FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner

Banjir Poke Bowl Menandai Terjangan Tren Kuliner Fast Casual

Akankah penikmat makanan di Indonesia bisa selamat dari tren menyebalkan ini?
Photo by Kirk K/Flickr CC License

Poke pernah menjadi sebuah kudapan kesohor di Hawaii dekade 70-an. Awalnya, Poke yang berbahan dasar potongan ikan mentah dibuat sebagai pengganjal perut nelayan setempat sebelum akhirnya jadi menu wajib yang dipelajari di akademi perhotelan. Santapan berupa potongan ikan mentah yang disajikan bersama ikan dan beberapa bumbu asia macam minyak wijen dan rumput laut kini menjadi salah satu tren makanan lama yang mendadak kembali tenar di seluruh dunia bersama egg benedict dan versi modern dari Chinese Bao. Dalam wujud terbarunya, Poke beralih rupa menjadi poke bowl. Masih poke, cuma ditambah nasi putih.

Iklan

Sebagai jawaban bagi dominasi korporasi makanan siap saji sudah dimulai dari dekade 1960, chef profesional yang benar-benar peduli dengan industri makanan mulai menggagas
fast casuals, sebuah konsep makanan yang bisa disajikan secepat dan senyaman junk food, namun tak bergantung pada bahan makanan beku, disiapkan dengan lebih baik, murah dan punya identitas brand yang keren.

Di Indonesia, terutama di kawasan kompolitan seperti Jakarta dan Bali, outlet fast casual bermunculan seperti jamur di musim hujan; Eatlah, Halal Boys (epigon lokal dari Food Truck asal New York) dan Nalu Bowl hanya beberapa contoh di antaranya. Sayangnya, kios-kios yang tengah naik daun ini ujung-ujungnya cuma bentuk KW super dari tren kuliner yang pernah ramai dibicarakan setahun lalu.

Poke bowl misalnya. Popularitas kudapan ini mentok pada tahun 2016. Kenyataanya, di Indonesia, santapan ini baru masuk daftar rekomendadsi Go-Food—indikasi kuat lakunya sebuah makanan di kota-kota besar—awal tahun ini. Naik pesatnya bisnis model kuliner fast casual menarik perhatian orang-orang di luar industri kuliner. Bahkan beberapa chef dengan latar belakang yang unik berhasil membangun kerajaan bisnis kecil-kecilan melalui eksekusi konsep fast casual yang ciamik.

Perkambangan ini adalah bukti bahwa selama ini industri kuliner masih bergantung pada branding untuk menarik konsumen. Konsep yang gitu-gitu doang seperti brunch campur ngopi, asian fusion dan smoothie bowls pernah jadi mantra larisnya bisnis makanan selama beberapa tahun terkahir. Meski menjamurnya restoran fast casual bisa dipandang sebagai usaha kuliner yang cepat balik modal, pertumbuhannya juga menghambat perkembangan industri makanan lokal dalam kompetisi global, ujar Respati Tamio dari Jakarta Supper Club.

Iklan

"Locals tend to copy things rather than creating new stuff," tutur Tamio. "Kebanyakan tempat ini jarang terinspirasi dari chefnya. Orang Indonesia lebih cenderung tahu makanan dan tempatnya daripada yang masak."

Fast casual punya cap buruk dalam industri makanan karena outlet fast casual kerap naik dan gulung tikar dalam waktu singkat. Khusus di Indonesia, restoran fast casual umumnya bangkrut lantaran selera konsumennya kelewat labil. Kalaupun ada yang bisa bertahan, maka restoran-restoran ini berhasil menciptakan gaya hidup subkultur yang ujung-ujungnya jadi penyambung nyawa merela.

"Kalau kita amati kancah makanan sehat, komunitasnya kecil dan pemainnya itu-itu saja," kata Glenn Munthe, jaringan waralaba makanan sehat Burgreens. "Pelangggan yang pertama datang kemudian pelanggan setia. Pelanggan setia jadi pelanggan yang pintar. Mereka mengajak teman-temannya dan mulai mengedukasi mereka tentang produk makanan sehat."

Labilnya selera konsumen adalah sesuatu yang sulit dihindari di pasar kuliner Indonesia, kata Munthe. Kunci untuk bertahan dalam pasar lokal, menurutnya, adalah dengan terus melakukan inovasi produk dan gemar mengedukasi pelanggan tentang kelebihan produk lewat interaksi langsung. Dalam kasus makanan sehat, makin banyak orang yang berusaha mengamalkan gaya hidup sehat. Ini yang harusya dimanfaatkan untuk fast casual. Baru, dengan cara inilah, restoran fast casual bisa bertahan.

Iklan

Masalahnya, kesuksesan yang dicapai Burgreens jarang terdengar di industri kuliner lokal. Sejauh ini, industri makanan lokal selalu nebeng pengaruh industri kuliner internasional yang dibawa pulang oleh para chef lokal yang menimba ilmu di luar negeri atau turis dari negara yang kebetulan punya industri kuliner yang lebih maju. Positifnya, tumbuh suburnya restoran fast casual bisa dimaknai sebagai kemajuan dalam hal kesadaranakan produk dan pengetahuan akan cita rasa dalam industri kuliner, tukas Jessica Lin dari St. Ali

"Soalnya fast casual food itu simple," ujar Lin. "Kebanyakan orang kuliner kan prinsipnya makan buat experience, bukan makan buat kenyang."

Dengan demikian, menurut Lin, konsumsi fast casual bisa disandingan dengan kebutuhan pelanggan akan pengalaman kultural. Sebagai contoh, Gyutan Don sudah jadi menu wajib di semua restoran yang mendaku sebagai tempat nongkrong yang hip. Rice bowl ala jepang yang dipopulerkan oleh penduduk Indonesia dan turis yang meniru sajian Menya Ramen di Melbourne juga pernah jadi tren kuliner sesaat di tahun 2015.

"Akan lebih mudah untuk membuka restoran dengan sajian yang mudah disiapkan, mudah dijual sekaligus sedang ngetren. Kualitas baru dipikirkan kemudian,"ujar Patrese Vito dari Robuchon au Dôme, Macau. "Tapi, bagi orang yang mencintai industri kuliner, ini bakal sangat menyebalkan."

Meski masuknya tren fast casual dalam khasanah kuliner Indoneisa (terutama yang dikelola oleh mereka yang tak memiliki latar belakang kuliner) berpeluang bikin keki pegiat kuliner yang benar-benar memiliki latar belakang yang memadai, kita harus akui bahwa kesuksesan restoran fast casual hampir pasti bisa diraih. Kenapa begitu? Menurut Vito, karena mayoritas konsumen dalam industri kuliner Indonesia berasal dari kelas menengah yang punya daya beli tinggi.

"Kami sebagai chef bakal membela apa yang menurut kami benar," kata Vito. "Tidak menutup kemungkinan, kami akan turun tangan dan memasakn sajian 'fast casual' tapi dengan kualitas yang menurut kami layak."