Dilema Pria Selamat dari Kecelakaan Pesawat Berkat Makan Daging Sesama Penumpang
Foto penyintas di bangkai Pesawat Fairchild. Arsip dari buku Pedro Algorta.

FYI.

This story is over 5 years old.

Kisah Inspiratif

Dilema Pria Selamat dari Kecelakaan Pesawat Berkat Makan Daging Sesama Penumpang

Pedro Algorta adalah penyintas pesawat jatuh di Pegunungan Andes. Empat dekade kemudian, apa perasaannya menyadari pernah memakan daging jasad kawan seperjalanan?

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Bisakah kalian memakan tangan manusia? Bagaimana jika kalian tidak punya pilihan lain kecuali menjadi kanibal? Dalam keadaan hidup atau mati, maukah kalian meminggirkan nurani sejenak?

"Bertahan hidup adalah tugas saya kala itu. Saya harus makan bukan berdasarkan pemikiran rasional, tapi atas insting dasar sebagai manusia. Di kantong pakaian, saya simpan potongan tangan atau bagian tubuh lainnya. Saya makan daging-daging itu agar tidak sampai kekurangan gizi."

Iklan

Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Pedro Algorta, penyintas kecelakaan pesawat terbang pada 1972 yang terjebak di pegunungan Andes selama 71 hari. Dia bersama beberapa rekan selamat lainnya terpaksa memakan potongan daging tangan, paha, lengan, dan apapun yang bisa dimakan dari jasad sesama korban kecelakaan. Dari 40 penumpang pesawat dan lima kru yang berada dalam penerbangan rute Uruguay-Chile tersebut, hanya 16 yang bertahan hidup. Para penyintas itu diterpa suhu di bawah nol derajat celcius, longsoran salju, serta tentu saja serangan hipotermia. Mereka yang bertahan hidup harus mengandalkan kombinasi kekuatan mental, kerja sama, dan keikhlasan melakoni kanibalisme.

Rasanya aneh ngobrol empat mata dengan seseorang yang pernah memakan potongan tangan manusia. Ketika pertama kali bertemu di cafe lokasi wawancara, saya terus menatap gigi Algorta yang terlihat sangat kuat. Dalam hati saya membatin. Apa makan tangan bikin giginya kuat ya? Biarpun kini berusia 65 tahun, Algorta terlihat sepuluh tahun lebih muda. Fakta ini kembali membuat saya berpikir. Mungkin makan daging paha manusia memang memberi efek awet muda.

Algorta sangat terbuka ketika menceritakan pengalaman traumatisnya memakan daging manusia di tengah pegunungan penuh salju dan terpencil itu. Dalam bukunya Into the Mountains yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dia menjelaskan secara gamblang bagaimana penumpang yang bertahan hidup terpaksa memakan daging sesama rekan seperjalanan yang meninggal. Tindakan itu didasari logika sederhana: makan jasad penumpang atau mati bersama mereka. Setelah berulang kali menceritakan ulang pengalamannya, Algorta sama sekali tidak menyesal. Dia menjelaskan kanibalisme sebagai satu-satunya jalan saat itu. Sama seperti memakan roti saat kita kelaparan. "Gimana ya," kata Algorta kebingungna, saat saya tanya mengenai perasaannya sekarang. Sepanjang wawancara, dia berusaha berhati-hati supaya tidak menggunakan kata-kata seperti 'saya,' 'makan,' dan 'tangan.' "Keputusan itu dulu kami ambil berdasarkan pemikiran rasional. Tidak ada yang memaksa kami sambil ngomong, "Eh goblok, kalau mau selamat, makan tuh daging manusia!' Keputusan itu kami ambil, karena perut kami benar-benar menderita."

Iklan

Saya ngobrol bersama Algorta seputar pengalamannya memakan daging manusia, kisah bertahan hidup bersama segerombolan manusia lain sambil menghindari konflik, serta mencari tahu apakah dia pernah terbayang sosok-sosok korban lain yang dagingnya pernah dia makan—jauh setelah insiden itu—setiap kali dia melihat sup daging.

VICE: Banyak penyintas kecelakaan mempunyai ingatan yang berbeda tentang apa yang terjadi pada saat insiden. Memori mereka saling bertentangan dengan fakta empiris. Apakah cerita anda diselidiki habis-habisan oleh jurnalis atau tim pencari fakta? Kenapa akhirnya anda bersedia menceritakan kisah itu sekarang dalam bentuk buku?
Pedro Algorta: Kami adalah segerombolan orang yang mengalami pengalaman luar biasa 40 tahun lalu. Sejak itu, kami berusaha menjalani kehidupan kami masing-masing. Kami semua berbeda dan tidak aneh apabila kami semua melihat kecelakaan itu lewat perspektif yang berbeda-beda. Selama 35 tahun, saya tutup mulut soal kisah ini. Suatu hari teman-teman sedang ngobrol tentang pengalaman mereka dan saya menganggap kisah mereka sebagai kisah saya juga. Jadi ketika saya memutuskan untuk menulis tentang kecelakaan tersebut, saya sadar cerita saya berbeda karena tidak ada orang lain yang mengalami persis apa yang saya alami. Ini cerita saya. Tapi saya juga sadar bahwa semua orang punya cerita mereka sendiri. Saya tidak akan bilang versi saya yang paling benar dibanding keterangan penyintas lain; saya merasa kami semua punya hak untuk menceritakan cerita masing-masing. Saya hanya menceritakan pengalaman saya, pelajaran yang saya ambil dari peristiwa tersebut, dan bagaimana saya menanggung pengalaman itu saat menjalani kehidupan normal selepas terpaksa bertahan di Pegunungan Andes.

