Ditolak Dewa-Dewa di Pulau Dewata
Ilustrasi oleh Eddie Ruscha untuk VICE Indonesia.

FYI.

This story is over 5 years old.

surfing dan bali

Ditolak Dewa-Dewa di Pulau Dewata

Thomas Bullock, DJ asal Inggris, menceritakan pengalaman selancar yang kacau balau di surga wisata Bali.

DJ Thomas Bullock asal Inggris akan tampil hari Minggu ini (8 April) di pesta “Weekender” kami, sebuah kolaborasi antara VICE dan Potato Head Beach Club di Bali yang digelar untuk kali kedua. Tom hadir di pesta kami sebelumnya, sebelum pergi menuju Bali untuk berselancar di spot-spot terbaik pulau tersebut. Namun di Uluwatu, semuanya tidak berlangsung sesuai harapan…


Indah dan mengerikan secara bersamaan, Uluwatu anehnya terasa familiar bagi saya. Di hari pertama di sana, saya tidak merasa sepenuhnya asing.

Iklan

Uluwatu adalah induk dari pura suci di Bali, berisikan deretan tangga, terowongan, gua dan langkan, dan lokasi berselancar yang terkenal terpampang di bawah bukit putih setinggi 91 meter yang dramatis—titik tertinggi di Selatan Bali. Saya pergi ke sana untuk berselancar namun berakhir sial akibat serentetan peristiwa. Keyakinan setempat mempercayai bahwa titik ini adalah rumah dari arwah-arwah yang kuat. Berikut apa yang terjadi.

Ombak pertama. Saya ‘dipotong’ oleh seorang perempuan nyolot yang berteriak, “Eh brengsek, minggir!”

Ombak kedua. Hidung saya patah. Saya salah mengestimasi kecepatan air dan ombaknya berubah dari tembok tinggi menjadi gelombang kecil dalam hitungan detik. Saya termakan ombak dan terhuyung ke dalam air. Ketika naik ke permukaan air, saya menabrak papan seluncur (talinya terlalu pendek—masalah peminjaman).

Butuh beberapa waktu sebelum saya menyadari apa yang telah terjadi. Bahwa saya sudah berdarah hebat. Ketika saya mulai mengecap darah, wajah-wajah orang lain menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Semua orang mundur dengan wajah pucat. Seseorang menyebut hiu Macan, dan saya langsung berputar kembali dan mengayuh ke arah pantai dengan tingkat fokus tinggi.

Masuk dan keluar dari laut Uluwatu sendiri adalah sebuah misi yang tidak mudah. Untuk masuk, kamu harus turun ke dalam jantung Bumi, memanjat turun lewat gua ke bawah tanah, dan mengayuh kencang ke dalam gua berisikan laut yang terlihat seperti mulut besar berwarna biru. Sesampainya di luar, kamu akan melihat laut lepas. Tidak ada pantai berpasir di Ulu. Tidak ada pemandian atau keluarga. Hanya terlihat langit dan cakrawala menganga. Rasanya seperti berlayar. Kamu terasing dari pulau. Saya berhasil masuk ke sana. Tapi sekarang saya harus kembali.

Iklan

Saya duduk di sebuah cafe jadi-jadian yang dijepit lubang gua di atas laut. Saya menempelkan es ke wajah sambil menyaksikan badai gelap menerpa lautan yang hanya beberapa menit lalu masih terang dan bersinar.

Tapi saya menolak menyerah. Jauh-jauh datang dari kota kecil Inggris, saya bertekad untuk menaiki ombak Ulu, bagaimanapun caranya. Saya berdiri, dan tidak sengaja menghantam kepala saya di balok kayu. Saya langsung membungkuk mengerang kesakitan dan lagi-lagi tidak sengaja menghantamkan papan seluncur ke tiang—meninggalkan bekas di papan. Sial bener dah.

Saya kembali berada di line-up (area di laut ketika ombak mulai pecah) dan kembali menemui masalah. Lagi-lagi saya salah mengestimasi waktu dan tertiban seorang peselancar yang hendak naik ke ombak. Berusaha menyelamatkan diri, saya menyelam ke bawah. Tidak jelas bagaimana, tapi kedua tali papan selancar kami terbelit dan seiring dia terbawa oleh gelombang ombak yang kencang, saya terseret semakin dalam ke bawah laut. Karet yang terikat di pergelangan kaki kami terus terenggang hingga akhirnya putus.

Sementara itu, badai sudah mulai masuk dan ombak yang tadinya setinggi kepala kini terlihat seperti tembok yang siap menghancurkan. Tenaga dan kecepatan dari kejadian tersebut, bersama dengan segala warna dan suaranya, cukup untuk membuatmu berhenti bernafas sejenak. Saya ingin tertawa. Emosi saya tidak karuan. Saya sudah agak histeris.

