FYI.

This story is over 5 years old.

malaysia

Operasi Antiteror Malaysia Rasis dan Menyasar Imigran

Dari 400-an orang yang ditangkap, mayoritas justru komunitas India, Pakistan, dan Bangladesh. Tak ada satupun dari mereka terkait terorisme.
Foto dari THE STARTV.COM via Reuters

Ratusan personel aparat keamanan Malaysia, bersenjata lengkap, menyerbu perkampungan warga dari komunitas Asia Selatan di pinggiran Kuala Lumpur awal pekan ini. Polisi dari satuan antiteror itu menangkap 409 orang, yang oleh media massa setempat dijuluki sebagai operasi pembersihan terorisme terbesar dalam sejarah Negeri Jiran. Hanya ada satu masalah dari penangkapan tersebut: tidak ada satupun tersangka yang memiliki jaringan teroris.

Iklan

Belakangan terungkap yang disasar justru lebih banyak imigran asal Bangladesh, India, dan Pakistan. Pihak kepolisian Malaysia mengklaim Operasi yang diberi sandi 'Joker' menyasar mereka yang memiliki dokumen palsu dan diduga memiliki kontak dengan militan di Suriah berdasarkan database Interpol. Polisi turut menyita mesin pembuatan paspor dan dokumen keimigrasian palsu dalam operasi tersebut.

"Kami akan mendeteksi dan menangkap warga negara asing yang diduga terlibat jaringan teroris, terutama mereka yang terlibat dalam semua aktivitas terorisme di Suriah," kata kepala divisi antiterorisme Ayob Khan Mydin Pitchay dikutip BBC. "Kami khawatir karena ada informasi teroris jaringan Suriah sudah berada di Malaysia."

Namun, karena yang disasar kebanyakan adalah imigran, alhasil dari 400-an orang, 133 dinyatakan melanggar hukum karena persoalan dokumen. Walau tujuan utama operasi antiteror itu tak tercapai, media massa Negeri Jiran sekadar mengutip keterangan pemerintah bahwa target tercapai. Pemerintah Malaysia khawatir teroris akan menyerang wilayah mereka menjelang pelaksanaan SEA Games.

Mohamed Fuzi Harun, Kepala Satuan Antiteror Polis Diraja Malaysia, membantah bila operasi mereka kemarin bernuansa rasis terhadap imigran Asia Selatan. "Ancaman terorisme di negara kami sangat nyata," ujarnya. "Kami ingin memastikan pada publik bahwa polisi siap bertindak tegas."

Warga dari etnis India, termasuk Bangladesh dan Pakistan, jumlahnya mencapai 7 persen dari total populasi Malaysia. Jika kita turut memasukkan perkiraan tak resmi, mencakup imigran tanpa dokumen, maka angkanya melonjak hingga 20 persen.

Iklan

Sepanjang sejarah Malaysia, etnis India sudah sering mengalami diskriminasi. Sangat biasa bila polisi setempat menduga warga dengan wajah Asia Selatan sebagai penduduk asing tanpa izin. Diskriminasi dan prasangka rasial itu merasuk pula dalam sistem pendidikan. Novel yang menjadi bacaan wajib SMA di Malaysia menyebut orang India rata-rata berasal dari "kasta pariah".

Aegile Fernandez, Direktur LSM Tenaganita yang mengadvokasi korban diskriminasi buruh migran di Malaysia, menyatakan operasi antiteror pekan ini jelas-jelas mengandung bias rasial tertentu. "Mereka yang ditangkap itu semuanya justru korban," ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia. "Mereka harus membayar dalam jumlah besar agar bisa bekerja di Malaysia, lalu terjerat utang."

