FYI.

This story is over 5 years old.

autisme

Sering Cerewet Soal Autis, Kaum Antivaksin Sebenarnya Tak Paham Autisme

Makanya jangan percaya sama mereka. Orang antivaksin itu kepedean, merasa pakar kesehatan masyarakat (hasil googling), dan dari hasil penelitian justru sangat ga paham soal autisme.
Science Source/Getty Images

Kendati terdapat konsensus dunia medis bahwa vaksinasi berjasa menghambat penyebaran berbahaya sekaligus menyelamatkan banyak nyawa manusia, sekelompok orang rupanya percaya bahwa apa yang terjadi adalah sebaliknya. Anti-vaxxer, atau kita sering menyebut mereka sebagai kaum antivaksin, meyakini vaksin memicu autisme. Perrcayalah, perlu ketabahan hati dan perjuangan yang keras untuk bisa mengubah keyakinan mereka. Parahnya lagi, mereka sering koar-koar di manapun soal vaksin = autisme, seakan mereka punya anggota keluarga yang memang autis (rata-rata sih enggak).

Iklan

Kepercayaan keblinger macam ini bisa secara serius mempengaruhi kebijakan di ranah kesehatan, seperti misalnya ketika orang sekelas Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan dukungan terhadap keyakinan kalau vaksinasi bisa menyebabkan autisme lewat sebuah tweet.

Di sisi lain, sejumlah penelitian telah membongkar apa yang bisa mempengaruhi seseorang—mulai dari tingkat pendidikan, kehadiran dalam acara-acara keagamaan hingga afiliasi politik—sampai memeluk keyakinan antivaksin.

Semua aspek di atas saja pada dasarnya sudah menunjukkan sebuah proses yang rumit yang dilalui seseorang hingga akhirnya percaya bahwa vaksin itu berbahaya. Parahnya, sebuah riset baru menunjukkan bahwa orang yang sebenarnya kurang paham tentang autisme kerap merasa lebih tahu dari pakar autisme itu sendiri. Kelakuan ngeselin kaum antivaksin di tiap negara sama aja, termasuk yang seharusnya sudah maju seperti Amerika Serikat. Tragis.

Dalam riset yang diterbitkan untuk edisi Agustus 2018 di jurnal Social Science & Medicine, sebanyak 1.310 orang dewasa di Amerika Serikat diwawancarai. Para periset menguji pemahaman mereka tentang autisme serta mencari tahu apakah mereka mendukung info bodong terkait hubungan antara vaksinasi dan autisme.

Di akhir penelitian, peneliti menyuguhkan hipotesis bahwa partisipan dengan pengetahuan tentang autisme yang paling terbatas justru kerap percaya mereka jauh lebih paham dari para ahli sekalipun. Kepercayaan diri yang berlebihan ini adalah salah satu contoh dari efek Dunning-Kruger, yang timbul saat seorang tak bisa menilai kemampuan mereka saking tak kompetennya seseorang dalam bidang tertentu.

Iklan

Sederhananya, mereka tak tahu apa yang mereka lakukan dan terlalu berlebihan. Naskah awal laporan penelitian ini malah dengan baik menjabarkan efek ini dengan sebuah cerita tentang perampok bank yang nekat menjalankan aksinya di siang bolong. Saat dicokok polisi, sang perampok dengan polosnya mengaku bahwa dia percaya tubuhnya tak akan tertangkap kamera pengawas jika sudah membasuh mukanya dengan jus jeruk.

Penulis laporan penelitian ini juga menyangka hal yang sama terjadi pada kaum antivaksin dan hasil penelitian menunjukkan bahwa dugaan itu tak mengada-ada. Lebih dari sepertiga responden berpikir bahwa mereka lebih mengerti dari para dokter (36 persen) atau ilmuwan (34 persen perihal penyebab autisme—angka ini sudah terhitung tinggi. Sebagian besar (42 persen) punya tingkat kepercayaan tinggi terhadap informasi yang didapat dari sosok yang bukan seorang ahli. Sementara 38 persen dari responden yakin bahwa golongan non-ahli seharusnya memainkan peran yang lebih besar dalam penyusunan kebijakan kesehatan.


Tonton video dokumenter VICE soal resep jamu warisan ibu yang membuat anak Indonesia bugar sedari dulu:


Data dan angka dari penelitian tersebut jelas mengkhawatirkan pihak yang berwenang dalam masalah kesehatan. Namun, para peneliti kemudian menyelidiki bahwa keyakinan berlebih ini memengaruhi pemikiran responden tentang vaksinasi. Mereka ternyata menemukan korelasi yang tinggi: pertama, keyakinan berlebih dimiliki mereka yang pengetahuannya akan autisme benar-benar terbatas. Kedua, keyakinan yang kelewatan ini juga ditemukan pada mereka yang mempercayai informasi bodong tentang autisme.

Iklan

Kepercayaan yang berlebihan ini juga terwujud dalam pandangan responden terhadap kebijakan kesehatan. Saat menjawab apakah orang tua seharusnya diperkenankan memvaksinasi anaknya sendiri, jawaban setuju datang dari 16 responden yang tak terlalu kepedean. Adapun dukungan agar orang tua bisa memvaksinasi anaknya sendiri mencapai angka 36 persen dari keseluruhan respon yang memiliki keyakinan berlebih.

Kendati responden kepedean ini tak selalu memiliki keyakinan tentang bagaimana para pakar mempengaruhi penyusunan kebijakan kesehatan, mereka cenderung mendukung usulan agar sosok-sosok non-pakar dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan. Temuan ini jelas mengkhawatirkan, apalagi jika kita mempertimbangkan pengaruh besar dari seleb antivaksin seperti Robert F. Kennedy, Jr., Jenny McCarthy hingga Oki Setiana Dewi.

Kesimpulan yang diambil penelitian ini memang agak bikin bulu kuduk berdiri: persentasi orang yang percaya bahwa tokoh-tokoh non-pakar—asal terkenal—boleh ikut serta dalam rembuk penggodogan kebijakan kesehatan ternyata lumayan tinggi. Namun, jika dibaca lebih seksama, hasil penelitian ini juga membongkar bagaimana kaum antivaksin sampai pada kepercayaan mereka yang ngaco. Malah, penelitian ini memberi kita kunci untuk mengikis kepercayaan kaum antivaksin: bikin mereka tak terlalu kepedean di bidang yang mereka percaya mereka ngerti banget.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.