Mengelilingi Bangkok Bersama Ambulans 'Para Pemungut Jasad'
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Thailand

Mengelilingi Bangkok Bersama Ambulans 'Para Pemungut Jasad'

Tingkat kecelakaan jalan raya di Thailand sangat tinggi, sementara jumlah ambulans amat minim. Inilah cerita mereka yang bergabung tim ambulans sukarela Ruamkatanyu.

Hatchaya Aungaumrung menatap kosong ke luar jendela mobil ambulans kecil yang dia tumpangi. Kami sedang melaju di jalan layang pusat Kota Bangkok, Thailand, dini hari itu. Ada kecelakaan di luar sana, di arah yang sedang kami tuju. Bisa jadi kami menemui kematian, mungkin pula tidak. Mati di jalan adalah salah satu cara meninggal yang diakrabi warga Thailand. Jumlah kecelakaan jalan raya di Negeri Gajah Putih nyaris tertinggi sedunia. Sepanjang enam bulan terakhir, ada 5.000 warga Thailand meninggal akibat tabrakan ataupun kecelakaan tunggal. Akhir tahun lalu, total korban tewas akibat kecelakaan di jalan mencapai lebih dari 20 ribu orang.

Iklan

Ambulans yang saya tumpangi bersama Hatchaya mendadak berhenti. Dari jendela mobil, saya bisa melihat sebuah sedan Toyota Camry warna hitam menghantam beton pemisah jalan raya. Mobil tersebut remuk luar dalam, bagian depan nyaris tak berbentuk lagi. Sosok pria terdiam di belakang kemudi. Darah membasahi kemejanya dari bibir yang terkoyak.

"Jika si pengemudi ternyata sudah tewas, tolong jangan memotret wajahnya ya," kata Hatchaya, mengingatkan saya sembari kami berdua keluar dari mobil dan mendekat ke lokasi insiden.

Hatchaya, lebih akrab disapa Paw, adalah anggota sukarelawan Ruamkatanyu Foundation ambulance corps. kelompok ini adalah organisasi pemeluk Buddha yang memberi bantuan penanganan darurat untuk korban kecelakaan di seantero Bangkok. Ibu kota Thailand ini, yang luasnya nyaris dua kali lipat DKI Jakarta, cuma memiliki 150 ambulans untuk keperluan darurat apapun. Karena itulah, Ruamkatanyu berusaha membantu pemerintah lewat sokongan ambulans cadangan. Sebab ambulans milik RS swasta tak kalah sibuknya melakukan tugas setiap hari.

Seiring waktu, Ruamkatanyu justru menjadi salah satu andalan utama layanan medis darurat di jalanan Bangkok. Relawan mereka seringkali datang pertama kali ke TKP kecelakaan, merawat korban selamat, atau setidaknya langsung mengantar korban tewas ke kamar jenazah. Pengantaran jenazah itu belakangan jadi spesialisasi utama Ruamkatanyu.

Karenanya mereka kerap dijuluki warga sebagai "para pemungut jasad."

Iklan

Hatchaya Aungaumrung, biasa dipanggil Paw, saat menanti panggilan darurat.

Perjalanan saya malam itu bersama para pemungut jasad dimulai dari "markas" mereka. Jangan bayangkan ini gedung atau kantor. Para personel Ruamkatanyu, berkumpul menjelang tengah malam di lahan parkir bawah jalan layang. Belasan orang sambil ngobrol dan mengudap kacang dan mangga kering, berkeliling dekat handie talkie yang akan mengabarkan lokasi insiden. Personel Ruamkatanyu tak selalu sibuk. Kadang semalam suntuk mereka hanya akan ngobrol dan menunggu panggilan. Namun, di malam yang sibuk, panggilan bantuan tak henti-henti berdatangan. Biasanya, malam paling sibuk adalah saat malam minggu, ketika banyak orang mengendarai mobil atau sepeda motor dalam keadaan mabuk dari bar.

Harus diakui, pemicu banyaknya kecelakaan di jalanan Thailand adalah kombinasi antara alkohol dan sepeda motor yang dikendarai seenak jidatnya. Di Bangkok saja, sebanyak 26 persen kecelakaan dipengaruhi alkohol. Para petugas layanan medis darurat sampai turut jadi korban. Mei 2017, empat tenaga medis tewas ketika ambulans yang mereka tumpangi menuju lokasi kecelakaan di selatan Provinsi Trang, ditabrak pengemudi mobil mabuk. Anggota Ruamkatanyau sudah sering diancam oleh orang mabuk, ketika menolong korban perkelahian atau kecelakaan di dekat bar.

Di malam yang sama saat saya ikut serta mereka, terjadi kecelakaan lain. Kami tiba di TKP dalam hitungan menit. Tiga orang yang naik sepeda motor, semuanya masih satu keluarga, jadi korban kecelakaan tunggal sesudah menabrak batas jalan. Sang ibu terbaring di jalanan, masih sadar, tapi luka-lukanya parah sekali. Suaminya kehilangan banyak darah dari lengan yang tersayat, sambil tergeletak di dekat istrinya. Sementara anak mereka, bocah lelaki yang belum genap 10 tahun, sudah diamankan oleh paramedis. Bocah itu berteriak kesakitan karena kakinya patah.