Parti Sosialis Malaysia turut mengecam tindakan polisi yang mencampuradukkan operasi antiteror dengan penggerebekan buruh migran. Jubir Partai, R. Mohanrani menyatakan pada VICE Indonesia bahwa operasi semacam ini sudah rutin dilakukan Polis Diraja Malaysia. Banyak buruh migran, terutama dari Asia Selatan dan Indonesia, yang ditahan tanpa alasan selama lebih dari sebulan.

"Bagi kami, operasi tempo hari jelas-jelas diskriminatif terhadap komunitas migran tertentu," ujarnya. "Polisi seharusnya sudah memiliki pasokan data intelijen yang jelas jika ingin menangkap teroris."

Menurut Pitchay salah satu target operasi awal pekan ini adalah menangkap 16 militan Malaysia yang dideportasi pemerintah Turki karena mencoba masuk ke Suriah. Sayangnya operasi tersebut tak sesuai target. Pitchay menyalahkan Turki yang tidak berkoordinasi terlebih dulu dengan Malaysia.

Iklan

Sebanyak 275 orang telah dibebaskan karena tak terbukti melakukan pelanggaran. Sedangkan sisanya sedang dalam pemeriksaan. Merujuk Security Offences (Special Measures) Act 2012, mereka yang diduga terlibat dalam aktivitas terorisme di Malaysia dapat ditahan selama 28 hari tanpa didampingi bantuan hukum. Security Offences kerap dikritik para aktivis karena dijadikan alat untuk membungkam mereka yang berseberangan dengan pemerintah.

Sebanyak 989 militan telah ditahan oleh aparat Negeri Jiran sejak 2012 hingga tahun ini. Sekira 376 orang telah dibebaskan, 139 tengah diadili, dan 502 orang telah dijatuhi hukuman.

Pengamat terorisme Ridlwan Habib mengatakan bahwa operasi penangkapan tersebut adalah bentuk kewaspadaan, bukan paranoia. Menurutnya hal itu dianggap perlu mengingat Malaysia memiliki sejarah panjang dalam hal terorisme.

"Kecemasan di kawasan Asia Tenggara itu sangat kelihatan," ujar Ridlwan kepada VICE Indonesia. "Indikasi bahwa ISIS menargetkan Asia Tenggara sebagai basis itu masih nyata. Beberapa gerilyawan Pattani di Thailand Selatan juga sudah kembali dari Suriah. Itu salah satu contoh saja."

Serangan yang dimotori oleh ISIS pertama kali terjadi pada Juni 2016 di sebuah kelab malam Movida di Selangor. Delapan orang terluka dalam serangan granat yang diotaki oleh warga Malaysia yang berada di Suriah Muhammad Wanndy Mohamed Jedi. Dia dikabarkan tewas awal tahun ini dalam serangan drone.

Saat ini kepolisian Malaysia tengah mengintensifkan upaya penangkapan Ahmad Mahmud yang diduga menjadi otak sekaligus perekrut dan penyalur dana bagi militan di Filipina dan Indonesia. Mahmud diduga menjadi otak di balik serangan bom terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur yang menewaskan tiga anggota Brimob.

Jejak terorisme di Malaysia bisa dilacak kembali sejak akhir dekade 80. Kala itu Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) memimpikan negara syariah dan berusaha menggulingkan pemerintahan Mahathir Mohamad. Malaysia yang merupakan tempat persembunyian bagi para militan asal Indonesia yang lari dari kejaran rezim Suharto, menjadi saksi lahirnya organisasi teroris Jemaah Islamiyah (JI) awal 1990-an.

Sebanyak 60 militan asal Malaysia tercatat telah bergabung dengan ISIS sejak 2014. Salah seorang sumber di kepolisian Malaysia mengatakan bahwa Malaysia menjadi "tempat pembuangan" jihadis yang dideportasi dari Turki. Pada April sekira 30 jihadis ISIS ditangkap di bandara. Sumber tersebut mengatakan bahwa "turis-turis yang tidak diinginkan" tersebut memilih Malaysia lantaran memiliki kebijakan visa yang longgar.