FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Sejak Trump Jadi Presiden, Serangan Udara AS Membunuh Lebih Banyak Warga Sipil

Ada perubahan taktik serangan udara militer AS yang lebih abai pada keselamatan warga sipil sejak Januari lalu. Di Suriah 1.472 orang tewas sebulan terakhir saja.
Foto oleh Associated Press.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Saat rangkaian kampanye Pemilihan Presiden Amerika Serikat akhir 2015, Donald Trump bertekad "memborbardir" ISIS jika dirinya terpilih sebagai presiden. Kini, setelah Trump menjadi orang nomor satu Gedung Putih selama beberapa bulan, jumlah korban tewas sipil akibat serangan udara pasukan AS mencapai rekor baru. Pemicu meningkatnya korban sipil karena serangan jet dan drone itu belum diketahui.

Iklan

Berdasarkan pemantauan Airwars, kelompok pengamat hak asasi manusia asal Inggris, korban yang diduga jatuh akibat serangan udara AS ke Suriah naik drastis selama kurun tiga bulan terakhir. Angkanya kini mencapai 1.472 orang tewas, hanya sepanjang Maret saja. Sebagai perbandingan, Maret tahun lalu korban tewas hanya 196 orang. Rekor jumlah korban yang jatuh sebelumnya dicapai pada Januari 2017. Saat itu, sebanyak 613 warga sipil tewas akibat serangan udara AS.

"Tingkat kematian ini lebih parah dari apa yang pernah dilakukan pasukan koalisi Internasional. Jumlahnya hampir sama dengan angka yang dituduhkan pada aktivitas militer Rusia di Suriah setahun lalu," ujar Chris Woods, jurnalis investigatif yang mengepalai Airwars. "Ada tren yang muncul dari analisis kami—penduduk sipil yang meregang nyawa naik di masa pemerintahan Trump."

Drastisnya kenaikan jumlah korban seragan udara AS bisa jadi merupakan imbas langsung dari perintah yang dikeluarkan Trump yang tidak lagi terlalu banyak melakukan kalkulasi risiko sebelum serangan diputuskan. Atau bisa saja karena perang yang diwarisi Trump dari pemerintahan Obama kebetulan tengah mencapai titik puncaknya. Pasukan koalisi sedang melawan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) tepat di jantung pertahahan militan, di Kota Mosul. Sampai saat ini, puluhan ribu penduduk masih terjebak di Mosul.

"Tewasnya warga sipil akibat serangan udara AS mungkin sudah terjadi di masa Hilllary Clinton menjabat sebagai Menlu AS," imbuh Wood. "Entahlah sulit untuk menjelaskannya."

Iklan

Jumlah korban sipil di bawah pemerintahan Trump telah menjadi sorotan, sejak gagalnya operasi militer AS di Yaman pada 29 Januari lalu, dalam rangka menyerang pentolan teroris. Dalam insiden itu, seorang anggota marinir dan 23 penduduk sipil tewas karena serangan ceroboh tanpa persiapan. Sejak saat itu, militer AS dituding sebagai dalang penyerangan yang menelan banyak korban di Suriah dan Irak dalam usaha membasmi ISIS.

Beberapa serangan militer AS selama era Trump (yang sebetulnya baru tiga bulan) yang langsung menuai kecaman, di antaranya adalah serbuan terhadap sebuah bangunan sekolah dan masjid di Suriah serta—yang baru-baru ini terjadi—penghancuran apartemen di wilayah barat Mosul, menyebabkan tewasnya beberapa orang sipil. Sampai saat ini, ketiga serangan ini sedang diselidiki Polisi Militer AS untuk memastikan adakah protokol yang dilanggar.

Letnan Jenderal Stephen Townsend, Komandan Operasi Anti-ISIS di Irak dan Suriah menyatakan serangan udara Selasa (28/3) lalu di Mosul yang menewaskan banyak warga sipil, "kemungkinan" hasil dari bom yang dijatuhkan drone. Namun, dia lekas menambahkan bilapenyelidkan lebih lanjut tengah berjalan menyusul laporan yang mengatakan kemungkinan ISIS menyekap penduduk sipil dalam bangun tersebut dan meledekannya. Dugaan lain, bangunan ini luluh lantak karena ledakan kendaraan yang dilengkapi bom di bawah gedung.

"Menurut saya, jika benar-benar kami yang bertanggung jawab atas tewasnya warga sipil dalam serangan ini—dan saya sudah bilang tadi bahwa memang ada kemungkinan kami yang bertanggung jawab—maka semua ini bisa dianggap risiko sebuah peperangan. Kami akan melaporkan hasil temuan kami dengan transparan jika dari pihak kami sudah siap," kata Townsend.

