Masyarakat Adat Panama Memakai Drone Melawan Penggundulan Hutan
Semua foto oleh VICE

FYI.

This story is over 5 years old.

Lingkungan

Masyarakat Adat Panama Memakai Drone Melawan Penggundulan Hutan

Sang insinyur, orang asli komunitas adat Emberá, berusaha mempertahankan hutan yang penting bagi keluarganya dari ancaman illegal logging.

Artikel ini pertama dipublikasikan di  VICE magazine edisi Februari 2017. Klik DI SINI untuk berlangganan.

Artikel ini ditulis oleh Faye Planer dan Tristan Martin. Semua foto oleh Tristan Martin.

Pukul 4.30 pagi, kapal kami berbalik menuju perkotaan setelah kami menghabiskan empat hari di dalam hutan hujan tropis wilayah timur Panama. Kami berhenti di pinggir sungai yang dipenuhi bakau. Biarpun malam itu ada purnama, suasana di sekitar kapal masih sangat gelap.

Iklan

Seorang insinyur, dari masyarakat adat setempat, menemani perjalanan kami. Dia mengeluarkan ponsel memeriksa pesan masuk. Kapal tengah bertambat di area langka, yang bisa memberi kami sinyal ponsel. Sayang sekali, saat itu tak ada sinyal seperti biasa. "Wah sinyalnya pasti dimakan buaya nih," canda sang kapten. Jelas sekali bahwa semua yang berada di kapal frustrasi karena tidak dapat terkoneksi dengan internet.

Kami telah menghabiskan beberapa hari terakhir bersama tim ahli berisikan insinyur pribumi yang bekerja sama dengan Rainforest Foundation dan PBB memonitor penggundulan hutan ilegal yang terjadi di kawasan hutan lindung. Mereka membawa pengetahuan dan peralatan ke pedesaan Rio Hondo dan Platanares yang selama bertahun-tahun terpaksa diam menyaksikan tanah mereka diinvasi oleh pemburu kayu.

Hunched over a map in the village meeting hall, Elvis Cabezon points out nearby areas of deforestation he has marked with GPS coordinates.

Sambil membungkuk di atas sebuah peta di pertemuan desa, Elvis Cabezon menunjukkan titik-titik area deforestasi yang telah ditandai menggunakan koordinanat GPS.

Biarpun berada dalam lokasi terpencil dan hampir tidak terjangkau oleh resepsi sinyal ponsel, penduduk setempat melihat teknologi sebagai cara untuk membantu mempertahankan gaya hidup tradisional mereka, dan bukan malah sebagai ancaman. Anggota termuda di tim, Carlos Doviasa, datang dari komunitas Emberá. "Teknologi hanyalah cara untuk mengakses informasi," jelasnya. "Tanpa informasi, anda akan hidup dalam kebodohan. Mana yang lebih baik, hidup dalam kebodohan atau mencari tahu apa yang terjadi di luar teritori kita?"

Tim pengawas mulai beraksi begitu kita tiba di pesisir Rio Hondo, sebuah desa kecil berisikan sekitar 50 rumah panggung jerami. Setelah mendapatkan sinyal lemah, Doviasa menerbangkan quadcopter (helikopter mini) drone ke atas desa tersebut. " Ini adalah satu-satunya cara agar orang mau ke sini," candanya. Dan ternyata dia benar: bunyi dengungan drone menarik sekitar 40 orang menuju ruang pertemuan.

Iklan

Biarpun Carlon Doviasa beserta rekannya Eliceo Quintero dan Donald Negria adalah ahli drone, mereka mengandalkan dukungan komunitas setempat untuk memberikan lokasi tanah di mana invasi terjadi. Dalam setahun terakhir, mereka melatih teknisi lokal untuk mencatat koordinasi presisi GPS tempat penebangan liar terjadi menggunakan applikasi gratis di smartphone mereka.

Salah satu teknisi lokal yang berperan penting dalam misi ini adalah Elvis Cabezon, lelaki kalem berumur 28 tahun yang bergabung dengan program pemetaan setahun yang lalu. Sambil memegang smartphonenya dengan penuh bangga, dia mengatakan "Alat di tangan saya ini bisa membantu perjuangan kita." Hanya diterangi oleh sinar lampu pegang, tim mengelilingi sebuah peta di malam hari, menandai peta berdasarkan titik-titik GPS yang telah dicatat oleh Cabezon.

