Memahami Alasan Jose Mourinho Bisa Berjodoh dengan Piala Liga

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Memahami Alasan Jose Mourinho Bisa Berjodoh dengan Piala Liga

Prestasi pertama pelatih kenamaan itu di Inggris dimulai dari Piala Liga.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Seandainya kita bisa mengesampingkan kocar-kacirnya Chelsea di final Piala Liga Inggris 2005 silam, barangkali kita bisa mengungkap satu fakta penting: final piala adalah cetak biru performa Jose Mourinho sebagai pelatih. Di tahun itu, Piala Liga adalah trofi pertama yang diraih Chelsea setelah lima tahun kering capaian. Harus diakui, saat membenamkan Liverpool dengan skor 3-2, Chelsea punya segalanya: kebugaran di semua lini, kepemimpinan dan keuletan dari lini belakang hingga barisan paling depan dan, akhirnya, trofi juara dalam genggaman. Ketika Mourinho memasang jari telunjuknya di depan mulut—tepat setelah Steven Gerrard mencetak gol bunuh diri Jerzy Dudek, pria kelahiran tahun 1963 ini seakan mendapuk dirinya sendiri sebagai seorang manager jenius (lagi culas) dan penguasa sirkus kacau balau bernama sepakbola Inggris. Pengusiran Mourinho juga tak bikin tim loyo. Kemenangan Chelsea hari itu mematri reputasi The Special One sebagai master psikologi bola dan pakar penyeter opini publik.

Iklan

Meski isyarat yang legendaris di depan penggemar Liverpool ditujukan untuk menyulut kegeraman—yang berujung pada tim asuhannya jadi makin kompetitif, isyarat itu juga mengungkap sisi lain dari Mourinho di balik kemampuannya memanipulasi emosi yang tanpa tanding itu. Mourinho tengah putus asa. Laga itu harus dimenangkan oleh Chelsea agar dia bisa mengantongi trofi pertama bersama tim milik Roman Abramovich. Mourinho tak ambil pusing akan anggapan bahwa Piala Liga kelasnya jauh di bawah trofi Premier League.

Yang jelas, Mourinho paham betul meski timnya tengah jadi pemuncak klasemen, kesempatan meraih satu trofi lebih awal adalah kunci. Dengan satu trofi di tangan, skuad London bisa terbebas dari tekanan dan melakoni sisa kompetisi dengan lebih woles karena toh jika gagal di Premier League, mereka sudah menggondol satu trofi. Bukan hasil yang jelek. Dan terbukti, tahun itu The Blues menutup musim kompetisi 2004/2005 sebagai kampiun Premier League. Hebatnya lagi, The Chelsea unggul 12 point dari rival terdekat mereka, Arsenal.

Sebenarnya, ini dia pentingnya Piala Liga bagi tiap kesebelasan di Inggris, jika saja pertarungan meraih Piala Liga dianggap serius. Kompetisi ini memberikan kesempatan bagi 92 tim yang turut berlaga untuk memenangkan satu trofi jauh sebelum musim kompetisi berakhir. Sebaliknya, kegagalan meraih atau setidaknya berbuat banyak dalam perebutan piala liga menjadi kegagalan pertama yang dialami tiap kesebalan. Ketika rival sesama manager Mourinho memandang sebelah mata pentingnya Piala Liga, Mou menunjukan hormat yang mendalam terhadap kekuatan prosaik kompetitisi Piala Liga yang kerap dipandang remeh. Hasilnya, raihan Piala Liga membantu Mou mengukir capaian yang luar biasa dalam petualangannya di Liga Inggris.

Iklan

Itu yang kembali ditunjukkan oleh Mou dalam final Piala Liga setahun kemudian. Lagi-lagi Pria yang kini berusia 54 tahun memamerkan cetak biru permainannya guna mengukuhkan dominasi Chelsea atas lawannya yang mati-matian mencapai final. Setelah melewati hadangan Blackburn, Aston Villa dan Newcastle—termasuk 2 leg seminal yang tak begitu glamor menghadapi Wycombe Wanderer, skuad matang Chelsea harus menghadapi Arsenal di laga puncak.

