakan bahwa kondisi ini memang "sulit". Dia menjelaskan bahwa penderita jarang mau menyebut kata perawatan karena ini membuat mereka "cemas."

"Kedua, karena penderita SM dewasa memiliki banyak teman dan keluarga yang 'mengakomodasi' gangguan mereka ini, mereka malah akan tidak termotivasi untuk berusaha bicara.

"Dan karena mutism menjadi bagian dari kebiasaan dan kepribadian mereka masing-masing, makin sulit untuk merubah kebiasaan ini."

Biarpun terdengar tanpa harapan, kata Dr. Kotbra, perawatan yang efektif tetap mungkin: "Kuncinya adalah motivasi atau gairah untuk berubah, dan kemauan untuk menantang diri mereka sendiri untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, biarpun ketika rasanya berat.

Iklan

"Penting juga untuk mencari tahu apabila psikolog mereka berpengalaman menangani penderita kecemasan—terutama kecemasan sosial atau SM dewasa—dan apabila mereka menggunakan terapi perilaku kognifif. "

Namun tidak semua orang bisa sehebat Kotrba. Belum lagi, terapi itu mahal biayanya. Apalagi kebanyakan penderita SM tidak mampu mendapatkan pekerjaan.

Di kebanyakan negara, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bersubsidi ataupun umum membutuhkan surat rekomendasi dari dokter praktek umum. Ini adalah tantangan lainnya, kata Toni Pakula dari Voice. "Dalam kebanyakan kasus, menemui dokter sendiri adalah tugas yang sulit bagi penderita SM."

Bahkan jika mereka sanggup mendapatkan pelayanan dengan harga murah, "Saya tidak yakin di dalam industri kesehatan ada orang yang berpengalaman menangani penderita SM. Jadi mendapatkan bantuan—dan mendapatkan pelayanan yang tepat dari orang yang tepat—menjadi misi yang sulit."

Penulis Maya Angelou mengidap SM ketika berumur 8 hingga 13 tahun. "Saya menganggap seluruh tubuh saya seperti telinga," tulisnya, "jadi saya bisa pergi ke tempat umum dan duduk tenang, menyerap semua bunyi di sekeliling. Kemampuan inilah yang membuat saya bisa bertahan hingga hari ini."

"Kalau anda tidak bisa berbicara, anda akan menjadi pendengar yang baik," tulis Carl Sutton dari iSpeak. "Anda bisa hidup di dalam pikiran dan perasaan orang lain dan mempunyai rasa empati yang mendalam. Memang tidak semua orang seperti ini, dan secara umum mengidap SM itu menyiksa, tapi dengan mengalami sulitnya berkomunikasi, anda akan belajar tentang apa artinya menjadi seorang manusia."

Bagi Anna, mencari secercah hal positif dari memiliki gangguan SM bukan hal yang mudah. Depresinya sedang parah-parahnya dan dia kehabisan tenaga.

"Banyak orang yang mengatakan bahwa memiliki SM menjadikan mereka pendengar dan pengamat yang lebih baik, tapi rasanya saya sama-sama aja," jelasnya via email.

"Saya justru merasa kecemasan saya membuat saya lebih tidak peka lingkungan. Saya kangen mendengarkan hal-hal yang penting. Tapi memang memiliki SM memberikanmu kemampuan untuk berempati dengan orang-orang yang terisolasi atau berbeda.

"Terima kasih,

"Anna."

*beberapa nama telah diganti untuk melindungi identitas.