FYI.

This story is over 5 years old.

That Was Easy

Berguru Teknik Meloncat Dari Ketinggian Kepada Stuntman Film 'The Raid'

Udeh Nans adalah aktor pemeran pengganti kawakan Indonesia. Kepadanya, aku belajar teknik paling aman meloncat dari ketinggian. Hasilnya? Tetep aja babak belur!!!
Semua foto oleh Shalahuddin Al Ayyubi.

Stuntman, alias pemeran pengganti, adalah pahlawan tanda jasa dalam film-film laga. Memang, beberapa aktor ada yang mau repot-repot bertaruh nyawa melakukan adegan berbahaya. Alan Rickman, contohnya, mau melakoni sendiri adegan jatuh dari gedung tinggi yang ikonik di ending film Die Hard. Tentu saja, aktor tebal nyali macam Rickman enggak banyak. Jadi, jangan percaya kalau Chris Pratt melakukan semua adegan berbahaya di semua film-filmnya. Enggak mungkin lah.

Iklan

Saya sendiri enggak tahu tentang keberadaan pemain pengganti semasa masih bocah. Saya bahkan enggak tahu adegan-adegan berbahaya itu jangan sampai ditiru tanpa persiapan. Saya dulunya mikir semua aktor film action dari sononya sakti mandraguna. Saya juga, seperti anak kecil seangkatan saya, tumbuh menonton film-film laga PG-13 seperti Spiderman—asal tahu saja, gara-gara film ini saya sering sok-sokan jadi Spiderman. Malangnya, begitu saya mencoba meloncat dari tembok semen setinggi satu setengah meter dekat rumah, saya mendarat kurang sempurna. Selangkangan saya sakit banget, sampai orang tua saya membawa saya ke dokter karena takut saya kena hernia.

JADI GIMANA SIH CARA JATUH YANG AMAN?

Saat mendiang Alan Rickman jatuh atap Nakatomi Plaza di akhir film Die Hard, dia kelihatannya jatuh sejauh 20 lantai. Padahal, sebenarnya, dia cuma satu 7,5 meter doang ke atas sebuah airbag raksasa. Baiklah, saya bakal kedengaran songong banget tapi jatuh ke sebuah permukaan yang lembut kayaknya gampang banget. Setelah membintangi Die Hard, nama Alan Rickman naik lagi lantaran menjadi Severus Snape di semau film Harry Potter. Kali ini, dia cuma pasang tampang guru galak. Pokoknya, enggak ada bau-bau bintang film actionnya. Saya jadi mikir, kalau pemeran Severus Snape di Harry Potter itu saja bisa, kenapa saya enggak. Emang sesusah apa sih jatuh dari ketinggian?

MARI KETEMU AHLINYA: UDEH NANS

Saya menghubungi satu-satunya orang yang saya rasa paham seluk beluk kerja para pemeranan pengganti. Namanya Udeh Nans. Dia mendirikan Pejuang Stunt Indonesia, tempat latihan stunt yang gratis diikuti siapapun. Jejak Udeh Nans di kancah perfilman lokal sudah panjang. Kalau belum tahu, Udeh Nans itu salah satu stuntman utama film The Raid. Pertanyaannya, bisa enggak tuh Udeh Nans mengajari orang awam teknik melompat biar saya enggak mengulangi tragedi selangkangan nyeri pas berusia empat tahun dulu? Atau saya tinggal menunggu masuk UGD gara-gara sok-sokan mencoba jadi stuntman?

Mari kita buktikan!