Iklan

Beberapa wajah muncul di sekitar saya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya seorang warga Australia. Iya, saja jawab. “Kamu jago berenang?” Iya, saya jawab. Tapi gimana juga saya bisa kembali ke daratan? Saya berada sekitar 0.5 kilometer dari perbukitan. Ternyata, semuanya tergantung apakah saya ingin mencoba menemukan papan seluncur (sewaan) saya. Saya masih ingin terus lanjut, karena saya merasa tidak apa-apa. Saya tetap ingin berselancar di Uluwatu. Tapi setelah 45 menit berjalan melewati batu-batuan vulkanik yang penuh dengan kepiting sambil berusaha menghindari ombak yang datang, optimisme saya mulai hilang.

Tapi penderitaan saya belum selesai. Pelajaran belum berakhir. Ketika sedang naik tangga batu menuju atas bukit, saya kesetrum! Semua akibat kabel yang putus dan tangga yang basah. Anjir, ini cobaan macam apa sih? Saya terus berjalan.

Di parkiran, skuter saya tidak mau menyala. Ketika akhirnya nyala, lampunya mati. Saya sudah cukup malu, jadi tidak ada yang namanya meminta bantuan atau nongkrong-nongkrong dulu. Saya pergi. Malam datang dan semuanya menjadi gelap pekat. Saya tersasar.

Memang wajar bernasib sial ketika kamu nekat menggunakan papan sepanjang dua meter untuk menantang ombak setinggi tiga meter. Terutama ketika ada banyak orang lain berusaha melakukan hal yang sama. Tapi sangat tidak wajar bahwa banyak sekali kesialan menimpa satu orang dalam sehari.

Ilustrasi oleh Eddie Ruschca untuk VICE Indonesia.

Saya harus akui bahwa ada semacam perasaan bahwa saya diarahkan, kemudian diusir, keluar dari laut, kembali ke daratan, menuju skuter dan keluar dari sana. Jujur, rasanya seperti ditampar seorang guru yang kesal namun berniat baik. Rasanya saya tidak akan benar-benar disakiti, tapi juga tidak akan dibiarkan bermain-main di sana.

Iklan

Kita semua tahu Bali terkenal dengan kehadiran arwah spiritual dan upacara-upacara adat yang unik. Tapi apa sih penyebabnya? Apakah penduduk Bali berbeda dengan orang lain? Apakah Bali lebih sensitif terhadap metafisik dan hal-hal magis? Jangan-jangan semua upacara dan persembahan mereka bukanlah untuk menghormati dewa-dewa tapi untuk menenangkan para arwah? Untuk menciptakan keteraturan? Pakaian nasional Bali, kain hitam putih dan abu-abu yang sering diikatkan ke pohon dan altar, batu dan gerbang pura, merupakan simbol kebaikan (putih), keburukan (hitam), dan ruang di antara keduanya, area abu-abu kehidupan. Dunia penuh dengan kekuatan baik dan jahat, dan kita harus menjaga keseimbangan keduanya. Inilah alasan di balik sesaji persembahan, untuk mendamaikan kegelapan dengan sinar. Untuk menjaga wilayah abu-abu.

Bali Era 90'an Adalah Surga Yang Kita Rindukan

Saya pertama kali melihat Uluwatu lewat Morning of the Earth—cuplikan film selancar 70an yang direkam menggunakan 16mm. Saya suka menonton adegan ritual aneh dalam gua Uluwatu. Memasuki gua-gua tersebut sendiri beberapa tahun kemudian adalah pengalaman yang mengerikan. Sangat mudah membayangkan orang-orang jaman kuno memberanikan diri masuk ke sana dan melakukan berbagai upacara. Di abad 16, brahmana membawa kepercayaan Hindu dari pulau Jawa dengan harapan mengekang energi dari situs upacara pagan tersebut dengan cara membangun enam pura segara (pura laut) persis di atasnya. Deretan pura tersebut menciptakan rantai perlindungan spiritual bagi pulau Bali.

Kita, para bule dari negara Barat, tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ini. Kita baru mulai mengunjungi Bali jauh setelah mereka-mereka memahami sifat dan energi dari pulau ini. Mungkin saja di masa depan nanti ada saatnya dunia paham, bukan hanya secara puitis, tapi juga terbukti secara empiris oleh ilmu pengetahuan Barat, bahwa energi ini memang eksis di Ulu dan di tempat-tempat lain.

Sepanjang dekade 60'an, seorang ilmuwan Cambridge bernama James Lovelock mengembangkan sebuah hipotesis yang disebut teori Gaia—teori ekologis yang menyatakan bahwa biosfer dan komponen-komponen fisik Bumi saling menyatu untuk membentuk sistem interaksi yang menjaga keadaan iklim dan biogeokimia Bumi dalam keseimbangan. Teori ini digunakan ketika kita menghadapi sesuatu yang sulit dijelaskan secara ilmiah. Dan hari itu di Ulu, sulit mengetahui perbedaan antara kebetulan dengan takdir, kesalahan dengan kecelakaan, fakta dan takhyul. Mungkin saja saat itu planet Bumi, Gaia, sedang melindungi diri lewat caranya sendiri.

Bisakah kita menerima pemikiran seperti ini? Bisakah kita tidak menerima? Saya memutuskan untuk menerima bahwa ada hal-hal yang kita tidak pahami. Lupakan logika sejenak dan berikan sesaji persembahan. Tinggalkan intuisimu. Mungkin itulah yang dibutuhkan planet kita saat ini.