Kendati bagi banyak orang Piala Liga hanya piala hiburan, final Piala Liga tahun 2007 adalah pertarungan antara kesebelasan dengan filosofi dan dukungan finansial yang sangat berbeda. Skuad The Special One dihuni oleh pemain seperti Didier Drogba, Andriy Shevchenko, dan Michael Ballack. Nama-nama beken yang didatangkan dengan dana yang tak sedikit ini disandingkan pemain sudah lekat dengan Chelsea layaknya Frank Lampard dan John Terry. Arsene Wenger, sebaliknya, memutuskan untuk memberi kesempatan bagi skuad mudanya. Di antara nama yang diturun Le Professeur, ada Cesc Fabregas yang masih belia serta beberapa pemain muda yang mungkin cuma bikin musuh geli-geli seperti Denilson, Justin Hoyte, Armand Traore dan Jeremie Aliadiere.

Foto oleh PA Image

Jika memang Arsene Wenger berbaik hati memberikan kesempatan skuad mudanya saat itu untuk mencicipi Stadion Wembley, keputusannya jelas salah besar. Bagi skuad muda Arsenal, mereka hanyalah sekumpulan bocah di hadapan lelaki dewasa yang lebih jago dan punya gaji selangit. Tentu saja, ada banyak hal yang bisa kita tunjuk sebagai penyebab gagalnya program pemain muda Wenger, final Piala Liga adalah indikator awal konsistensi kegagalan Arsenal mengumpulkan trofi dengan sepasukan pemain muda.

Iklan

Sejatinya. arsenal bermain mantap di awal laga. Di menit ke-12, Theo Walcott berhasil menyarangkan bola ke gawang Petr Cech. Ini dia gol pertama Walcott sepanjang karirnya membela Arsenal. Sayangnya, keunggulan Arsenal tak bertahan lama. Delapan menit berselang, Drogba menyamakan kedudukan. Penyerang asal Pantai Gading itu lagi-lagi mencetak gol pada menit 84 setelah Chelsea menekan habis lawannya dengan masuknya pemain pengganti  John Obi Mikel dan Arjen Robben.

Final Piala Liga 2007 merekam satu lagi trademark Mou yang legendaris. Saat kisruh yang dipicu ketegangan antara Mikel dan Kolo Toure membesar di tengah lapangan, Mou tanpa keraguan berarti langsung merangsek ke lapangan mendahului Wenger, melambaikan tangannya memberi peringatan. Mou sok-sok mendamaikan pemain tengah ribut. Pada akhirnya, Wengerlah yang harus turun tangan memisahkan Mou dari kepungan anak asuhnya. Imbas strategi ini, dua pemain Arsenal diusir keluar lapangan. Mikel juga harus keluar lapangan. Tapi yang paling penting—bagi Mou tentunya—adalah konsentrasi kesebelasan London Timur itu terperah dan Mou berhasil melayangkan pukulan mematikan ke skuad muda Wenger.

Kendati keberhasilan memboyong Piala Liga untuk pertama kali lebih penting dalam konteks rekam jejak Mou di Inggris, Mou sepertinya tak akan mudah melupakan kemenangan Chelsea atas skuad Arsene Wenger di partai puncak tahun 2007. Saat memenangkan Piala Liga setahun sebelumnya,  Mou dan Rafa Benitez juga tengah gontok-gontokan. Tapi Mou dikenal membenci kesoksucian Wenger terutama kalau sudah menyangkut uang, taktik dan kepercayaan pada skuad muda. Laga final Piala Liga 2007 adalah laga final kedua yang menunjukkan betapa kepercayaan Wenger terhadap pemain muda terhitung lebay. Laga yang sama mungkin juga sudah menanamkan keragu-raguan di benak pemain muda lagi naif asuhan Wenger. Sementara di sisi lain, Skuad matang lagi bengis Mou kembali menambah trofi dalam karir mereka. Kalau pada akhirnya Chelsea harus mengakui kehebatan Manchester United di Premier League, skuad Mou boleh berbangga hati telah memenangi Piala Liga dua tahun berturut-turut.

