FYI.

This story is over 5 years old.

Kerja Otak

Ini Alasan Sebagian Orang Ingin Bersikap Kasar Pada Segala Hal yang Menggemaskan

Peneliti menemukan jawaban kenapa sebagian orang memiliki kecenderungan "agresif" terhadap benda atau mahluk imut.
Ada gejala psikologis orang ingin bersikap kasar pada hal imut namanya cute aggression
Foto ilustrasi anjing imut dari  Nicolas Aguilera / EyeEm / Getty 

Pada 2011, aktris Leslie Bibb diundang ke acara bincang-bincang Conan O’Brien. Dia menceritakan tentang anjing memakai pita di kepala yang dia jumpai di salon. “Anjingnya lucu banget, saya jadi pengin meninjunya,” katanya.

Dia merasakan hal serupa ketika melihat bayi temannya yang imut, yang “bermata belo seperti burung tweety,” tuturnya. "Saya mau menonjok bayi itu saking imutnya.”

Iklan

“Kalau kamu bilang mau menonjoknya, itu berarti…" tanya O’Brien.

“Saya menyukainya,” kata Bibb menegaskan.

Sikap kayak gini bukan hal aneh, walaupun kedengaran sangat ekstrem. Jika melihat obyek menggemaskan, banyak orang terdorong mencubit atau meremasnya. Ekspresi emosi tersebut amat menarik, setidaknya bagi peneliti neurosains Oriana Aragón yang menonton episode O’Brien itu.

Aragón membicarakannya dengan sang ayah. Ayahnya bertanya, "Bukannya sama saja dengan kakek yang bilang ‘Kakek mau gigit dan cubit pipimu” atau teman yang ngomong, ‘Ih gemasnya, jadi pengin gigit deh’?” Menyadari adanya fenomena psikologis dari kecenderungan masyarakat bersikap kasar terhadap hal imut, Aragón lantas mempelajarinya di lab.

Aragón menamakan fenomena psikologis ini sebagai “cute aggression” dalam jurnal yang diterbitkan pada 2015. “Cute aggression” adalah keinginan menghancurkan, menggigit, atau meremas sesuatu yang menggemaskan, tanpa ada niatan untuk melukainya.

Ada sejumlah peneliti lain turut mendalami “cute aggression” dalam riset yang diterbitkan Desember 2018 di Frontiers in Behavioral Neuroscience. Mereka mengamati apa yang terjadi di otak saat seseorang merasakan dorongan bersikap kasar.

Mereka menemukan data jaringan emosi dan penghargaan yang ada di otak aktif selama muncul sensasi “cute aggression”. Temuan ini memberikan bukti lain yang mendukung teori asli Aragón tentang munculnya “cute aggression” dialami otak kita. Sikap ini, dari dugaan peneliti, adalah cara otak mengatasi rasa gemas yang berlebihan agar tubuh kita tidak lumpuh.

Iklan

Kewalahan atau malah lumpuh sesaat oleh rasa gemas bukan konsep baru. Ada banyak bukti yang menunjukkan manusia jadi ingin merawat sesuatu karena gemas. Konrad Lorenz, ahli etologi dari Austria, menciptakan istilah baby schema pada 1943 untuk menggambarkan karakteristik yang kita anggap imut pada bayi sehingga membuat kita ingin merawatnya. Baby schema berarti wajah bulat, dahi lebar, mata belo, dan pipi tembem. Kita tergerak ingin mengasuh bayi saat melihat ciri-ciri ini.

"Menjadi orang tua itu tidak mudah, saya rasa ada banyak manfaatnya ketika kamu mau merawat sesuatu karena keimutannya dan bukan karena yang lain," kata psikolog Katherine Stavropoulos, assistant professor di UC Riverside yang turut meneliti 'cute aggression'. "Saya pikir responsnya sangat instingtual: Saya ingin melindungi bayi imut itu dan memastikan mereka baik-baik saja.”

baby schema faces

Baby schema tak hanya melibatkan bayi manusia. Otak manusia otomatis menganggap foto bayi hewan tampak lebih imut jika dibandingkan hewan yang sudah dewasa. Mungkin ini alasannya kita memelihara anjing yang berkepala dan bermata besar bahkan setelah mereka dewasa.

