Pandemi Corona

Kematian Pasien Corona Usia Anak Tinggi, Wacana Buka Kembali Sekolah Ditentang

Pemerintah diminta mempertimbangkan ulang rencana membuka sekolah dalam rangka Kenormalan Baru mengingat 1,4 persen korban meninggal akibat virus corona di Indonesia adalah anak-anak.
Angka kematian pasien corona usia anak di Indonesia tinggi
Murid salah satu SD negeri di Kepulauan Natuna. Foto oleh Ricky Prakoso/AFP

KDS, bayi berusia 1,3 tahun asal Batam, dilaporkan meninggal dunia kala statusnya masih sebagai pasien dalam pemantauan (PDP). Ia mengalami demam, kejang, dan diare sebelum akhirnya dilarikan ke salah satu rumah sakit swasta Batam untuk diisolasi. Pada 23 Mei, nyawa sang bayi tidak tertolong dan dikebumikan dengan protokol corona. Empat hari berselang, hasil tes dirilis. Ia dikonfirmasi positif tertular corona.

Iklan

Anak-anak kerap dianggap “kebal” corona, diprediksi memiliki gejala lebih ringan dan lebih tidak mematikan dari pengidap berusia dewasa. Menurut dosen kajian infeksi dan imunitas anak di Universitas Oxford Andrew Pollard, pada awalnya virus corona diperkirakan tidak akan menginfeksi anak. “Namun, kini jelas bahwa beberapa anak bisa terinfeksi virus ini, sama seperti orang-orang dewasa. Hanya saja, ketika mereka terinfeksi, mereka mengalami gejala yang jauh lebih ringan,” kata Andrew kepada BBC.

Minggu lalu, data resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan prediksi gejala ringan tersebut tidak sepenuhnya akurat. Secara mandiri, IDAI merilis data yang membuktikan adanya kerentanan usia anak terhadap bahaya virus. Per 18 Mei, IDAI melaporkan 584 anak positif corona, 14 meninggal karenanya. Kemudian ada 3.324 anak berstatus PDP yang 129 di antaranya meninggal dunia.

Data pemerintah yang dihimpun Republika punya nada tak jauh beda. Sampai 27 Mei, corona merenggut 12 nyawa anak berusia 0-5 tahun dan 9 nyawa anak usia 6-17 tahun. Kalau dibandingkan secara nasional, berarti sekitar 1,4 persen korban meninggal corona adalah anak-anak. Melihat angka-angka ini, kita harus tanamkan dua hal.

Pertama, meski terkesan rendah, itu semua adalah nyawa manusia. Satu korban pun harus dianggap terlalu banyak. Kedua, tingkat kematian anak karena corona di Indonesia termasuk tinggi dibanding negara lain. Jepang misalnya, tingkat kematian anak akibat corona tak sampai 0,1 persen, sedangkan anak berumur 10-19 tahun di Tiongkok yang meninggal karena corona 0,18 persen. Anak di bawah 9 tahun? nol korban.

Iklan

Gara-gara ini, IDAI secara resmi mendesakkan ke pemerintah sebelas poin anjuran untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih memperhatikan keselamatan masyarakat di masa depan, terutama anak. Pemerintah diminta lebih mengetatkan kebijakan pembatasan fisik. Keselamatan anak diprioritaskan dengan melanjutkan kegiatan pembelajaran sekolah secara daring, mengingat sulitnya mengendalikan transmisi virus karena kerap terjadi kerumunan di sekolah. Surat resmi ini ditandatangani pada 22 Mei lalu dan bisa dilihat selengkapnya di situs resmi IDAI.

“Temuan ini menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tinggi dan membuktikan bahwa tidak benar kelompok usia anak tidak rentan terhadap Covid-19 atau hanya akan menderita sakit ringan saja,” ujar Ketua Umum IDAI Aman B. Pulungan dalam keterangan resmi IDAI di situs resmi.

Menanggapi hal ini, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 dr. Achmad Yurianto mengatakan, usia muda memang rentan terhadap penularan mengingat kelompok ini masih sering berada di luar rumah. Namun, melihat bagaimana IDAI menghimpun datanya sendiri, Yuri tidak ambil pusing.

“Itu data mereka, saya kan enggak mungkin salahkan data mereka, mereka yang menghitung sendiri, data (milik pemerintah) ada di provinsi,” kata Yuri dilansir Detik.

Menyongsong Kenormalan Baru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama berencana membuka kembali sekolah pada 13 Juli mendatang. Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menunjukkan rasa waswasnya. Ia meminta pemerintah mengkaji ulang niatan tersebut apabila penyebaran virus belum mereda. Belajar dari negara lain, Retno berharap kasus nol dulu, baru aktivitas sekolah kembali dibuka.

“Anak-anak tertular itu menunjukkan bukti bahwa rumor Covid-19 tidak menyerang anak-anak, tidak benar. Beberapa negara membuka sekolah setelah kasus positif Covid-19 menurun drastis bahkan sudah nol kasus. Itu pun masih ditemukan kasus penularan covid-19 yang menyerang guru dan siswa. Peristiwa itu terjadi di Finlandia,” kata Retno kepada Okezone.

Rencana membuka lagi sekolah juga telah ditentang Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia dan para orang tua. Sejumlah orang tua menyatakan bertekad tak akan mengirim anak mereka ke luar rumah. "Ya ngerti di rumah (untuk jaga jarak dan cuci tangan), tapi kalau sudah masuk sekolah, ya namanya anak kecil pasti enggak betah. Mau bercanda sama teman," kata Nindi, salah satu orang tua, kepada CNN Indonesia.