10 Tahun Yes No Wave: Panduan Menyelami Harta Karun Netlabel Legendaris Jogja
Ilustrasi oleh Abdul Manan.

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

10 Tahun Yes No Wave: Panduan Menyelami Harta Karun Netlabel Legendaris Jogja

YesNoWave membawa kesegaran di ranah musik independen Indonesia dengan mempelopori konsep netlabel. Puluhan album mereka publikasikan, kira-kira mana yang terbaik? Ini panduan dari VICE agar kalian tak tersesat.

Yes No Wave, netlabel dari Yogyakarta—sekaligus yang pertama di Indonesia—memperingati ulang tahunnya yang ke-10 hari ini. Netlabel ini didirikan oleh Woto Wibowo, yang lebih dikenal dengan julukan Wok The Rock, mendiang Bagus Jalang, serta Adya Mahardhika. Yes No Wave sampai saat ini merilis lebih dari 80 album digital, dari 50-an musisi Indonesia maupun mancanegara. Selain semuanya digital, album-album tadi bisa kalian unduh cuma-cuma.

Iklan

Di situs resmi mereka, Yes No Wave menjelaskan alasan label online ini menggratiskan semua rilisannya. Mereka mengaku punya niat luhur membantu musisi yang terbentur hambatan finansial memproduksi rilisan fisik, agar dapat menyebarkan karyanya ke publik yang lebih luas. "Tujuan utamanya menempatkan label rekaman di luar industri," kata Wok The Rock saat dihubungi VICE Indonesia. "Ini adalah praktik berbagi sebagai cara pengembangan karya musik yang mudah disebarkan dan terbuka untuk digunakan atau diolah oleh siapapun."

Lantas bagaimana Yes No Wave mendanai operasi mereka? Alih-alih mengandalkan penjualan fisik seperti CD atau Kaset, Yes No Wave mencari dana melalui penjualan merchandise resmi band di Yes No Wave Music dan sumbangan sukarela dari para penikmat musik melalui PayPal. Mantab!

Tentunya usaha pengarsipan musik independen seperti ini, sesederhana apapun, tetap memakan waktu, ongkos, dan tenaga. Beberapa tahun terakhir, rilisan Yes No Wave semakin seret. Bahkan sepanjang 2017, Yes No Wave baru merilis satu album: Parakosmos dari duo elektronika Bandung, Bottlesmoker. Kenapa sih? Apakah roster-rosternya pada mau hijrah?

Sambil tertawa, Wok mengaku kesibukannya di berbagai proyek seni lain sangat menyita waktu. "Dua tahun lalu aku mengkuratori Biennale Jogja, terus juga jadi kepala kelompok di Ruang MES 56," imbuhnya. "Saya juga hobi bikin proyek lain seperti We Need More Stages dan Tuhantu, padahal keahlian multitasking juga semakin menyurut [tertawa]."

Iklan

Saking sibuknya, Wok harus melewatkan kesempatan merilis album perdana Brian "Rich Chigga" Imanuel, rapper Indonesia berumur 18 tahun yang sekarang sedang beken-bekennya. "Pernah pengen ngontak Rich Cigga waktu awal banget dia muncul tapi terus lupa karena sibuk acara lain," akunya.

Wok sejak awal optimis Yes No Wave dapat bertahan dan relevan hingga satu dekade. Biarpun rilisan fisik kembali digandrungi di tanah air, dia melihat album digital justru makin punya tempat di hati pecinta musik Tanah Air. "Platform internet masih sangat durable dan akan terus berkembang. Rilisan fisik ramai di wilayah kecil dan spesifik saja, sementara sehari-harinya, lebih banyak orang dengerin musik lewat YouTube, MP3 Player, dan Spotify."

Lantas apakah Yes No Wave akan sekadar 'bertahan'? Apa langkah berikutnya yang bakal diambil netlabel ini? Berusaha mengikuti perkembangan teknologi dan perangkatnya, Wok berencana merombak tampilan situsnya dengan pemutar audio yang lebih baik, yang lebih interaktif, serta membuat aplikasi lebih ramah layar ponsel. Yes No Wave bersama dengan netlabel asal Tokyo, Maltine Records, dan Indonesia NetAudio Forum, juga berencana menggelar festival musik/audio yang rencananya digelar April 2018.

