FYI.

This story is over 5 years old.

urusan cinta

Hal-Hal Konyol yang Dilakukan Perempuan Arab Untuk Menggagalkan Penjodohan

"Aku berdandan secupu-cupunya agar calon suamiku tak berselera melihatku"
Foto via Zainubrazvi

This article originally appeared on VICE Arabia.

Jodoh menjodohkan adalah sebuah tradisi yang terlanjur mendarah daging dalam masyarakat Arab. Di beberapa keluarga Arab, adalah tugas dan hak orang tua untuk mencarikan jodoh anak perempuannya. Masalahnya, calon pilihan orang tua tak selalu sreg dengan anak-anak mereka. Alhasil, perempuan-perempuan muda Arab kerap kali harus memutar otak untuk menemukan cara menyelamatkan diri dari perjodohan yang diatur orang tua mereka.

Iklan

Saya ngobrol dengan empat orang perempuan Arab tentang cara yang mereka tempuh agar tak dinikahkan dengan calon pilihan orang tua mereka. Mereka bercerita tentang cara-cara nekat yang mungkin tak pernah kita pikirkan, mulai dari yang melibatkan dandanan yang konyol, surat nikah aspal hingga keputusan untuk mendadak jadi perokok dan penghisap sisha.

Mary, 25, Suriah

"Setelah kedua orang tuaku bercerai, aku tinggal di rumah bibiku bersama tiga anaknya lelakinya yang sudah kuanggap sebagai saudara kandung. Begitu umurku 19 tahun, bibi memutuskan sudah waktunya aku menikah. Dia memilih anak keduanya sebagai calon suamiku. Umurnya setahun lebih tua dariku. Kami kuliah di universitas yang sama. Tentu saja, aku menolak. Soalnya, aku seperti disuruh menikah dengan saudara kandung sendiri. Sayangnya, bibi tak peduli. Di saat yang sama, Amjad—anak bibi yang dijodohkan denganku—juga menentang rencana sang ibu. Alasannya? Dia sudah punya pacar. Cuma ada satu masalah: Amjad tak tega menolak keinginan ibunya,”

"Aku mencoba menyakinkan kedua orang tuaku agar turun tangan mencegah pernikahan ini terjadi. Nahasnya, mereka ogah mendengarkan permintaanku. Intinya, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Satu opsi yang tersisa: aku harus ngomong langsung ke bibi bahwa Amjad diam-diam sudah menikahi pacarnya. Untungnya, pacar Amjad okay-okay saja dengan rencanaku lantaran dia mencintai Amjad dan tak mau kekasihnya menikahiku. Pacar Amjad dan aku lantas membuat surat nikah palsu. Tak mirip-mirip amat sih, tapi setidaknya bibi saja percaya saja. Dia malah ngebet segera bertemu dengan ‘menantunya.” Untungnya lagi, pacar Amjad tahu betul cara menjadi istri yang baik dalam ukuran masyarakat Arab. Amjad awalnya tak tahu menahu dengan semua ini sampai ibunya bertanya tentang keabsahan status pernikahannya. Beruntung, Amjad santai dan berpura-pura sudah menikah. Beberapa bulan berselang, aku pindah ke rumah Ibu. Kami tinggal satu atap sekarang. Amjad dan pacarnya akhirnya menikah secara resmi. Secara tak langsung, aku punya sumbangsih dalam pernikahan mereka.

Iklan

Miral, 26, Palestina

"Begitu aku dapat kabar kalau orang tuaku sudah menemukan calon suami buatku, yang terbersit di pikiranku adalah bagaimana caranya agar pria itu membenciku. Dia bilang dia enggak suka bau rokok, ya sudah, aku langsung merokok dan menghisap shisha. Dia bilang dia suka perempuan berambut panjang. Aku langsung memotong pendek rambutku. Dia juga bilang dia sangat menggemari musik klasik. Okay sip, aku langsung bikin playlist berisi lagu-lagu pop dan memaksa pria itu mendengarkannya. Begitu dia bilang dia ingin punya keluarga besar, aku lempeng saja bilang aku enggak suka anak kecil. Aku juga tak malu-malu mengenakan pakaian yang agak terbuka kalau dia mengajakku ngedate atau ke pernikahan temannya,”

“Ternyata, kendati aku berusaha bikin dia keki, pria itu menolak putus denganku. Malah dia berusaha menyakinkanku bahwa dia suka aku apa adanya. Aku agak curiga mendengarkannya. Paling banter, dia cuma sedang memasang perangkap. Misalkan, aku setuju menikahinya, pria ini pasti akan jadi suami galak yang tak mengizinkan aku menjadi diriku apa adanya. Aku harus segera menemukan cara agar dia mau meninggalkan aku. Akhirnya, aku bikin akun Facebook abal-abal dengan nama Emma dan mengisinya dengan foto-foto temanku yang tinggal Rumania dan bekerja sebagai model. Setelah itu, aku menggunakan akun itu untuk mengirimi calon suamiku pesan-pesan yang agak seronok. Tunanganku langsung membalasnya. Dalam balasannya, dia mengaku-ngaku bila dirinya masih menunggu gadis yang tepat untuk dinikahi.”

Iklan

“Setelah aku merasa cukup mengumpulkan komentar-komentarnya di Facebook, aku langsung melabraknya. Aku bilang aku menemukan pesan dari perempuan lain di ponselnya. Setelah kami putus, aku masih ‘nyambi’ jadi Emma untuk beberapa saat. Aku baru kabur setelah dia mengajakku melakukan video chat.”