Kajian yang terbit pada 2010 menyimpulan peserta penelitian memberi respons positif kepada mobil yang diberi fitur mirip bayi. Misalnya memperbesar lampu depan untuk meniru mata dan memperkecil kisi-kisi, untuk meniru hidung.

Aragón mengatakan bahwa “cute aggression” adalah contoh dimorphous ekspresi emosi. Konsep psikologi ini berarti orang yang merasakan suatu emosi yang kuat akan mengekspresikannya dengan cara berkebalikan. Misalnya menangis saat bahagia atau tertawa karena sedih.

Iklan
baby faced cars

Temuan Miesler, L., Leder, H., & Herrmann pada 2013. Konsep Baby-Schema juga bisa diterapkan pada persepsi orang terhadap bentuk mobil.

Konsep Aragón ini sekilas tidak masuk akal. Mengapa bisa orang mengekspresikan suatu emosi berkebalikan? Bukankah itu membingungkan orang lain? Dalam penelitian “cute aggression”, Aragón dan rekan penelitinya membangun hipotesis bahwa “cute aggression” dan dimorphous ekspresi emosi muncul untuk membantu manusia mengatur emosi positif berlebihan.

Aragón menemukan hubungan antara sensasi kewalahan dan kehadiran “cute aggression” saat dia menunjukkan foto bayi dan hewan lucu kepada peserta penelitian.

Masih banyak yang ingin diketahui Stavropoulos tentang apa yang sebenarnya terjadi di otak seseorang ketika mereka merasakan “cute aggression”. Dia memerhatikan sistem penghargaan di otak, dan berpikir sistem ini mempengaruhi sikap tersebut. ( Penelitian terdahulu telah menunjukkan peningkatan aktivitas dalam jaringan nucleus accumbens—bagian penting otak terkait sistem penghargaan—di perempuan yang tidak punya anak ketika mereka melihat gambar manipulasi bayi yang sangat imut.)

"Penelitian terdahulu [Aragón] memberi landasan teoretis untuk meneliti sensasi ini lebih lanjut. Studinya jadi yang pertama membuktikan cute aggression adalah fenomena psikologis yang nyata," kata Stavropoulos saat diwawancarai. "Tapi karena semuanya berhubungan dengan perilaku, kami benar-benar tidak tahu sistem otak apa saja yang terlibat."

Iklan

Stavropoulos dan rekannya meminta 54 orang dewasa melihat foto hewan dan bayi yang imut dan kurang imut, sambil merekam aktivitas listrik otak memakai EEG. Alat ini merekam neuron yang ditembakkan dari permukaan kulit kepala. Sumber aktivasi dalam otak bisa dilihat dari aktivitas listrik ini.

Peserta memerhatikan empat kategori gambar secara acak, mulai dari anak hewan lucu, hewan dewasa yang kurang imut, dan bayi yang menggemaskan dan tidak. Ada delapan foto bayi, dua perempuan dan enam laki-laki, yang diperlihatkan.

Setiap peserta akan melihat kedua versinya. Keimutan di foto pertama sudah ditingkatkan, dengan mata dan pipi yang diperbesar. Sedangkan anak di foto lainnya tidak mirip seperti bayi, matanya kecil, dan pipinya kurus.

kitten and cat

Contoh foto yang dipakai peneliti neurosains melihat perbedaan respons otak. Foto oleh Kote Puerto and Emma Paillex / Unsplash

Saat para peserta melihat tiap kategori foto, mereka ditanya apakah gambarnya imut dan apakah mereka merasakan “cute aggression”. Indikatornya adalah ucapan macam ini: “Saya pengin bilang ‘mau gigit’ sambil menggertakkan gigi,” atau “Saya kepingin bilang, ‘Grrrr.’” Responden juga diminta menjelaskan seberapa besar perasaan itu untuk mendorong tindakan konkret. Apakah mereka berpikir seperti “Saya sudah tidak tahan melakukannya” atau “Saya kewalahan dengan perasaan positifnya.”

Dari rekaman EEG, peneliti melihat aktivitas otak yang terkait jaringan otak di bagian penghargaan dan emosi. Temuan ini membenarkan hipotesis Stavropoulos yang mengatakan bahwa jaringan penghargaan terlibat dalam “cute aggression”.

