The VICE Guide to Right Now

Polisi Berbagai Daerah Halangi Bantuan Hukum buat Demonstran Omnibus Law yang Ditahan

Lebih dari 1.000 orang penolak UU Cipta Kerja ditahan di 18 provinsi. Polisi melarang penasihat hukum mendampingi dengan alasan “sedang didata". Selain itu, sejumlah peserta aksi masih hilang.
Polisi halangi bantuan hukum untuk ribuan demonstran UU Cipta Kerja Omnibus Law yang ditahan
Peserta aksi menolak UU Cipta Kerja ditelanjangi saat ditahan aparat di sekitar kawasan Monas, Jakarta Pusat, pada 8 Oktober 2020. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Hingga Jumat 9 Oktober 2020, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan ada ribuan demonstran penolak UU Cipta Kerja ditangkap kepolisian di 18 provinsi.

Di Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, saja, lebih dari 1.000 peserta aksi ditempatkan di parkiran secara berdempetan, tidak menggunakan baju, dan tanpa masker. Tindakan nirkemanusiaan ini tercatat kerap dilakukan aparat kepada para tahanan. Polisi berdalih yang mereka tangkap adalah “anak anarko”.

Iklan

Niat para pengacara publik dari LBH Jakarta, LBH Pers, dan LBH Masyarakat untuk melakukan pendampingan hukum belum terlaksana sebab tidak diperbolehkan aparat bertemu dengan pendemo. YLBHI turut mengatakan kegiatan menghalang-halangi ini juga terjadi di kantor beberapa polres di Jakarta dan berbagai daerah lain.

Di Yogyakarta, LBH setempat per 9 Oktober jam 8 pagi menjelaskan pihaknya masih belum bisa mendampingi massa aksi yang ditahan di Polresta Yogyakarta. Sama seperti kasus di Jakarta, para pendamping hukum tidak diperbolehkan menemui demonstran yang ditahan polisi.

Juru Bicara Polda DIY Yuliyanto menjelaskan, ada 45 demonstran UU Cipta Kerja yang ditangkap polisi di kawasan Malioboro dan sejumlah titik lain.

“Semua yang ditangkap pada saat itu dibawa ke lantai dua DPRD DIY, selanjutnya dibawa ke Polresta Kota Yogya. Kami juga menangkap satu orang peserta aksi di sekitar Pasar Sore dan delapan orang di sekitar Pos Teteg Malioboro,” ujar Yulianto dalam konferensi pers, Kamis (8/10), dilansir Tempo. Yulianto menolak membeberkan siapa saja yang ditangkap dengan alasan kasus masih didalami.

Pindah ke Medan, Polda Sumatera Utara turut menangkap 243 demonstran yang kini masih dikumpulkan di markas Polda. LBH Medan menjelaskan pihaknya enggak mendapat akses menemui para pendemo yang ditangkap, sebab dihalang-halangi polisi.

“Info terakhir, pendemo yang diamankan sekitar 243 orang. [Coba] didampingi tadi malam [8/10] enggak bisa masuk, pagi ini [9/10] mau ke sana lagi, ke Polda. Sampai jam 1 dini hari kami enggak bisa tembus menemui pendemo yang ditangkap. Alasan mereka pendataan. Kita minta mereka dikeluarkan,” ujar Wakil Direktur LBH Medan Irvan Saputra kepada CNN Indonesia.

Iklan

LBH Surabaya mendapatkan perlakuan serupa. Polisi setempat menghalang-halangi LBH melakukan pendampingan hukum atas peserta aksi UU Cipta Kerja yang tertangkap. Sampai tulisan ini dibuat, diperkirakan ada 300-an pendemo di Surabaya yang belum pulang.

“Kami selaku tim hukum dari LBH Surabaya dilarang untuk mendampingi peserta aksi dengan alasan masih dalam pendataan. Sampai saat ini tim hukum masih dilarang melakukan pendampingan [oleh polisi]. Sekitar 300 orang ditangkap oleh Polrestabes Surabaya,” kata Kepala Bidang Kasus Buruh dan Rakyat Miskin Kota LBH Surabaya Habibus dilansir CNN Indonesia.

Upaya minta pertanggungjawaban polisi bukannya tidak pernah dicoba. Pengacara Publik LBH Jakarta Saleh Al Ghifari mengatakan, hampir semua penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepolisian, termasuk menghalangi akses pendampingan hukum, selalu diadikan ke institusi berwenang. Baik secara eksternal ke Ombudsman, Komnas HAM, dan Kompolnas, dan secara internal ke Propam.

“Mayoritas pengaduan hampir seluruhnya tidak mendapat respons. Pertama, respons mereka pasti berlarut-larut, kadang [direspons] setelah perkara selesai di persidangan. Dua, secara substantif, respon yang kerap diberikan hanya sekedar rekomendasi, ini enggak memberi dampak apa-apa kepada korban,” kata Saleh kepada VICE. “Bisa dibilang proses pengawasan internal dan eksternal kepolisian Indonesia tidak berjalan baik. Seharusnya Ombudsman-nya polisi punya wewenang investigasi, di Indonesia malah enggak ada. Mereka cuma sekadar menampung pengaduan dan memberikan rekomendasi.”

Iklan

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan temuan di lapangan menunjukkan aparat menyerang dan langsung menahan demonstran lebih dulu, terutama menyasar mereka yang berbaju hitam. Pola macam ini sudah terjadi sejak gelombang demo dimulai pada 6 Oktober.

Sementara Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati mengatakan, dari data di 18 provinsi, banyak polisi melakukan kekerasan pada peserta aksi menolak UU Cipta Kerja. “Kalaupun sudah ditangkap, buat apa mereka dipukuli? Itu namanya brutalitas. Bahkan ada yang ditelanjangi," kata Asfinawati, seperti dikutip BBC Indonesia.

Pendataan masyarakat atas peserta aksi yang ditangkap terkendala sikap polisi yang serbatertutup. Masyarakat lantas bahu-membahu swadaya membuat daftar sendiri di internet berisi mereka-mereka yang belum pulang, untuk kemudian bersama-sama saling memberi kabar keberadaan.

Tak cuma peserta demo, beberapa jurnalis juga dilaporkan hilang, mengalami penganiayaan, dan dirampas alat peliputannya. Jurnalis Merahputih Ponco Sulaksono ditahan Polda Metro Jaya, jurnalis CNN Indonesia Thohirin dianiaya aparat, dan jurnalis Suara Peter Rotti sempat dianiaya dan dirampas kameranya.

Sedangkan jurnalis yang hilang adalah Ajeng Putri, Dharmajati, dan Muhammad Ahsan Zaki dari pers mahasiswa GEMA Politeknik Negeri Jakarta. Mereka sempat mengabarkan posisi terakhir di sekitar Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Dua jurnalis lain yang sempat hilang, Amalia Azahra dan Syarifah Nuraini dari Pers Lima Universitas Pendidikan Indonesia, dini hari tadi diketahui ditahan aparat di sekitar Monas.