Film

Deretan Sutradara Muda Berbakat Korsel yang Berusaha Melawan Budaya Kekerasan Seksual

Banyak produser dan sutradara film perempuan yang masih belia berusaha unjuk gigi memutus rantai patriarki industri perfilman Korea Selatan.
Perempuan paruh baya memandang cermin dalam film Gull ciptaan sutradara Korea Kim Mi-jo
Film 'Gull' ciptaan Kim Mi-jo

Industri perfilman Korea Selatan terus menggeliat beberapa tahun terakhir, dan kehebatannya semakin diakui dunia setelah Bong Joon-ho menyabet piala Oscar untuk Parasite. Walaupun Parasite bukan satu-satunya film Korea yang disambut hangat oleh Barat—sebelumnya sudah ada Snowpiercer, Train to Busan, Oldboy, The Handmaiden dan Burning—film thriller komedi gelap ini menjadi film berbahasa asing pertama yang memenangkan kategori Film Terbaik.

Iklan

Alhasil, banyak sutradara Korea lain yang ikut terangkat namanya. Para penikmat film sekarang tahu siapa itu Park Chan-wook, Na Hong-jin atau Lee Chang-dong. Tapi sayangnya, sebagian besar pembuat film yang seliweran di industri hiburan global adalah laki-laki. Sineas perempuan Korea belum terlalu dikenal khalayak luas.

“Di sektor independen, sutradara perempuan aktif membuat film drama dan dokumenter,” tutur Lim Sun-ae yang baru saja menelurkan film berjudul An Old Lady. “Tapi sutradara perempuan di Korea masih sedikit, sehingga orang sering berpikir akan sangat sulit bagi perempuan untuk menjadi sutradara film sukses.”

Diangkat dari kisah nyata, An Old Lady menceritakan tentang seorang nenek 69 tahun yang diperkosa oleh ahli fisioterapinya. Dia bersusah payah meyakinkan orang-orang bahwa peristiwa yang menimpanya sungguhan terjadi. Tak seperti film Barat yang umumnya menampilkan perjuangan tokoh perempuan muda—contohnya The Assistant dan Promising Young Woman—film Lim berusaha membuka mata penonton bahwa pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja tidak pandang umur.

“Sudah banyak film yang menyinggung kekerasan seksual, tapi masih jarang yang menampilkan perempuan tua sebagai korban,” terangnya. “Saya tertarik dengan kisah-kisah yang belum terungkap — dalam kasus ini, perempuan tua kurang terwakilkan saat kita membicarakan kekerasan seksual. Isu kekerasan seksual memulai kisahnya, tapi yang saya ingin tekankan di sini adalah masyarakat masih menyepelekan dan mendiskriminasi kelompok lansia.”

Iklan

Sutradara Kim Mi-jo juga membahas tentang kekerasan seksual dalam filmnya, Gull. Film besutan Kim mengikuti perjalanan perempuan paruh baya O-bok yang mengalami kekerasan seksual ketika minum-minum bersama teman-temannya yang berjualan di pasar ikan. Sama seperti Lim, Kim terinspirasi oleh kasus pemerkosaan yang melibatkan lansia dan perawat.

Dia ingin agar filmnya tak sebatas “menampilkan realitas yang ada, tetapi juga respons alternatif [atas insidennya].” Nasib O-bok berbeda dari korban aslinya. Di saat nenek malang itu mengakhiri hidupnya, tokoh protagonis dalam Gull berhasil melalui pengalaman buruk yang dihadapinya. Kim mengatakan inilah yang menjadi “elemen fantasi” pada film tersebut. “Jika insidennya terjadi di dunia nyata, dia [O-bok] mungkin akan mengasingkan diri. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi dalam masyarakat Korea.”

Sineas perempuan mulai banyak bermunculan di dunia perfilman Korea Selatan. Tak sedikit dari mereka yang menunjukkan kebolehannya sebagai sutradara bertalenta. “Dalam dua-tiga tahun terakhir, ada banyak sutradara perempuan yang merilis film, menandatangani kontrak untuk bikin film baru, dan menulis naskah film,” ungkap Lim. “Ini bukan fenomena sesaat, melainkan berasal dari akar yang tertanam kuat. Saya yakin dalam 20 atau 30 tahun ke depan, jumlah sutradara perempuan akan mengalahkan laki-laki.”

Topik yang diangkat para pembuat film perempuan begitu beragam. Yoon Ga-eun menyentil isu perceraian dalam drama The House of Us. Yim Soon-rye menggarap film komedi milenial berjudul Little Forest. Lee Hyeon-joo sedikit lebih berani dengan kisah pasangan lesbi dalam Our Love Story.

Iklan

Pada 2017, pembuat film Kim Ki-duk tersandung sejumlah kasus pelecehan seksual. Pengakuan seorang aktris mendorong tiga perempuan lainnya untuk mengungkapkan kekerasan seksual yang mereka terima dari sang sutradara. Warga Korea marah besar saat mengetahui ini. Gerakan #MeToo pun mulai digaungkan di sana dan memicu pembicaraan tentang ketidaksetaraan gender di industri perfilman Korea.

“Sineas Korea sekarang wajib mengikuti pelatihan mencegah pelecehan dan kekerasan seksual sebelum memproduksi film, dan kepekaan terhadap isu-isu gender di lokasi syuting telah meningkat,” ujar Lim. Selain film, isu ketidaksetaraan gender telah memasuki dunia sastra. Novel Kim Ji-Young, Born 1982, misalnya, mengekspos kekerasan berbasis gender yang umum terjadi di masyarakat Korea Selatan.

Namun, Kim Mi-jo berpandangan masih panjang perjalanan para perempuan untuk mengakhiri budaya patriarki. “Masih ada stigma yang dihadapi korban kekerasan seksual,” katanya kepada Variety. “Perempuan terlibat dalam serangan seksual dan pandangan nenek tua tidak mungkin jadi korban pelecehan hanyalah dua contohnya.”

Lim dan Kim hanyalah dua dari sekian banyaknya pembuat film yang berusaha mengakhiri bias yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat Korea. Dengan bertambah banyaknya jumlah perempuan di dunia perfilman, sikapnya pun perlahan mulai berubah.

Sebagaimana dikatakan oleh Lim, “Tak cukup kalau hanya menunggu orang untuk membawa perubahan. Sikap orang baru bisa berubah jika kita membuat publik sadar tentang isu-isu ini, mengambil tindakan dan mengusulkan undang-undang baru.”

Peran sutradara perempuan tak hanya sebatas membawa perubahan saja. Mereka juga membuat dunia perfilman Korea lebih berwarna dan menarik di mata dunia.