Sampai di sini, berapa banyak album rilisan Yes No Wave yang sudah kalian dengarkan? Belum banyak? Tak perlu gusar. Katalog netlabel tertua di Indonesia ini patut diakui bisa bikin kamu membantin, "anjirr, selera musik gue kudet banget!" Tenang, kami di VICE Indonesia telah menyusun semacam panduan—enggak komprehensif banget sih. Anggap saja ini rekomendasi berdasarkan amatan telaten kami sebagai pendengar setia rilisan Yes No Wave, disesuaikan kriteria anak-anak skena masa sekarang (#biarkekinian). Minimal, panduan kami bisa membantu kalian menyelami harta karun album digital dari netlabel legendaris Yogya itu yang selama ini belum sempat kalian dengar atau malah terlewatkan.

Iklan

Selamat membaca!

1. Entry Hipster / Anak Pensi / GoAheadCore

Tiga istilah diatas digunakan karena pada dasarnya serupa. Pensi sudah populer di Indonesia sejak dekade 90'an dan sering menjadi ajang perkenalan anak muda dengan musik lokal yang lebih edgy khas bocah-bocah hipster masa kini. Band-band yang ramai jadi penampil pensi kerap menjadi pintu masuk bagi banyak telinga untuk mendalami skena musik Indonesia atau luar secara lebih mendalam (ini skenario terbaik). Atau ya paling buruk jadi semacam nama token yang bisa dilempar untuk memberikan anda kredibilitas indie secara instan di depan teman-teman kantoran yang playlistnya gak jauh-jauh dari Coldplay dan Adele. Tapi gakpapa, everyone has to start somewhere, ya kan? Masak baru lahir langsung dengerin Godflesh sama Senyawa?

Band di kategori ini genrenya macam-macam. Ada pop retro Indonesia ala White Shoes and The Couples Company, ada juga pop melankolis pianis singer/songwriter asal Jogja, Frau, hingga new-wave neon ala The Upstairs bagi kalian yang lebih suka berjoget ria. Semuanya memiliki satu kesamaan: musiknya mudah dicerna, aman didengar bersama calon mertua, dan sering mengisi acara nyeni ala Ruang Rupa ataupun berbagai festival musik besar disponsori perusahaan rokok. Semua ini tentu saja tidak mengurangi kualitas musiknya itu sendiri karena justru sampai sekarang, Senja Menggila yang dirilis secara digital oleh Yes No Wave di 2009 masih menjadi salah satu materi WSATCC favorit awak VICE (berkat versi full band "Nothing to Fear" yang menurut kami lebih asoy dibanding versi albumnya).

Iklan

Jadi bagi anda yang mungkin tadinya khawatir Yes No Wave hanya akan berisikan band-band lo-fi obscure avant-garde (emang banyak juga sih), jangan panik, karena lingkup genre yang diunggah netlabel Jogja ini lumayan luas kok. Kapan lagi bisa dapet materi musisi sekelas The Upstairs dan Frau cuma-cuma?!?

Omong-omong, buat yang enggak ngerti GoAheadCore itu apa, google aja. #nantijugalopaham.

Playlist buat pendengar kategori ini:

The Upstairs - Ku Nobatkan Jadi Fantasi

Frau - Starlit Carousel

White Shoes and The Couples Company - Senja Menggila

2. Folk Anti Senja

Nyari album folk yang bolak balik ngobrolin tentang senja di Yes No Wave? Enggak ada!

Yang tersedia, folk tengah malam yang enak didengar sambil bakar kemenyan.

Playlist buat pendengar kategori ini:

Rabu - Renjana

3. Pang Tengil #punknotdead

Emangnya ada punk yang gak tengil? Ada, coba aja mampir ke acara Rossi Musik di Lantai 4, biasanya musiknya lebih kalem, sopan dan pengunjungnya juga lebih 'wangi' (kecuali kalo AC-nya mati kayak pas gig Turnover kapan hari itu. Wassalam). Bagi band-band di kategori ini rasanya filosofi Jawa "alon-alon asal kelakon" tidak berlaku, karena prinsipnya adalah mencapai tujuan—penonton bercircle pit ria—secepat mungkin, alias ngebut. Emang mau kemana sih buru-buru? Mungkin gak sabaran mau ke warung jamu terdekat, beli amer.