Iklan

AS Agresif, Situasi Jadi Tambah Parah

Keterlibatan militer AS di Irak dan Suriah meningkat akhir-akhir ini, seiring masa-masa kritis operasi perebutan kembali kota-kota di dua negara itu dari cengkeraman ISIS. Negeri Paman Sam itu mengirim ribuan personel militer ke Irak untuk membantu tentara Irak dalam usaha pembebasan Mosul bagian barat. Irak berhasil memukul mundur ISIS dari sisi timur kota yang selama ini diklaim militan sebagai Ibu Kota Khilafah.

"Ada pergerakan pasukan AS secara masif yang membawa peralatan artileri di Irak. Peralatan itu dibawa ke garis depan," ujar Bill Roggio, Editor Long War Journal, sembari menambahkan bila menerima laporan pasukan Irak merasa lebih mudah menerima bantuan udara dari pesawat-pesawat AS.

Di sepanjang perbatasan Suriah, terjadi peningkatan aktivitas tentara AS seiring pergerakan mereka mendekati Raqqa, ibukota lain kekalifahan Daulah Islamiah. Pekan lalu, AS melancarkan serangan udara tak terduga yang melibatkan pendaratan helikopter untuk menurunkan pasukan AS di belakang garis pertahanan musuh.

Peningkatan aktivitas juga terlihat di Yaman. Serangan drone AS kini memasuki level baru dalam peperangan melawan al-Qaidah, penguasa de facto negara di selatan Arab Saudi tersebut yang terjebak perang saudara.

Menanggapi makin getolnya AS mengirim pasukan ke Timur Tengah, Roggio dan pengamat militer lainnya menengarai bila AS telah mengubah cara memerangi musuh-musuh politiknya. Berbeda dari era Obama, militer AS di bawah kepemimpinan Trump tak terlalu ambil pusing dengan penduduk sipil yang jadi korban. "Pihak Amerika pasti bilang bahwa tak ada kebijakan militer yang berubah, tapi menurutku itu tak bisa dipercaya," ujar Roggio. Awal pekan ini, Persatuan Bangsa-Bangsa dan Amnesty Intersional mendesak pasukan koalisi yang dipimpin oleh AS, sebisa mungkin menghindarkan agar warga sipil tak terus jadi korban.

Iklan

Pihak militer AS berkukuh bahwa tak ada yang berubah sama sekali menyangkut toleransi mereka pada jatuhnya korban sipil. Masalahnya buku putih yang dianut oleh personel militer AS memang bersifat rahasia. Townsend mengatakan bahwa ada "perubahan kecil" per Desember tahun lalu—sebelum Trump berkantor di Gedung Putih. Perubahan kecil yang dimaksud Townsend membuat pengambilan keputusan pelaksanaan serangan menjadi terdesentralisasi seiring berubahnya strategi pasukan AS di medan perang, dari bertahan menjadi cenderung menyerang.

"Kita harus kembali menilik doktrin perang AS menyangkut operasi yang bersifat ofensif," ujar Townsend sambil menambahkan bahwa perubahan pada aturan peperangan AS "tak lantas jadi musabab apa yang kita lihat sekarang-sekarang ini."

"Yang tak berubah adalah kepedulian, kehati-hatian kami dalam penerapan aturan ini, bagaimana dan kapan kami menggunakan kekuatan kami serta toleransi kami pada korban sipil."

Dalam paruh pertama perebutan Mosul, Pasukan Koalisi Irak berhasil menduduki daerah di sebelah timur Tigris. Namun, Irak harus "membayar mahal kemenangan mereka," ujar Woods. "Salah satu kritik yang kerap dilontarkan adalah tentara Irak tak mendapatkan bantuan pasukan udara yang mereka butuhkan. Alhasil, jumlah korban di pasukan Irak lebih besar dari yang diperkirakan."

"Sebagian dari apa yang kita saksiakan sekarang di wilayah Barat Mosul adalah perpindahan resiko perang dari tentara ke penduduk sipil. Di wilayah ini, Tentara Irak akan memanggil bantuan udara untuk menyerang sebuah rumah. Setelah mereka membereskannya dengan pertarungan jarak dekat."

Iklan

Anthony Cordesman, pakar Timur Tengah di Center for Strategic and International Studies, mengatakan naiknya agresivitas pasukan udara AS dalam perang di Mosul tak harus dilandasi perubahan aturan perang mereka, karena memang sudah kendor dari awal.

"Aturannya bukan bahwa anda tak bisa melakukan operasi militer karena anda tak tahu pasti tentang keberadaan penduduk sipil di suatu area," ujarnya. "Jika anda menciptakan situasi yang memaksa anda mendapatkan kepastian 100 persen, anda sama saja bilang bahwa anda tak bisa menggunakan kekuatan udara."