Iklan

Sistem penghargaan ada hubungannya dengan motivasi, artinya seberapa besar kalian menginginkan sesuatu. Hal ini masuk kategori perasaan dan kesenangan positif, tapi bukan sekadar kesenangan saja. Sistem ini membuatmu menginginkannya lagi. Sedikit berbeda daripada hanya melihat aktivitas di jaringan emosionalnya. Sistem emosi ini dapat mencerminkan semua jenis pengalaman emosional. Jadi, bukan hanya rasa senang saja, tetapi juga amarah, rasa jijik, dan kesedihan.

Untuk sistem emosi, mereka menemukan hubungan antara seberapa kuat aktivitas otak emosional, seberapa besar perasaannya, dan kehadiran “cute aggression”. Ini menunjukkan bahwa seseorang tidak langsung mengalami “cute aggression” ketika merasakan respons emosional. Perasaannya harus berlebihan dulu sebelum “cute aggression” muncul.

Mereka melihat hal serupa dalam sistem penghargaan—jumlah aktivitas penghargaan di otak dikaitkan dengan betapa imutnya suatu foto (dalam skala 1 hingga 10), dan seberapa besar perasaannya. Bagi orang-orang yang mengira suatu objek imut dan merasa kewalahan, respons penghargaan dan “cute aggression” di otak memiliki hubungan yang kuat.

Bagi Stavropoulos, aktivitas otak seperti ini mendukung hipotesis Aragon awal: bahwa saat sesorang tak tahan lagi melihat sebuah obyek yang sangat cure, cute aggresion akan lekas bekerja.

Iklan

“Ini mungkin cara otak bilang ‘Santai saja Bos. Atur hasratmu dan tarik nafas dalam-dalam,’” jelas Stravropoulos. “Kita tak bisa dibikin tak berdaya karena melihat sesuatu yang cure. Sebab jika iya, kamu tak bisa menyayangi obyek tersebut.”

Stavropoulos dan Aragón sama-sama sepakat bahwa perlu penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan ini sebagai penyebab cute aggresion karena bisa saja cute aggresion muncul sebagai wujud nyata emosi yang kelewat instens dan tak lagi memenuhi tujuan aslonya. Atau dugaan lainnya: orang yang mengalami cute aggression pada dasarnya lebih fleksibel dalam menunjukkan ekspresi emosionalnya.

Lebih jauh, cute aggression hanya terjadi pada segelintir orang, tidak semua orang. Yang menarik, kata Aragon, cute aggression ditemui dalam berbagai kebudayaan. Dalam penelitiannya, Aragon menyurvei sejumlah bahasa di dunia dan bertanya apa padanan kata “duh cute abis gue pengin ngeremes” dalam bahasa-bahasa tersebut.

“Di berbagai bahasa di dunia, kebanyakan bahasa padanan kata untuk frasa itu,” Aragon menjelaskan. “Misalnya, kita ngomong, ‘Duh gemes deh, pengin gue remes,’ orang di kebudayaan lain punya ungkapan yang berarti ‘kamu cute abis aku ingin mencelakaimu.’” Dia juga menjelaskan, baik di makalah terbaru dan penelitiannya pada 2015, cute aggression tak melulu dialami salah satu gender—baik lelaki dan perempuan rentan mengalami cute aggresion.

Cute aggression adalah wujud emosi yang kuat dan susah dihindari—bahkan bagi mereka yang menelitinyas seperti Aragon. Kendati kelewat sering mengkaji emosi secara ilmiah, Aragon tak serta kebal akan cute aggression. Beberapa waktu lalu, Aragon melihat foto udara dari sebuah paus di lautan. Mulanya, dia cuma berpikir “Oh, seekor paus ya,” dan tak ambil pusingnya. Reaksinya berbeda saat dia melihat foto paus yang sama, kali ini tak jauh dari induknya. Seketika, ukuran paus itu seakan mengecil dibandingkan perawakan induknya.

“Segera setelah saya melihat rasio perbandingan besar tubuh kedua paus itu, tiba-tiba saja ada bayi paus dan lucu sekali lagi,” katanya. “Begitu sadar kalau paus yang pertama cuma bayi paus, semua kelucuannya muncul dan memicu rasa syaang dalam diri saya. Saya berpikir, “kita harus melindungi paus ini. Kita harus pastikan paus ini mendapatkan apa yang dia perlukan.”

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic