FYI.

This story is over 5 years old.

Pilkada Serentak 2018

Tak Ada Kesempatan Kedua Bagi Djarot, Ia Kalah Telak di Sumatera Utara

Letnan Jenderal (Purn) Edy Rahmayadi unggul dengan perolehan suara 58,8 persen versi hitung cepat. Isu putra daerah membuatnya unggul.
Foto oleh Teguh Harahap

Semestinya Sumatera Utara bisa jadi tempat Djarot Saiful Hidayat untuk kembali berpijak dan bangkit dari kekalahannya di pilkada Jakarta tahun lalu. Malang, kebangkitan itu gagal terwujud. Djarot kalah telak dari Edy Rahmayadi, mantan perwira TNI yang memiliki dukungan yang sangat mengakar di Sumatera. Edy memenangkan pilkada Sumatera Utara dengan raihan suara sebanyak 58.8 persen, menurut beberapa hasil hitung cepat. Hasil resmi pilkada serentak yang digelar hari ini memang baru akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada 7 Juli mendatang. Alhasil, hasil hitung cepat jamak dianggap sebagai gambaran hasil akhir pungutan suara.

Iklan

Pemungutan suara pada Rabu, 27 Juli 2018, dimulai dengan cukup baik di TPS dekat kediaman Djarot, Madras Hulu, Medan. Namun, pada pukul 3 sore, perhitungan suara menunjukkan hasil yang mengejutkan. Djarot terseok-seok, tertinggal jauh dari perolehan suara Edy yang sudah mencapai dua digit. Selang dua jam kemudian, Edy mengumumkan kemenangannya dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan televisi. Dalam pidato kemenangannya, Edy berterimakasih kepada Tuhan atas hasil positif yang dia capai hari ini.

"Saya bersyukur bisa menang,"ungkap Edy dalam pidatonya merayakan kemenangan di provinsi yang penduduknya mencapai 13,5 juta ini. “Kita rayakan kemenangan dengan berdoa bersama-sama, apapun agama kalian. Kita tak usah bikin arak-arakan di Jalan.”

Sejatinya, hasil pilkada gubernur Sumatera Utara tak buruk-buruk amat bagi Djarot. Beberapa polling menjelang pemungutan suara sempat memprediksi mantan wakil gubernur Jakarta itu menang dengan selisih perolehan suara sebesar 2 persen—jelas bukan sebuah margin kemenangan yang menyakinkan. Kendati demikian, perkiraan margin sekecil itu sudah cukup menerbitkan optimisme tim pemenangan Djarot. Keyakinan ini sempat menebal saat Djarot menang telak di TPS dekat rumahnya. Di tempat itu, dia meraup 170 suara, unggul jauh dari Edy yang cuma mengantongi 53 suara. Pemilih yang datang ke TPS tersebut mengatakan kepada VICE mereka memilih Djarot karena imejnya yang bersih dan rekam jejaknya sebagai figur pemimpin Jakarta yang efektif.

Iklan

"Saya pilih Djarot karena dia bersih dan tidak pernah di-blacklist," ujar Marlin September Naibaho, 61. "Di Sumatera Utara kami sudah trauma dengan korupsi gubernur lama,” lanjutnya merujuk dua gubernur Sumatera Utara terdahulu yang terjerat kasus korupsi.

Pendukung Djarot lainnya, Linda Kaban, seorang dokter gigi berusia 56 tahun, mengungkapkan kepada VICE "Kami rindu gubernur yang tidak korupsi di Sumatera Utara."

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berusaha memanfatkan citra bebas korupsi Djarot untuk memperkuat posisinya di Sumatera Utara, sebuah provinsi yang selama ini dikuasai oleh Partai Keadilan Sejahtera. Sayang, pada prakteknya, nama besar dan rasa aman yang dijanjikan Edy yang lebih memotivasi pemilih menuju TPS alih-alih citra bersih Djarot.

Letnan Jendral (Purn) Edy Rahmayadi, yang pensiun dini dari TNI untuk ikut pilkada, dipandang sebagai pemimpin kuat berkat latar belakang militernya dan dianggap sebagai sosok yang dibutuhkan untuk memimpin salah satu provinsi dengan tingkat kejahatan paling tinggi di Indonesia.

“Dia bertanggung jawab dan bersih," kata Sugiono, Pegawai Negeri Sipil berusia 26 yang memilih Edy. "Tidak pernah ada bukti dia salah atau ada masalah hukum. Djarot sama kayak Jokowi. Mereka tidak bisa bergerak atau mengubah apa-apa. Mereka tidak cukup kuasa"

Sugiono juga meragukan bahwa Djarot bersih seperti yang dia klaim. Dia menjelaskan bahwa dia harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan KTP baru. Tapi Djarot, yang, sampai pemilihan ini adalah warga Jakarta, dapat muncul dan mendapatkan KTP-nya hampir segera, katanya. Itu adalah tanda bagi Sugiono bahwa Djarot tidak malu untuk memanfaatkan ketenarannya untuk memotong birokrasi pemerintahan yang lamban.

