FYI.

This story is over 5 years old.

Tupperware = Emas

Tupperware Layak Disetarakan Emas di Pegadaian, Karena Produk ini Berjasa Buat Perempuan

Dimarahi atau bahkan dicuekin karena menghilangkan tupperware bukan lagi sekadar meme atau guyonan. Pasar terbesar Tupperware rupanya memang di Indonesia.
Ilustrasi kedigdayaan tupperware oleh Farraz Tandjoeng.

Dulu orang menganggap fanatisme konsumen (apalagi para ibu) terhadap Tupperware itu sudah masuk taraf irasional, enggak logis, aneh, dan mengganggu. Cuma wadah plastik aja kok diperlakukan sampai segitunya. Aku sendiri pernah dimarahi ibu karena teledor menghilangkan seri mangkok Tupperware-nya saat kupakai buat bekal sekolah.

Ibuku tidak pernah sedikitpun cerewet jika aku berdandan gothic serba hitam atau pakai dress backless di depan teman-temannya. Ibu pun tidak marah kalau aku bilang aku tidak (atau belum) peduli pernikahan. Ibu menghargai pilihanku. Namun ibu kesal banget saat Tupperware-nya hilang. Berani menghilangkan, risikonya adalah dimarahi, plus dapat hukuman. Bekalku keesokan harinya ditaruh di dalam kotak bekas tempat es krim atau lebih kejam lagi… kertas nasi kayak di warteg.

Iklan

Makanya banyak meme (sebagian cenderung seksis sih) menyinggung soal kepanikan perempuan jika kehilangan wadah makanan unyu warna-warni itu kena banget buatku. Apalagi kalau kalian hidup bersama pecinta Tupperware di manapun, pasti akrab sama ucapan kayak gini: "Kalau mau diskon 30 persen, gabung dong!"

Ini contoh guyonan klasik soal tupperware yang terus muncul di linimasa medsos:

Sekarang, semua harus mengakui, ternyata rasa khawatir atau malah panik kehilangan Tupperware adalah sesuatu yang logis.

Setidaknya di Manado, Sulawesi Utara dulu aja, Tupperware sudah bisa menjadi jaminan untuk memperoleh pinjaman dana di pegadaian. Artinya Tupperware dianggap bernilai setara emas, surat berharga, dan barang elektronik. Rusli Basri, Pimpinan PT Pegadaian Cabang Karombasan, Sulawesi Utara, menyatakan penggadaian itu berlaku buat semua jenis Tupperwear baik baru atau bekas dalam bentuk apapun.

"Kami dapat informasi Tupperware bisa digunakan seumur hidup. Di mana bahan jelas, higienis, tidak mengandung kimia," kata Rusli saat dihubungi awak media.

Pernyataan pegadaian ini sukses bikin aku nyesel kenapa dulu bisa-bisanya ngilangin berlusin-lusin Tupperware. Soalnya, lumayan juga nih ya kalau aku pura-pura ngilangin Tupperware buat digadaiin.

Aku sempat susah paham kenapa sih ibu bisa segitunya dengan Tupperware. Apa mungkin Tupperware membuatnya lebih spesial daripada yang aku lakukan buat ibu? Kalau ditelusuri lagi, meningkatnya popularitas Tupperware pada tahun 1950-an di Amerika Serikat berawal dari banyaknya perempuan yang enggak bisa lagi kerja. Pemasarannya pun mengandalkan sistem getok tular, pesta bareng, dan perekrutan anggota yang menyerupai sistem multi level marketing.

Iklan

Hebatnya, produk rumah tangga buatan Earl Tupper ini ternyata punya kualitas mumpuni. Salah satunya, walau terbuat dari plastik, tapi ternyata awet dan sama sekali tidak berbau layaknya produk plastik lain. Klop deh. Sudah barangnya bagus, bisa menambah pemasukan ibu-ibu rumah tangga pula. Tupperware muncul sebagai solusi bagi perempuan yang ingin punya penghasilan tambahan tanpa harus bergantung pada lelaki.

Jadilah merek dagang Tupperware menyebar sampai akhirnya kini ada di 100 negara, termasuk Indonesia. Namun di Tanah Air, konsep bisnis Tupperware benar-benar kena di hati konsumen. Indonesia sejak 2013 sudah menggeser Jerman sebagai pangsa pasar terbesar produk Tupperware di seluruh dunia. Lebih dari 250 ribu distributor Tupperware ada di Indonesia, dengan pendapatan mencapai Rp2,8 triliun. Itu angka tiga tahun lalu, data terbaru yang belum diumumkan bisa jadi jauh lebih besar.

Kita tentu harus ingat di Pasal 33 dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebut suami adalah kelapa keluarga, sementara istri adalah 'ibu rumah tangga'. Beleid tersebut membuat banyak perempuan, khususnya pada era kekuasaan Orde Baru, didorong agar tak perlu mengejar karir. Ketidakadilan akhirnya sering dialami perempuan yang bekerja, termasuk karena tidak mendapat tunjangan keluarga dengan asumsi mereka sudah mendapatkannya dari suami.

Di titik ini, Tupperware menarik minat perempuan yang akibat tekanan patriarki dan hukum di Indonesia yang condong memihak laki-laki. Para perempuan itu tetap sering di rumah, namun tetap bisa memasarkan produknya, sembari mendapatkan penghasilan yang nominalnya lumayan buat standar Indonesia.

Iklan

"Perempuan di Indonesia selama ini hanya punya sedikit kesempatan untuk meraup penghasilan sendiri. Seiring negara ini sekarang beralih ke fase demokrasi dari masa-masa kekuasaan Suharto, peluang usaha jadi lebih besar," kata Rick Goings, selaku CEO Tupperware Brands Corp saat diwawancarai Wall Street Journal.

Begitulah. Perempuan enggak punya kesempatan di ranah publik. Untuk ibuku sendiri, yang tidak segitunya berusaha mencari uang, memang pesta Tupperware yang bikin kangennya bekerja sekaligus bersosialisasi sama orang banyak terobati.

Kalian boleh meragukan mutu Tupperware, atau sekalian menganggap langkah pegadaian adalah promosi Tupperware terselubung, tapi kalian tidak bisa mengabaikan satu fakta ini: Tupperware adalah perkenalan pertama banyak perempuan Indonesia yang dipaksa hidup di ranah domestik terhadap konsep bisnis dan investasi.

Ketika Hermes Birkin buaya putih atau Louboutin bling bling tapal merah adalah impian, Tupperware merupakan kenyataan yang bisa mereka gapai. Karena itulah, suka tak suka, Tupperware berhasil memberdayakan perempuan (Indonesia).