Asma’a, 35, Yordania

"Aku terlahir dalam sebuah keluarga besar. Aku punya satu saudara perempuan dan empat saudara laki-laki. Tumbuh besar bukan perkara gampang bagiku. Hubunganku dengan ibu tak bisa dibilang mulus. Dia tipe orang yang kolot, bersumbu pendek dan tak pernah alfa menentang apa yang aku lakukan.”

"Ketika aku harus pergi dari rumah untuk kuliah, aku menggunakan masa-masa kebebasanku untuk party-party, jadi anggota parpol dan pacaran dengan lelaki yang lebih muda usianya. Sayang, begitu orang tuaku tahu aku punya pacar, mereka langsung memutuskan untuk menikahkanku. Lalu, pada suatu hari, ibu mengajak aku dan saudariku makan malam. Kami dipertemukan dengan seorang wanita yang tengah mencari calon istri bagi anaknya. Konon, sang anak adalah seorang pria tajir yang tinggal di Negeri Paman Sam. Aku menolak tawaran wanita itu dan, tentu saja, ibuku ngamuk mendengarnya. Dia menuduh aku tak lagi perawan dan baginya itu satu-satunya alasan kenapa aku menolak peluang menikahi seorang lelaki kaya. Yang bikin aku sedih, ayah memakan mentah-mentah tuduhan ibu. Aku akhirnya dilarang kembali kuliah.”

Iklan

“Akhirnya, aku terpaksa meminta pertolongan saudaraku. Dia lantas bilang kepada kedua orang tuaku kalau dirinya sudah bertemu dengan pria tajir yang dijodohkan denganku. Katanya, pria itu tukang mabuk dan kerap main tangan. Tentu saja, ini bohong belaka. Untung, ibu percaya-percaya saja dan membatalkan rencana perjodohanku. Setelah pacarku lulus, dia melamarku. Lamarannya sempat ditampik orang tuaku beberapa kali. Tapi pacarku tak patah arang. Dia keukeuh melamarku sampai orang tuaku menyerah dan menyetujui pernikahan kami.”

Dalia, 32, Mesir

"Ayah sebenarnya tak pernah menyinggung kehidupan percintaanku. Justru ibulah yang gatal menjodohkanku. Aku, untungnya, selalu punya cara untuk menolak calon yang disodorkan ibu. Alasannya macam-macam. Aku pernah bilang kalau calon suamiku botak dan aku tak menyukai. Pernah juga, aku bilang calon pilihan ibu ketuaan. Bahkan, aku pernah menolak calon pilihan ibu cuma karena dia pakai kaos kaki hijau. Alasan-alasan konyol ini terpaksa aku ambil lantaran tiap kali aku bilang aku ingin sekolah setinggi-tingginya dan menikmati masa mudaku, ibu selalu mengungkit-ungkit kewajiban kami meneruskan budaya nenek moyang banga Arab.”

"Awalnya, aku pikir setelah lulus kuliah, ibu tak gencar memaksaku menikah dengan calon pilihannya. Aku juga mengira aku diperlakukan sebagai perempuan dewasa yang bisa menentukan sendiri hidupnya. Namun, ibu malah mengagetkanku saat suatu hari dia bilang dia sudah menemukan calon yang pas untukku. Belum beres keterkejutanku, ibu bilang keluarga pria itu akan datang malam itu juga. Aku geram dan merasa direndahkan. Kami sempat beradu argumen selama satu jam. Ibuku tak mau mengalah. Dia tetap ingin menjodohkanku.”

"Aku akhirnya bersedia menemui calon suami dan keluarganya. Akan tetapi, ibu juga harus diberi pelajaran, pikirku saat itu. Begitu calonku sampai, aku masuk kamar sambil berpikir apa yang dilakukan perempuan-perempuan dalam film-film komedi romantis jika dihadapkan dengan situasi seperti ini. Beruntung aku dapat ide untuk berdandan secupu-cupunya agar calon suamiku tak berselera melihatku. Alhasil, aku mengobrak-abrik lemari bajuku, memilih beberapa baju guna menghasilkan perpaduan busana paling norak yang pernah aku pakai. Aku akhirnya memakai blouse warna-warni, sebuah jins belel dan sendal kamar mandi. Belum puas dengan itu, aku melengkapinya dengan make up ala anak lima tahun. Pendeknya, aku terlihat cupu dan bodoh.”

“Beberapa menit kemudian, aku masuk ruang tamu, yang sudah penuh dengan calon-calon iparku sambil membawa nampan berisi seduhan kopi paling menjijikkan dalam sejarah manusia. Melihat penampilanku, ayah sampai harus mati-matian menahan tawa sementara ibu mulai gugup. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan dan di wajahnya terpampang senyum penuh pura-pura khas ibu yang sudah sangat aku akrabi. Selang beberapa saat, saudariku meminta izin untuk masuk kamar. Sebelum dia benar-benar meninggalkan ruang tamu, dia sudah kadung tertawa terbahak-bahak.”

“Selama beberapa menit, semua yang duduk di ruang tamu cuma bisa cengok dan diam. Aku menatap ibu dan bilang ‘Saya pamit dulu. Biar kalian saja yang ngobrol tentang masalah orang dewasa.’ setelah keluarga calon suamiku pulang, aku langsung menemui ayah. Dia tertawa terpingkal-pingkal dan langsung memelukku. Aku minta ayah melindungi dari rencana perjodohan yang ibu bikin. Ibu, tentu saja, naik pitam karena tingkah lakuku. Untungnya, ayah memintanya tak menggangguku karena toh aku harus menyelesaikan pendidikanku dulu. Begitulah akhir dari rencana-rencana perjodohan yang digalang Ibu.”