Iklan

“Djarot potong-potong aja karena dia terkenal,” kata Sugiono pada VICE. “ Dia tidak peduli tentang orang yang di bawah di Sumatera Utara.”

Pada akhirnya, pemilih juga melihat Edy sebagai bagian dari wargag. Sementara Djarot menghabiskan seluruh karier politiknya di Jawa. Dia bahkan tidak pernah tinggal di Sumatera Utara sebelum pilkada. Identitas seseorang sangat berpengaruh menentukan dukungan suara, kata Kardina Karim Hamado, seorang dosen dalam politik dan hubungan internasional di Universitas Fajar.

“Sangat disayangkan, tapi pemilih masih cenderung konservatif,” ujarnya. “Pilihan mereka masih belum berubah.”

Yunita, 18 tahun, menyampaikan pada VICE bahwa dia memilih Edy justru karena itu. “Saya akan selalu memilih putra daerah ketimbang seseorang yang enggak berasal dari sini,” ujarnya. “Edy orang sini dan dia tahu Medan. Djarot orang Jakarta.”

Para pengamat bilang mereka tidak terkejut dengan hasilnya. Ian Wilson, dosen kajian politik dan keamanan dan peneliti di Asia Research Centre, Murdoch University, berkata bahwa petinggi partai PDI-P mungkin keliru menaksir elektabilitas Djarot di luar Jakarta.

“Fakta bahwa Djarot dari Jakarta mungkin, pada akhirnya, merugikan dirinya sendiri. Terlepas dari asumsi para penyokong partainya bahwa reputasinya sebagai wakil gubernur dan gubernur Jakarta berarti dukungan yang cukup untuk memenangkannya,” ujar Wilson pada VICE.

“ada nilai politik yang meningkat dari wacana ‘putra daerah’,” ujarnya. “Putera daerah adalah wacana yang sering muncul dalam kampanye politik Indonesia yang berarti kandidat berasal dari setempat yang dielu-elukan sebagai tempat terbaik untuk melayani warga setempat.”

Iklan

Pilgub Sumatera Utara juga menyorot pergeseran kekuatan politik terhadap kandidat nasionalis di Indonesia, ujar Wilson. Kemenangan Joko Widodo pada pemilu presiden 2014 secara luas dipandang sebagai pergeseran kekuatan dari militer dan retorika nasionalis yang sebelumnya memenangkan pemilu presiden terdahulu, menuju masa depan saat pemilih lebih peduli dengan progres dan sepak terjang anti-korupsi.

Masih harus dilihat apakah kampanye Djarot akan mengajukan banding atau meminta penghitungan ulang pada tahap ini. Ketika VICE berbicara kepada seorang anggota tim kampanye Djarot, yang mensyaratkan anonimitas, dia mengklaim bahwa masih terlalu dini untuk menyimpulkan pilkada ini dan menuduh jajak pendapat cepat bisa saja salah dan dimanipulasi oleh media.

Tidak ada anggota senior PDI-P di Sumatera Utara yang bisa dihubungi pada saat tulisan ini disusun. Edy mengadakan konferensi pers di televisi untuk mendeklarasikan kemenangannya, sementara Djarot terpantau berada di kantor cabang PDI-P setempat, bersembunyi di dalam sebuah ruangan.

Keengganan Djarot dalam membuat pernyataan resmi mungkin menunjukkan kenyataan bahwa kekalahan mengejutkan ini menjadi pertanda buruk bagi Djarot.

“Ini adalah kekalahan keduanya dalam 14 bulan terakhir dan mungkin saja menandai akhir karir politiknya,” ujar jurnalis politik dari Pematang Siantar Ericssen Wen. Tentu saja Wen merujuk pada kekalahan Djarot di pilgub Jakarta tahun lalu.

Hal ini bisa berdampak buruk bagi Jokowi. Pilkada seringkali dipandang sebagai sarana cek ombak pemilihan presiden tahun depan. Gerindra dan PKS, tampil jauh lebih baik daripada yang diharapkan, dan tak hanya di Sumatera Utara, tetapi juga Jawa Barat dan Jawa Tengah, kata Wen. Akhirnya pemilu Sumatera Utara, sebagaimana pemilu di daerah manapun juga, tak hanya bicara soal kandidat yang berhasil unggul, tapi juga bakal calon presiden yang menyokong si kandidat dari belakang.

“Prabowo pasti tersenyum senang saat ini,” ujar Wen.