Iklan

Seperti apa sih rasanya mengalami kecelakaan pesawat?
Rasanya benar-benar seperti pengalaman hampir mati. Anda tidak tahu apakah anda akan bertahan atau tidak; Anda panik dan mulai kehilangan kendali diri dan sekeliling. Anda diempaskan ke udara, seakan tinggal menunggu ajal, seperti itu rasanya. Pesawatnya bergoyang sangat liar, menabrak satu gunung ke gunung lainnya, sebelum akhirnya mendarat di dasar lembah yang dikelilingi pegunungan. Tiba-tiba tidak terdengar suara apapun dan semua hening. Di luar sedang turun salju. Saat itulah kesadaran saya kembali. Saya sadar saya selamat.

Pedro Algorta sehari setelah dievakuasi tim SAR

Dalam buku, anda menceritakan kecelakaan tersebut seakan-akan itu cuma mimpi. Apakah memang demikian rasanya?
Intinya adalah biarpun saya punya ingatan—saya masih ingat teman saya Felipe meninggal di sisi saya—saya tidak bisa mengingat banyak detailnya. Ada batasan emosional dan ingatan yang tidak membiarkan saya menarik semua informasi. Contohnya, saya tidak ingat nomor kursi saya di pesawat, saya tidak ingat kata-kata terakhir saya sebelum pesawat mendarat karena semua orang sedang panik. Selama bertahun-tahun saya berusaha mendekonstruksi detail-detail kecelakaan pesawat tersebut, tapi karena tidak bisa, ya sudah saya biarkan saja. Ada beberapa memori bawah sadar saya yang tidak bisa ditarik kembali. Saya tidak mengalami mimpi buruk di malam hari. Saya hanya berusaha menjalani kehidupan normal 40 tahun seusai peristiwa tersebut.

Iklan

Anda menulis bab khusus tentang para penyintas. Awalnya ikatan antar korban selamat tidak terbentuk secara instan. Anda bilang ada beberapa kelompok kecil dengan pemimpinnya masing-masing. Bagaimana kalian kemudian bersatu?
Awalnya, kami bergabung dengan segerombolan anggota tim rugby yang selamat. Kapten tim rugby tersebut adalah sosok dihormati. Dia tahu bagaimana caranya memimpin kelompok dan langsung menjadi figur otoritatif. Dia berperan penting di beberapa hari pertama kami di pegunungan. Dia berusaha mengorganisir keadaan sebaik mungkin. Masalahnya dia selalu mengatakan, 'Tenang, kita bakal diselamatkan sebentar lagi.' Tapi bantuan tak kunjung datang. Dengan memberi janji semacam itu, semua orang menjadi tidak siap beradaptasi dengan kenyataan. Saat itu sebetulnya kami tidak butuh figur otoritas. Kami butuh pemimpin yang bisa menyadarkan anggota tentang masalah-masalah yang akan timbul jika kami diam saja di dekat bangkai pesawat.

Dia akhirnya meninggal tertimbun salju longsor. Kelompok yang dia tinggalkan semuanya masih berusia muda tanpa sosok orang dewasa. Belakangan, meninggalnya si pemain rugby terbukti menjadi hal yang positif. Sejak itu setiap anggota penyintas menyadari kekuatan dan kekurangan masing-masing. Kami saling berkontribusi terhadap grup agar sama-sama selamat.

Tentu saja ada banyak ketegangan, diskusi, dan tidak semua anggota akrab. Kadang-kadang orang bertengkar agar idenya didengar, untuk mendapatkan posisi otoritas di dalam kelompok, agar tidak menjadi kambing hitam ketika ada kesalahan. Dinamika kelompok kami normal, sama seperti grup lainnya. Sama saja seperti masyarakat normal sehari-hari. Inilah caranya kami belajar sebagai sebuah kelompok kecil yang akhirnya bisa beradaptasi dan berkembang di tengah lingkungan yang sulit.

Iklan

Berarti memakan daging sesama korban adalah keputusan bersama para penyintas ya?
Orang-orang mulai menyadari agar bisa bertahan hidup, kami harus mengisi perut dan waktu itu kami tidak punya makanan apapun. Kami tidak meyakinkan diri sendiri jadi kanibal dengan pemikiran logis. Semua itu semata dipicu hasrat bertahan hidup. Beberapa dari kami mengambil tubuh jenazah, memotongnya dengan potongan kaca, lalu mulai memakannya, gitu aja. Dalam keadaan itu, keputusan kami terasa normal dan logis.