Iklan

Ketika Mou kembali ke Stamford Bridge tiga tahun lalu—Mou tak pernah meremehkan piala domestik bersama dua klub sebelumnya. Dia berhasil mengantongi Coppa Italia, Supercoppa Italiana, Copa del Rey dan Supercopa de España baik bersama Inter Milan dan Real Madrid, Mou masih setia dengan strateginya. Walau Mou mengklaim bahwa Chelsea tak langsung keluar sebagai juara Premier League di tahuan pertamanya—karena Chelsea adalah "kuda kecil yang perlu disusui dan belajar melompat lagi," apa yang dilakukan mirip sekali ketika ia pertama kali datang ke London. Setelah menghabiskan dua tahun membereskan sisa-sisa ketidakbecusan pelatih penggantinya mulai dari Andre Villas-Boas, Roberto Di Matteo dan hingga mantan rivalnya Rafa Benitez, Mourinho dan anak asuhnya langsung bertaji kembali di semua ini. Mudah ditebak, incaran pertama Mou adalah Piala Liga musim kompetisi 2014/15.

Seperti kali pertama, komitmen pertama Mou terhadap Piala Liga terbayar. Jalan Chelsea menuju semifinal mulus. The Blues hanya menghadapi tim-tim semenjana seperti Bolton, Shrewsbury dan Derby County. Namun di semifinal mereka harus menghadapi klub raksasa, Liverpool. Meski baru ditinggal pemain kunci mereka, Luis Suarez di awal musim, Liverpool tetaplah lawan tangguh. Apalagi mereka punya modal: dendam kusumat untuk mengalahkan Chelsea. Tahun sebelumnya, The Gunners disingkirkan dengan sangat memalukan oleh Chelsea di kandang sendiri. Kendati diwarnai aksi culas striker Diego Costa, The Blues kembali mempecundangi Liverpool dengan agregat 2-1.

Barulah setelah dua pertandingan semifinal ini, The Independent menurunkan naskah yang merayakan kembalinya "nasty Chelsea", sebuah sebutan yang pasti membikin Mou menepuk dada. Di laga final Piala Liga 2015, Chelsea kembali menghadapi skuad berisi talenta belia. Kali ini yang dihadapi adalah Tottenham Hotspur. Mirip seperti yang terjadi delapan tahun sebelumnya, John Terry tak memberi ampun Tottenham. Pertandingan berakhir skor 2-0. Mourinho kembali mengangkat  Piala Liga dan Chelsea keluar jadi kampiun Premier League tahun itu. Mourinho kembali berhasil membuat kompetisi Piala Liga untuk memanaskan timnya. Chelsea, imbasnya, kembali dihormati sebagai kesebelasan yang paling gigih dan tangguh di Inggris.

Hari minggu ini, ketika Mou memimpin anak asuhnya melawan Southampton di Wembley, Mou menghadapi situasi serupa. Dia tengah berusaha mengembalikan reputasi raksasa bola yang sepertinya turun kelas beberapa tahun kemarin. Meski Mou sepertinya telah membereskan kendala yang dia hadapi Old Trafford, Manchester United di bawah asuhanya belum memiliki capaian yang bisa dibanggakan—apalagi jika harus dibandingkan dengan prestasi MU di bawah bimbingan Alex Ferguson. Kini, Mou paham betul bahwa MU punya peluang untuk menggenjot rasa percaya diri skuad Setan Merah, meraih tropi dan memanfaatkan momentum yang diperoleh—untuk setidaknya masuk zona Liga Champion di Premier League. Terlepas nanti Mou bakal mengangkat piala hari Minggu nanti, The Special One bakal memberikan semua yang dimilikinya.

Karena hanya The Special One yang paham betapa spesialnya Piala Liga Inggris.