Iklan

Saya mengirim sebuah pesan pendek ke Udeh. Isinya menjelaskan niat mulia berguru kepadanya. Untungnya, Udeh melihat ketulusan saya mengemban tugas saya sebagai seorang jurnalis yang ditugasi melakukan eksperimen seosial. Dari awal saya memang sudah mikir kalau ini bakal jadi tulisan yang menarik. Plus, kalau saya bisa loncat dari ketinggian kan bagus. Siapa tahu skill ini ada gunanya nanti ketika—amit-amit jabang bayi—saya tersekap di sebuah bangunan yang terbakar. "Saya bisa loncat dari atap enggak?" tanya saya yang kerasa songong pas minta ke Udeh diajarin loncat ala stuntman. "Enggak lah," katanya. "Cukup dari lantai dua saja." "Waduh, kalau cuma segitu sih, saya bakal diketawain," balas saya sedikit protes. Gini deh, setinggi apa sih lantai dua itu. Paling cuma tiga meter. Apa hebatnya coba. Lagian, saya enggak bakal bisa menebus rasa malu gagal lompat ala Spidey pas saya berumur empat tahun dulu. Jangan-jangan saya bakal kelihatan konyol lompat dari lantai dua doang?

PELAJARAN PENTING: GAYA LABA-LABA

Kamu pasti tahu lah rasanya begitu semuanya bakal jadi runyam dan kamu cuma bisa mikir "kok bisa-bisa gue ada dalam keadaan sebangsat ini?" begitu kira-kira yang saya pikirkan ketika memandangi tumpukan kardus rokok mahal yang bakal jadi pengganti airbag raksasa yang digunakan Alan Rickman. Di luar dugaan, harga airbag yang digunakan di film-film Hollywood mahalnya enggak ketulungan. Satu biji dibanderol Rp140 juta—uang sebesar itu mending buat beli rumah daripada dibuang-buang buat menuntaskan rasa penasaran jurnalis macam saya ini.

Melihat keraguan pada diri saya, Udeh langsung menyakinkan saya kalau kardus-kardus rokok itu aman. Rahasianya terletak pada bagaimana saya jatuh bukan pada harga barang yang ujung-ujungnya bakal saya timpa. Dia juga mewanti-wanti saya untuk tetap fokus dan memastikan kalau saya bakal mendarat dengan sempurna. Untuk loncatan yang sebentar lagi bakal saya lakoni, biasanya para pemain pengganti mendarat dengan kedua kakinya sebelum berguling untuk menetralisir imbas tumbukan pada tubuh. Pada loncatan dari titik yang lebih tinggi, mereka bakal mendarat dengan menggunakan punggung, begitu kata Udeh.

Iklan

Pas pertama lihat alasnya 'cuma' kardus, nyali saya langsung ciut.

Saya memandangi kardus-kardus rokok itu dan mulai pemanasan. Rupanya untuk melakukan lompatan stuntmen ecek-ecek ini, persiapannya gampang sekali—paduan squat jump, push up dan pelenturan otot kaki. Stuntman profesional punya tubuh yang sangat kuat, jelas Udeh, terutama di bagian punggung dan kaki. Ini alasan kenapa mereka bisa selamat setelah melakukan stunt-stunt berbahaya yang bisa membunuh para pemeran pengganti kurang terlatih.

Saya diminta peregangan otot dulu sebelum jatuh dari lantai dua.

Udeh meminta salah satu anggota krunya, seorang lelaki bernama Ian Antoni—bukan gitarisnya God Bless ya. Dia temennya Udeh yang juga seroang pemain pengganti profesional—untuk menunjukkan teknik-teknik mendarat. Ada tiga cara mendarat yang bisa digunakan: cara yang "benar," cara yang "kurang tepat," dan cara laba-laba.

Mas Ian Antono beneran kayak laba-laba euy selama pemanasan.

Apaan tuh cara mendarat laba-laba? Pikiran saya langsung melayang menuju masa kecil saya ketika saya keranjingan Spiderman. Bedanya, kali ini saya yakin bisa meloncat dari ketinggian pakai gaya laba-laba.

SAATNYA PRAKTIK: TEROR LANTAI DUA

"Takut ya?" tanya Udeh melihat saya berdiri di balkoni sambil memandangi tumpukan kardus dan kasur yang bakal jadi tempat saya mendarat. Mendadak saya menyesal mengambil tugas ini. Siapa juga mau tahu bagaimana stuntman melakukannya pekerjaannya? Buat apa wong hampir enggak ada faedahnya dalam kehidupan? Mending nonton film sambil makan popcord. Udah jelas lebih enak dan aman.