Semua band di kategori ini memainkan sound punk 'klasik' raw, lengkap dengan produksi seadanya (less is more, ya kan?) dan dan mungkin tidak akan pernah diundang untuk main di Coachella atau WeTheFest. Eits, tapi jangan sedih, mereka adalah soundtrack moshing di kamar yang pas (moshing pake lagu Phoenix susah). Ada bapak-bapak ngehek asal Bogor, The Kuda yang fasih menyelipkan potongan nyanyian Ikang Fawzi di tengah lagu. Sayangnya mereka gak fasih mengeja kata "misteri" dengan benar (mau Inggris apa Indo sih? Labil! Apa tengil?). Ada om-om dinosaurus skena—Jimi 'Upstairs' dan Henry 'Batman' dari Goodnight Electric—yang mengajak anda meloncat-loncat bareng lewat Bequiet. Buat yang suka hardcorenya agak 'beda' dan eklektik, ada kuartet Nervous Breakdown dari Jakarta Timur yang doyan iseng memasukkan solo gitar blues atau intro new wave ke dalam racikan musik hardcore mereka. Prinsipnya cuman satu: tengil.

Iklan

Band-band ini juga akan mengajari anda pentingnya efisiensi waktu. Satu jam tentunya tidak cukup bagi Godspeed You Black Emperor! untuk memamerkan kemegahan musik mereka. Sutradara film Titanic pasti pusing kalau diberikan batas satu jam untuk berkarya, tapi tidak bagi band-band punk ngebut ini. Hanya dalam kurang dari 50 menit, tiga rilisan ini bisa anda babat. E f i s i e n.

Playlist buat pendengar kategori ini:

The Kuda - Mistery Torpedo

Bequiet - Maybe Someday We Will Follow Him

Nervous Breakdown - Never Green

4. Dangdut Hipster

Ada alasan kenapa akhirnya Rhoma Irama bikin partai dan lebih serius bertarung di medan politik praktis: dangdut sedang baik-baik saja.

Apa barometernya? Gampang bosqu! Sekarang dangdut tak lagi jadi mainan khas mas-mas penyembah NDX AKA Familia atau maniak dangdut koplo. Hipster juga sudah keracunan dangdut. Buktinya, dua tahun lalu ketika Orkes Moral Pengantar Minum Racun (OM PMP) manggung di Rrrec fest In The Valley, semua pengunjung mendadak kembali ke fitrahnya sebagai manusia indonesia, homo dangdutngensis. Mereka dengan mudah takluk di depan pesona dangdut nyeleneh dan humor (yang sayangnya misoginis) khas OM PMP. Setahun setelahnya, pengunjung festival yang sama kembali berjoget, kali ini di depan grup legendaris Nasidaria, diiringi irama qasidah, sepupu jauh dangdut.

Pertanyaannya: kok bisa-bisanya hipster keranjingan dangdut? Bisalah. Yang dulu anak metal/hardcore saja sekarang jadi DJ dansa-dansi. Terus kenapa anak indie mustahil jadi suka dangdut? Lagipula, PMP tahu caranya merayu anak hipster kekinian. Mereka meramu ulang (baca: mendangdutkan) lagu-lagu landmark kancah musik independen seperti Jatuh Cinta Melulu dan Mengadili Persepsi.

Iklan

Terbujurkaku sejak jauh-jauh hari melakukannya dengan cara yang sedikit berbeda: menyajikan dangdut dengan bungkus breakcore. Phlegh, nama di belakang moniker ini, mengobrak-abrik koleksi lagu dan9dut klasik hingga koplo untuk dioplos dengan beat-beat cepat ala breakcore, mulai dari Pacar Lima Langkah (Iceu Wong), Pengemis Cinta (Jonni Iskandar) hingga Rekayasa Cinta (Camelia Malik). Sepintas, Terbujurkaku melakukan apa yang dilakukan oleh OM Monata: mengarsip dangdut sekaligus menyajikannya dengan bungkus yang lebih fresh. Bedanya, jika Monata menyasar pengguna dangdut kelas bawah. Terbujurkaku sadar bahwa pendengarnya adalah hipster atau setidaknya, anak skena lah.

Hasilnya, sebuah mixtape yang bisa dinikmati oleh semua hipster.

Hebatnya lagi: dua album itu bisa kamu download gratis di Yes No Wave. Kamu bisa menyetelnya kapanpun. Termasuk ketika a) naluri dangdutanmu tumbuh tapi takut street credential-mu sebagai hipster luntur b) kamu terlalu bokek untuk nonton salah satu episode Suara Disko.

Playlist untuk pendengar kategori ini:

TerbujurKaku - Megamix Album Vol. 2

5. The Misfits-core

Doyan The Misfits dan film horror lokal?!? Nih, album buat kalian:

Playlist untuk pendengar kategori ini:

Kelelawar Malam - Desmodus Rotundus

6. Album-Album Uji Nyali

Punya stok keberanian lebih?