Local monitors Carlos Doviasa and Eliceo Quintero check their GPS position as they trek to a suspected area of deforestation.

Carlos Doviasa dan Eliceo Quintero mengecek posisi GPS selagi mereka melewati daerah yang diduga mengalami penggundulan.

Empat tahun lalu, tim ekspedisi yang menginvestigasi daerah terduga mengalami penebangan liar di dekat desa tetangga Platanares mengalam itragedi. Biarpun tidak jelas apa yang yang terjadi, faktanya ada adu tembak mengakibatkan kematian Aquilo Opua, pemimpin masyarakat adat Platanares dan seorang penebang bernama Batista Ezekie. Insiden semacam ini membuat penduduk desa enggan masuk ke dalam hutan. Dengan ancaman terhadap nyawanya, Cabezon menegaskan tetap harus ada yang mengemban tugas mengawasi hutan demi kesejahteraan komunitas adat. "Kalau hutan utama habis, kita tidak akan bisa melihatnya lagi. Saya ingin anak-anak yang lahir di sini tahu hutan itu seperti apa."

Iklan

Setelah data dari Cabezon dan insinyur lokal lainnya dikumpulkan, data tersebut akan dicocokan dengan bank data gambar satelit yang disebut Global Forest Watch. Menggunakan teknologi infra merah dan deteksi panas dari satelit NASA, grafik database menunjukkan perubahan jumlah pohon di kawasan hutan lindung Panama sepanjang kurun 2000 hingga 2014. Apabila area deforestasi yang ditangkap oleh satelit sesuai dengan area yang ditandai Cabezon, maka tim drone yakin bahwa area tersebut layak diselidiki lebih lanjut.

Esok paginya, tim menuju ke sebuah bukit dengan titik deforestasi terbesar. Selama tiga jam, pemimpin Rio Hondo, Fameru Osorio mengangkut drone dalam sebuah kardus besar yang dibopong di atas bahu melewati sungai dan jeratan daun-daunan di dalam hutan. Setelah beberapa saat, akhirnya kami menyaksikan pergantian pemandangan. Seiring kami menuruni sebuah bukit, kami mulai keluar dari hutan, menuju sebuah lembah padang rumput hijau dan melihat beberapa ekor sapi yang tengah mencari makan.

Cabezon dan Osorio menyaksikan pemandangan ini sambil meratap. Bagi kami mungkin ini pemandangan desa biasa, tapi bagi mereka, ini adalah bentuk ancaman besar bagi komunitas setempat. Keberadaan hewan-hewan ternak di hulu sungai yang memanjang turun ke desa seperti Rio Hondo telah mengkontaminasi sumber air bersih mereka. Pestisida yang digunakan untuk menyuburkan rumput dan erosi tanah disebabkan oleh penebangan liat membuar air sungai kotor dan tidak lagi layak untuk diminum dan digunakan oleh penduduk desa untuk berbagai kegiatan.

Iklan

Ada semacam rasa ragu-ragu ketika tim tengah bersiap memulai aksi. Drone mereka terbuat dari beberapa bongkah styrofoam bentukan yang direkatkan menggunakan tiang serat karbon dan selotip. Dibutuhkan koordinasi dari seluruh tim untuk bisa menerbangkan pesawat miniatur tersebut: Doviasa memegang kontrol drone, Quintero berjaga di depan komputer, sementara Negria harus bersiap meluncurkan drone tersebut ke udara. Begitu mesin mulai menyala dan baling-baling mulai berputas, Negria berlari pendek dan melempar drone tersebut ke udara. Doviasa menekan tombol gas dan drone tersebut menukik naik tinggi di atas lembah tersebut. "Semoga berhasil!" teriak Negria ke arah drone.

Di atas sana, drone berzig-zag ria keluar masuk lembah guna mendapatkan informasi lengkap seputar area deforestasi. Mengambil foto setiap beberapa detik sekali, drone tersebut akan menghasilkan ratusan foto sebuah peternakan yang diduga memakan sekitar 70 hektar. Ternyata mendaratkan drone tidak semudah menerbangkannya. Meluncur ke arah kami, drone tersebut mendarat dengan mulus sebelum di menit terakhir moncongnya menukik ke bawah ke dalam rumput.

Setelah kami kembali ke desa membawa hasil, para teknisi langsung membuka laptop untuk memproses data yang telah dikumpulkan. Hasil analisis awal dari foto-foto itu menunjukkan tanah seluas 80 hektar resmi menjadi korban penerbangan liar setahun terakhir.