Di sisi lain, jatuhnya korban sipil berulang kali terbukti berperan membangkitkan dukungan bagi kelompok pemberontak. Foto-foto dari serangan ke Yaman Januari lalu kini telah menghiasi propaganda ISIS. Menurut Cordesman, resiko yang ditanggung oleh penduduk sipil yang terjebak di Mosul—diperkirakan jumlahnya mencapai 40.000 orang—makin berlipat lantaran taktik perang yang dipilih ISIS.

"ISIS menggunakan penduduk sipil sebagai tameng setiap saat."

Korban Warga Sipil Suriah Mengkhawatirkan

Di Irak, jatuhnya korban sipil kemungkinan besar karena militer AS teledor dalam melakukan serangan udara. Namun menurut Woods, penjelasan yang sama tidak bisa dipakai dalam kasus Suriah. Di wilayah ini, jumlah korban sipil sudah sangat mengkhawatirkan.

Airwars merekam lonjakan jumlah korban serangan udara pasukan koalisi di desa dan kota sekitar Raqqa, selagi pasukan darat berusaha mengepung ibukota de facto ISIS itu.

Iklan

"Ini sangat mengkhawatirkan," tutur Woods. "Yang diserang bukan area padat penduduk yang membuat jatuhnya korban masyarakat sipil sudah dihindari—di tempat-tempat ini kami tak berharap menjumpai korban sipil dari serangan pasukan koalisi beberapa bulan lalu. Kini, kami menyaksikan kematian tiga, empat, hingga lima penduduk sipil tiap harinya."

Pola ini, menurutnya, menunjukan pergeseran cara militer AS "melakukan serangan dan imbasnya penduduk sipil kini sangat berisiko menjadi korban." Salah satu faktor yang mendorong naiknya jumlah korban sipil adalah keterlibatan pasukan darat Kurdi yang tak paham betul medan tempur. Mereka diperkirakan tak kerap salah mengidentifikasi target.

Di wilayah Yaman, seperti yang dilansir CentCom, pasukan AS telah melancarkan sekurang-kurangnya 23 serangan drone terhadap tokoh-tokoh al-Qaidah sejak Trump menjadi presiden. Bandingkan dengan 26 serangan yang terjadi sepanjang tahun 2016 ketika Obama masih menjabat. Jelas belaka, ada perubahan mendasar pada aturan kegiatan militer AS saat ini sesuai selera sang presiden Negeri Adi Daya itu.

Tak seperti Suriah, Irak dan Afghanistan digolongkan sebagai "wilayah perang aktif," serangan drone di wilayah yang belum dinyatakan sebagai medan perang seperti Yaman, Somalia, dan Pakistan sebelumnya harus mendapatkan persetujuan tingkat tinggi dalam doktrin perang di masa Obama yang memang dirancang untuk mengerem serangan di luar zona perang aktif.

Awal bulan ini, surat kabar the Washington Post melaporkan pemerintahan Trump telah meluncurkan semacam imbauan, memberi militer AS kelonggaran melancarkan serangan drone di negara-negara yang dianggap wilayah musuh tanpa harus melindungi warga sipil. Kebijakan baru ini menurunkan syarat perhitungan kemungkinan jatuhnya korban sipil dari wajib "hampir pasti (near certainty)" tak ada korban jiwa, menjadi diizinkan mengandung risiko "lumayan pasti (reasonable certainty)". Pentagon lantas menekankan bila komitmen untuk mencegah jatuhnya penduduk sipil sebagai prinsip utama masih tidak berubah.

CNN mewartakan bahwa Trump telah mengesahkan aturan baru yang diterapkan di Yaman dan ini yang digadang-gadang sebagai musabab naiknya korban jiwa sipil di wilayah itu. Juru bicara Departemen Pertahanan AS membantah hal ini pada VICE News dan mengatakan bahwa ada perubahan dalam "penerapan wewenang militer harian di Yaman."

Apapun penyangkalan yang diberikan Pentagon, nyatanya perang Amerika Serikat melawan terorisme makin meminta banyak korban. Sekalipun begitu, Roggio punya perspektif tersendiri dalam memandang angka penduduk sipil yang jadi korban perang ini. Dia termasuk yang mendukung jatuhnya korban sipil, asal musuh utama—dalam hal ini ISIS—lebih cepat dikalahkan.

"Coba kita renungkan kembali apa yang sudah militer AS lakukan di Suriah dan Irak beberapa tahun belakangan. Bayangkan seandainya kita tak membiarkan ISIS berkembang pesat, ada berapa warga sipil yang akan dibunuh?" tutur Roggio. "Jika kita memerangi ISIS dengan lebih agresif, sudah pasti korban sipil akan meningkat. Tapi kita bicara tentang angka yang relatif kecil—kita tak sedang membombardir kota terus menerus kok."