Iklan

Setiap tenaga medis di lokasi kejadian saling berteriak, mengingatkan rekan mereka untuk mengupayakan perawatan secepat mungkin. Setelah si bocah lelaki dan ibunya dipastikan dalam kondisi stabil, keduanya segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Saya berada di dalam ambulans sukarelawan yang mengangkut si ibu. Dalam kondisi lemah, dia bertanya, di mana anaknya, apakah bocah itu dibawa ke rumah sakit yang sama dengannya. Sang paramedis menangkan perempuan tadi, menjelaskan anaknya juga menuju RS yang sama. Sambil mengajaknya ngobrol, si bapak paramedis cekatan membebat kaki sang ibu.

Sopir ambulans Ruamkatanyu sigap berbelok ke jalan tikus, atau menyusup minta jalan, di tengah kemacetan yang sering melanda Bangkok bahkan pada saat dini hari. DI tengah hiruk pikuk malam itu, saya teringat percakapan sore sebelumnya dengan Wakil Ketua Korps Sukarelawan Ruamkatanyu, Noppadon Sitongkhum. Saya bertanya, apa motivasi yang mendasari para sukarelawan bersedia menghabiskan waktu saban malam dan bahkan mempertaruhkan keselamatan mereka sendiri menolog korban kecelakaan.

"Kami semua melakukannya atas dasar kemanusiaan," kata Noppadon. "Secara pribadi, saya tidak pernah tertekan selama menjalani profesi ini. Saya sudah terbiasa menghadapi jasad yang membusuk atau potongan tubuh. Semua orang yang bergabung dengan Ruamkatanyu sudah siap menghadapi risiko semacam itu. Profesi ini akan terasa berat jika kalian tidak ikhlas menjalaninya."

Iklan

Tentu saja, setiap sukarelawan mengalami masa penyesuaian yang berat saat pertama kali mulai menolong korban kecelakaan. Noppadon mengaku awalnya agak takut ketika memindahkan jasad atau saat menenangkan korban luka sebelum diangkut ambulans. "Pastilah ada keraguan ketika kami mulai menolong korban kecelakaan. Untuk apa kami melakukan ini," kata Noppadon.

"Hal yang paling sulit bagi sukarelawan tenaga medis seperti kami adalah penanganan medis yang memadai," ujarnya. "Memindahkan korban kecelakaan yang luka berat perlu ekstra hati-hati. Kami harus tetap tenang, karena kalau kami sembrono atau gugup, mereka bisa saja lumpuh."

Menangani jasad korban tewas di jalan menjadi pelajaran penting bagi saya malam itu. Para sukarelawan Ruamkatanyu sudah paham, mereka tak bisa menjadi superhero menyelamatkan nyawa para korban. Seringkali saat mereka tiba korban telah tiada. Malam itu, saya dua kali menyaksikan sendiri kematian saat ikut rombongan para sukarelawan.

Jasad pertama yang kami saksikan adalah seorang pria yang kemungkinan besar meninggal overdosis. Tubuhnya tergeletak di samping pasar tradisional, dekat kawasan pelacuran. Para pekerja seks menemukan sosoknya, lalu melapor ke polisi. Aparat menghubungi Ruamkatanyu, meminta para sukarelawan mengantar jasad itu ke kamar jenazah RS terdekat.

Di sana, di kamar jenazah, yang terasa hanyalah kesendirian. Jasad itu digeletakkan di atas meja beton. Tak ada sama sekali petugas yang berusaha mencari tahu identitasnya. Apabila polisi tak segera menemukan petunjuk, entah dari sidik jari atau KTP, maka mayat ini akan tanpa nama hingga ke alam kubur.

Iklan

Menjelang subuh, kami dapat panggilan lain. Sebuah sepeda motor menghantam pembatas jalan. Sosok tubuh lelaki berjarak 18 meter dari motor itu sudah ditutupi lembaran kain. Paramedis memperkirakan dia tertidur saat ngebut karena pengaruh alkohol, sehingga motornya kemudian menghantam sisi jalan. Tabrakan keras itu menewaskannya seketika. Paw bilang helmnya masih terpasang di kepala dan nyaris tidak ada luka. Maka tugas Ruamkatanyu adalah mengantar jasad itu ke kamar jenazah.

Insiden kecelakaan motor itu mengingatkan Paw pada cerita kelam tahun lalu.

Dia punya alasan pribadi saat memilih bergabung dengan Ruamkatanyu. Tahun lalu, kekasih Paw tewas dalam kecelakaan. Pada saat sang kekasih sekarat, yang datang lebih dulu ke lokasi adalah ambulans milik para sukarelawan. Mereka sudah memberi bantuan maksimal, sayangnya luka-luka kekasih Paw terlalu berat.

"Saya kemudian memilih menjadi sukarelawan, saya sudah pernah kehilangan orang terkasih akibat kecelakaan," ujarnya. "Saya tidak ingin pengalaman yang sama menimpa orang lain."

Namun jalanan Bangkok tampaknya masih akan mematikan. Pekerjaan Paw dan sukarelawan lainnya belum akan berakhir.