One of the main causes of deforestation in this region is land being cleared for cattle pasture. Two members of the monitoring team look across one such ranch prior to mapping it from the air.

Penyebab utama deforestasi di wilayah ini adalah demi pembentukan peternakan. Dua anggota tim tengah menatap salah satu peternakan ini sebelum akhirnya mengambil foto menggunakan drone.

Biarpun para anggota tim terlihat bersenang-senang menggunakan aspek teknologi misi, ketika ditanya peringkat lunak atau peralatan favoritnya, Doviasa mengatakan bahwa yang terpenting bukanlah peralatan. "Jujur, saya telah menyaksikan banyak teknologi yang luar biasa. Ini hal yang baik. Namun lebih dari itu, saya ingin menunjukkan bahwa warga pribumi setempat juga bisa menggunakan teknologi ini. Sekarang kita tidak hanya melindungi hutan secara kultur, tapi juga dengan teknologi modern."

Iklan

Perjuangan melindungi tanah penduduk adat mendapat sokongan teknologi setelah mereka memberi bukti nyata pada pemerintah Panama yang tidak bisa dibantah tentang fenomena penggundulan hutan. Menurut Maricarmen Ruiz, staf PBB yang bertanggung jawab atas program pengawasan salah satu tantangan terbesar adalah untuk membuktikan [ke pemerintah] bahwa informasi yang dikumpulkan berkualitas baik. "Penduduk setempat tidak asal-asalan [mengawasi hutan]."

Ketika membicarakan pemerintahan Amerika Latin, Panama terkenal dengan reputasinya melindungi hutan hujan tropis dan menghargai hak tanah penduduk adat. Dekade 1980-an, Panama menetapkan sebuah sistem zona pribumi swatantara politis disebut comarcas. Namun sayangnya kebijakan ini berakhir setelah Abad 21, mengakibatkan banyak komunitas pribumi negara tersebut tidak memiliki status legal yang jelas atas kepemilikan tanah.

Sebagai usaha menghadapi masalah ini, delapan tahun lalu pemerintah Panama menetapkan UU nomor 72, semacam dasar hukum memperbolehkan komunitas pribumi yang tinggal di luar comarcas yang diakui mendaftarkan diri untuk memperoleh hak tanah terpisah. Namun prosesnya terbukti lambat dan sulit, dikarenakan karena sering ada tumpang tindih dengan lahan negara dan perselisihan klaim dengan para petani yang meninggali lahan tersebut.

Selama nyaris satu dekade, komunitas adat di Rio Hondo tidak memiliki status legal yang jelas. Secara resmi, seharusnya batas-batas lahan mereka dihormati selagi pengajuan status baru tengah diproses, tapi kenyataannya, pihak yang berwajib tidak membantu mengusir para pendatang. Tahun lalu, agensi lingkungan Panama, MiAmbente menyita gergaji dari kelompok pendatang namun tidak berhasil mengusir mereka secara permanen. Di luar dugaan teknisi dan komunitas setempat, sebuah tim utusan MiAmbete muncul di Rio Hondo pada hari kedua. Melihat mereka memasuki desa dengan dua polisi lingkungan bersenjata, ada harapan bahwa mereka datang untuk menangkap atau mendenda para pendatang ilegal, namun ternyata fokus mereka adalah untuk mengawasi bagaimana komunitas pribumi bercocok tanam. Ketika pertemuan diadakan dengan komunitas, para hadirin langsung menanyakan berbagai pertanyaan yang penting, misalnya kenapa MiAmbete belum merespon keluhan mereka. Tim MiAmbente menjawab bahwa hukum baru berarti keluhan penduduk akan langsung dilarikan ke jaksa wilayah dan tidak hilang di dalam tumpukan meja birokrasi.

Iklan

Namun hukum baru ini tetap mengandalkan MiAmbente mengurus keluhan dan mengumpulkan bukti mereka sendiri. "Setelah susah payah mendatangkan mereka, kami butuh informasi yang spesifik," komentar Quintero tentang pertemuan tersebut. "Ini bukan lagi perjuangan tradisional seperti dulu, sekarang ini pertempuran teknologi dan informasi."