Setelah makan, kami tidak merasa melanggar etika atau moral apapun, kami hanya berpikir untuk maju selangkah, belajar untuk bertahan hidup di lingkungan yang tidak bersahabat, memaksa diri untuk keluar dari zona nyaman.

Pedro Algorta mengunjungi kembali lokasi jatuhnya pesawat pada 2013.

Jadi makan daging manusia tidak terasa aneh saat itu?
Sama sekali tidak. Saya sadar tidak akan ada di sini sekarang, apabila tidak melakukan apa yang harus saya lakukan. Fakta bahwa kami makan daging sesama penumpang hanyalah respons terhadap insting dasar kami bertahan hidup, itu saja. Makanya di buku yang saya tulis, bagian ini diceritakan tanpa dramatisasi berlebihan. Saya telah menjelaskan semua kondisinya, anda akan menyadari bahwa kami tidak punya pilihan lain. Saya yakin semua manusia dalam posisi kami akan melakukan hal serupa.

Apakah anda pernah memikirkan betapa religiusnya pengalaman itu? Seakan teman-teman yang meninggal mengorbankan diri bagi rekan-rekan selamat sebagai sumber makanan. Apakah ini berperan dalam pengambilan keputusan anda melahap daging manusia?
Memang iya hal-hal semacam itu sempat kami pikirkan. Tapi saya yakin engga ada penyintas yang makan daging manusia sepenuhnya gara-gara alasan semacam itu. Kami makan karena kami lapar dan lemah. Memang biasanya manusia butuh semacam kompensasi logis untuk melakukan sesuatu, tapi ujung-ujungnya kami makan karena perut kami meringis kelaparan. Kami tidak punya waktu untuk perencanaan secara rasional. Kami tidak punya pengetahuan yang cukup, peralatan, ataupun pengalaman bertahan hidup di atas gunung. Kami tidak siap. Jadi semuanya datang dari insting dan coba-coba, trial and error.

Sempat ada konferensi pers setelah kalian diselamatkan. Saat itu para penyintas terkesan dipaksa wartawan mengaku melakukan praktek kanibalisme. Bagaimana orang lain menyikapi ini?
Karena beritanya sudah menyebar, jadi isu kami memakan daging sesama penumpang sering dibahas. Beberapa orang tua kami sampai tidak mau mempercayai bahwa kami terpaksa makan daging manusia. Kami hanya mengatakan, 'Iya, kami makan daging manusia,' udah gitu doang. Tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Setelah mengatakan itu, kami mendapat tepuk tangan meriah. Dan anggota keluarga korban-korban yang tidak selamat hanya mengatakan 'tidak apa-apa.' Selama 40 tahun terakhir, fakta kami memakan daging sesama korban tidak pernah menjadi persoalan. Semuanya sudah diceritakan, semua orang sudah tahu, bagi kami ini normal. Kami tidak berharap kanibalisme akan menjadi masalah karena di saat itu kami hanya memikirkan cara bertahan hidup.

Empat puluh tahun setelah peristiwa tersebut, apakah anda masih memikirkan pengalaman anda setelah keluar dari pesawat?
Untungnya, memori tersebut jarang kembali, kecuali ketika saya sedang membahas peristiwa tersebut, seperti sekarang ini. Seperti yang saya bilang, tidur saya nyenyak tanpa mimpi buruk. Kami para penyintas bisa melanjutkan kehidupan kami dan berdamai dengan pengalaman traumatis itu.

Sebagian besar rekan penyintas lainnya dapat menjalani kehidupan tenang dan normal. Bukan berarti saya tidak terpengaruh, karena pengalaman seperti itu tentu saja masuk kategori trauma berat. Trauma bermanifestasi ketika anda tidak tahu cara menghadapi sesuatu. Untungnya kami tahu cara menghadapinya karena kami tidak pernah dituduh atau dimarginalisasi setelah selamat. Saya lanjut kuliah di universitas bagus, mempunyai pekerjaan yang baik, keluarga yang harmonis, jadi peristiwa itu sepenuhnya menjadi masa lalu. Intinya, kami berhasil menjalani kehidupan normal. Ini hal yang terpenting, karena menunjukkan manusia pasti bisa sembuh dari peristiwa masa lalu, seberat apapun bentuknya.

Tapi anda bisa menjalani kehidupan normal berkat orang-orang yang meninggal di luar sana. Anda sadar kan posisi para penyintas dan korban tewas kecelakaan itu bisa tertukar kapan saja sesuai skenario nasib.
Tentu saja. Banyak dari mereka yang tidak bertahan hidup dan ini akan selalu menjadi pertanyaan—kenapa kami hidup dan mereka tidak. Tapi saya tidak punya jawabannya. Itu adalah bentuk pertanyaan religius, moral atau etika yang jawabannya bisa berbeda-beda untuk setiap orang. Saya tidak bisa menjawabnya.