Kalau iya, coba uji nyali kamu dengan mendengarkan beberapa rilisan Yes No Wave yang menurut kami bisa bikin kuduk berdiri. Salah satu contohnya O.S.T Maujud karya Adit Bujbunen Ala Buse. Album ini dirancang sebagai soundtrack film horor. Dengan premis seperti itu, harusnya cukup bikin kita merinding…apalagi kalau disetel kenceng pas malam Jum'at Kliwon.

Iklan

Nah, kalau kamu adem-adem saja, barangkali kamu sudah terlalu banyak nonton film horor, mungkin lebih sering dari nonton mars partai di TV swasta lokal. Tapi jangan sombong dulu bray. Masih ada satu album lagi yang bisa dipakai buat menguji kadar keberanian kalian semua: Dunia Milik Kita.

Album paduan suara penyintas huru-hara besar 1965 ini sepintas jinak saja. Lagu-lagunya teduh dan menebarkan senyum. Tapi, kalau kalian benar-benar seorang daredevil, coba setel album ini dengan penuh semangat—kalau perlu pakai toa—di depan kantor ormas yang masih memelihara fobia akan marxisme, sosialisme dan komunisme. Percayalah, itu bakal jadi percobaan uji nyali paling greget sepanjang masa.

Mau nyoba? Silakan. Kami sih enggak.

Playlist buat kategori pendengar ini:

Dialita - Dunia Milik Kita

Adit Bujbunen Ala Buse - O.S.T Maujud

7. Hair Metal Kabupaten

Kalau kamu:

  • Bosen dengan band tingkat nasional macam Barasuara dan Seringai
  • Diem-diem jogjaphile
  • Mendadak doyan lagi hair metal setelah Guns n' Roses regroup
  • Tidak alergi dengan selera humor recehan

Jangan ragu. Unduhlalah EP pertama Sangkakala, Macanista, di Yes No Wave. Niscaya hidupmu lebih berwarna dihajar band hair metal tingkat kabupaten terbaik di dunia itu. Sikat!

Playlist untuk pendengar kategori ini:

Sangkakala - Macanista EP

8. Rully Shabara-core

Ini ramalan kami: Dalam waktu dekat, bakal lahir genre musik baru yang mengoplos punk, avantgardisme, folk hingga acapella. Nama genre itu: Rully Shabara-core.

Ada dua faktor yang memungkinkan ini terjadi: pertama, Rully Shabara Herman adalah roster yang susah ditandingi di Yes No Wave. Sejauh ini, setidaknya ada tujuh karya Rully yang dipacak di Yes No Wave—mulai dari karyanya bersama Zoo, Senyawa hingga dua karya solonya. Di luar Yes No Wave, Rully tak terbendung. Segala capaian yang diimpikan setiap musisi independen sudah hampir kelar dicontrengi Rully: karya dirilis dan dirayakan di luar negeri, manggung di festival-festival bergengsi sampai diwawancarai oleh publikasi musik terkemuka macam Quietus, Pitchfork hingga kanal musik VICE, Noisey. Pun Rully sudah terbiasa manggung dengan nama-nama besar nan cult semisal Keiji Haino, Tatsuya Yoshida serta Faust.

Iklan

Kedua, sudah mulai muncul sekte pemujaan di sekitar Rully. Belakangan, Rully diperlakukan bak habib yang kudu dicium tangannya setelah manggung. Misalnya, kini orang tak lagi puas menyaksikan beliau manggung. Ada kewajiban tambahan: ngobrol dengan Rully sekelar gig. Buktinya tiap kali Rully mengumumkan jadwal manggung di kota tertentu di laman Facebook, komentar semacam ini makin lazim muncul; "Okay, aku datang. Ketemu yak abis manggung." sedap!

Belakangan, Habib Rully makin ganas saja. Proyeknya di luar Zoo dan Senyawa makin menggurita. Sebut saja Gaung Jagat, Raung Jagat, Cari Padu dan lainnya. Dengan kreativitas dan pertumbuhan sekte yang eksponensial seperti ini, jangan-jangan Rully Shabara-core bakal lahir prematur.

Jadi apa kesimpulannya Bray? Cuma satu: kita harus siap-siap menyambut kedatangan genre itu. Caranya? Dekatkan diri dengan Yes No Wave. Unduh semua karya Rully dan dengarkan dengan seksama. Niscaya di masa depan, kita bisa dengan gagah bilang "gue udah dengerin Rully Shabara-core before it was cool!"

Playlist untuk pendengar kategori pendengar ini:

Rully Shabara & Wukir Suryadi - Senyawa

ZOO - Trilogi Peradaban

ZOO - Prasasti