Tapi, saya enggak mau menebus trauma sakit selangkangan tanpa melakukan lompatan barang sekali. Film Spiderman bakal dibikin sampai akhir dunia. Saya enggak bakal lewat dari bayang-batang hernia jika saya enggak berhasil melompat seperti Peter Parker. Dengan pemikiran macam ini dan bermodal semangat nekat—serta tentunya doa, saya merasakan adrenlin say mendidih. Akhirnya saya nekat melompat.

Iklan

Saking paniknya, saya cuma bisa cengengesan di lantai dua.

Mau lihat lompatan saya yang enggak indah sama sekali? Nih ada videonya:

Saya mungkin kelihatan ketawa-ketiwi habis loncatan pertama. Padahal, waktu itu saya shock banget. Saya cuma bisa ngebayangin doang. Akibatnya saya diam saja, masih kaget kalau saya bisa selamat setelah loncat dari lantai dua.

Begitu shocknya lewat, saya jadi jumawa. Gara-gara perasaan songong, saya merasa perlu mengulang loncatan itu. Keputusan yang salah! Saya gagal di kesempatan kedua dan berakhir dengan rasa sakit di seluruh tubuh. Rasanya seperti baru saja diinjak-injak Hulk. mungkin ini balasannya buat semua insan yang berlebih rasa percaya dirinya.

Hidup kok gini-gini amat ya.

Ini rekaman loncatan kedua saya yang gagal total:

Ternyata susah banget loncat dari lantai dua. Makanya, seperti kata sebuah pepatah: serahkan segala sesuatu pada ahlinya. Untuk aksi berbahaya macam ini, ahli adalah Udeh dan Ian.

APA 'PESAN MORAL' LATIHAN INI?

"Cara mendarat macam tadi bisa bikin kamu lumpuh, buta atau dua-duanya sekaligus," kata Ian saat saya masih duduk kesakitan. Ternyata, biang kegagalan saya adalah saya lupa fokus saya. Dua orang stuntman profesional itu langsung tahu kalau saya kehilangan fokus begitu saya loncat-loncat melakukan pemanasan. Jadi, memang ada resiko yang luar biasa besar yang harus dihadapi setiap pemeran pengganti. Pilihan mereka cuma dua: melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya atau menginap berminggu-minggu di rumah sakit.

Seandainya kamu serius menggeluti bidang ini, masa depan sebenarnya terbentang luas. Udeh bahkan bilang. "Kalau kamu jago banget melakoni adegan meloncat dari ketingguan, saya jamin banyak tawaran kerja yang menanti." Sayang, saya sudah kadung jeri setelah lompatan kedua saya gagal.

Iklan

Sambil mengobati nyeri, sebats dulu deh…

Di Amerika Serikat, seorang stuntman kawakan dibayar $890 (sekitar Rp12 juta) per hari, menurut data yang dikeluarkan Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA). "Itu baru bayaran harian ya," kata Udeh. "Mereka juga dapat bonus. Bonus itu dibayar di luar bayaran harian dan besarnya ditentukan berdasarkan negosiasi kamu setela melihat kerumitan loncatan dan sebagainya. Ini yang disebut dengan 'adjustment'."

Kedengarannya menggiurkan. Namun, saya yakin kalau bayaran besar dan kehidupan mewah ala seorang stuntman tak tercipta buat saya karena ternyata meloncat dari ketinggian—walau cuma dari lantai dua—tak segampang seperti yang kita lihat di film. Percaya deh!

Tapi, kalau enggak percaya, silakan dicoba sendiri ya kalau berani.

"That Was Easy" adalah seri artikel di VICE. Penulis kami akan mencoba skill-skill baru yang sulit dan tak biasa dipelajari orang. Kalian punya ide tim kami harus belajar apalagi? mention saja Twitter kami jangan lupa beri tagar "#thatwaseasy."