Hampir saja kami gagal menyambangi Platanares, desa tetangga Rio Hondo karena kapten kapal salah memperhitungkan pasang surut aliran sungai. Tim dijadwalkan hanya mampir sejenak karena tim pengawasan setempat di sana belum mengumpulkan informasi dan koordinasi GPS seperti yang dilakukan Cabezon di Rio Hondo. Tanpa informasi tersebut, tidak banyak yang bisa dilakukan. Dan biarpun hanya terpisah satu jam perjalanan kapal, situasi di Platanares lumayan berbeda. Tanah yang telah diinvasi lebih banyak dan para pendatang menggunakan lebih banyak kekerasan terhadap penduduk pribumi. Kematian pemimpin desa mereka Aquilo Opua telah meninggalkan luka yang membekas. Banyak penduduk takut keluar desa karenanya.

Eliceo Quintero processes the drone imagery collected from a day of monitoring deforestation.

Eliceo Quintero memproses foto-foto dari drone.

Desa tersebut melakukan pertemuan pukul tujuh malam ketika penerus Opua, Jose Angel Puchicama kembali dari pemancingan. Dia terlihat lelah dan mengangguk-angguk ketika dikenalkan ke tim dan mendengar alasan kedatangan mereka ke desa tersebut. Setelah optimisme yang kami rasakan di Rio Hondo, kami kaget mendengar salah satu lelaki tertua di desa mengeluh ke tim bahwa dia sudah mendengar banyak proyek dan program, tapi tidak ada perubahan. Tanah mereka masih bukan milik mereka dan kerap didatangi penebang liar.

Iklan

Saat rombongan kami datang, sedang berlangsung diskusi seputar pengawas lokal untuk hutan seputaran Platanares. Apakah masyarkat adat setempat bersedia melaksanakan tugas ini? Perlukah ada tim pengawas baru? Ataukah Cabezon dari Rio Hondo harus mampir dan bekerja untuk Plataners juga? Kami baru sadar bahwa salah satu pengawas lokal berada di ruangan tersebut ketika dia mulai bercerita. Dia adalah Milanio Opua, adik lelaki dari pemimpin mereka yang baru meninggal.

"Empat atau lima tahun lalu, kami masih bersemangat. Kami kesana kemari, mengumpulkan informasi, mengambil foto. Lalu apa? Semua orang tahu apa yang terjadi. Saya kehilangan seorang kakak. Terus mau apa lagi? Semua sudah habis. Maaf saya seperti ini." Suaranya mulai menghilang.

Setelah ngobrol dengan Puchicama, dia menjelaskan kesedihan yang menyelimuti desanya. "Kami tidak mengira tragedi semacam itu akan terjadi. Semenjak itu, komunitas tidak mau pergi ke luar sana karena pasti akan terjadi konfrontasi lagi. Akan ada lagi yang mati, entah dari sisi kami atau mereka. Yang pasti akan ada manusia yang menjadi korban."

Tidak ada jaminan apabila status tanah mereka dirubah invasi ataupun konfrontasi penuh kekerasan akan berkurang, tapi hanya inilah satu-satunya harapan mereka. "Karena kami pribumi, pemerintah selalu mendiskriminasi kami, " kata Puchicama. "Itulah sebabnya mereka tidak mau mengubah status tanah kami. Mungkin saya tidak akan pernah memiliki tanah ini, mungkin juga generasi anak saya nanti akan lebih beruntung, tapi sekarang kami tidak bisa apa-apa lagi selain terus berjuang demi hak."

Penelitian yang dirilis tahun lalu menunjukkan bahwa wilayah pribumi di Panama Timur mengalami deforestasi delapan kali lebih lambat dibanding wilayah lainnya di Panama. Angka ini bahkan lebih baik dibanding pemukiman nasional milik pemerintah. Ini adalah bukti yang jelas bahwa penduduk pribumi Panama melindungi hutan mereka dengan baik. Yang tidak jelas adalah apakah mereka akan diberikan tanggung jawab untuk mengawasi dan mengatur lahan-lahan itu sendiri.

Biarpun banyak perasaan campur aduk di hati penduduk, kegigihan para pemimpin masyarakat adat melindungi hutan tidak terbantahkan.

Sebelum kami meninggalkan Platanares, Puchicama mengakui potensi pemafaatan teknologi sebagai senjata. "Bukan untuk melukai tapi memastikan kami tidak dicurangi pemerintah. Juga agar kami memiliki bukti pemetaan yang jelas, agar status tanah diberikan ke kami."