FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Pelecehan Seksual Jadi Bara Dalam Sekam Kancah Musik Independen Indonesia

Video penggerayangan tubuh personel band hardcore di Semarang menguak berjangkitnya bias gender di kancah musik yang seharusnya progresif.
Sumber Foto Arsip Band

Janet saat tampil dengan band lamanya SlowXfast di Semarang. Foto arsip milik band.

"Scene hardcore/punk tuh berpengaruh [positif] buat hidup aku dan ketika ada orang-orang yang masih patriarkis dan menjadi pelaku pelecehan, mereka bikin hancur, menghambat [kemajuan] gitu. Makanya orang-orang kayak gini yang harus terus dilawan dan diterabas."

Konser kecil itu seharusnya berlangsung lancar seperti biasanya. Di tengah mosh pit yang rusuh, Debby Selviana vokalis band hardcore punk SLOST lebih dikenal dengan nama panggung Janet, melakukan stage dive—aksi meloncat ke arah penonton yang khas dari subkultur hardcore punk. Ketika melompat ke kerumunan, tangan seseorang muncul dari sisi kanan tubuh Janet, meremas payudaranya. Seketika, Janet menjatuhkan diri ke lantai studio dan mengkonfrontasi pelaku. Dia menerjang dan memukuli salah satu penonton lelaki, terduga pelaku pelecehan, yang mengenakan kaos hitam bertuliskan CBGB. Ironis, mengingat CBGB adalah klub musik legendaris di New York yang melahirkan musisi rock perempuan ternama dunia, misalnya Debbie Harry (Blondie) dan Patti Smith. Personel SLOST lainnya sontak menghentikan pertunjukkan akibat kericuhan itu.

Linimasa Facebook saya tiba-tiba ramai 28 November lalu, gara-gara video yang diunggah akun Facebook 'Ini Scene Kami Juga'. Video berdurasi satu menit ini menampilkan momen ketika tubuh Janet digerayangi, serta kericuhan sesudah pelecehan seksual terjadi. SLOST saat itu manggung di studio musik daerah Boja, kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, berjarak 27 kilometer dari Semarang.

Iklan

Hingga tengah artikel ini ditulis, video tersebut telah ditonton 208 ribu kali, di-share 1.755 kali, dan mengundang lebih dari 500 komentar. Mulai dari yang menunjukkan dukungan ke Janet, mengutuk pelecehan tersebut, hingga komentar baik dari lelaki maupun perempuan, yang justru menyalahkan sang vokalis walaupun dia menjadi korban pelecehan seksual. Beberapa komentar seksis dan menyudutkan Janet misalnya seperti ini:

Neneng Bob: Mba maaf ya kl gak mau di lecehin yg gak usah pake diving. Itukan resiko. Wanita ttplah wanita yg tubuhnya jauh lebih Indah dr Pria. Yo pasti mereka gemes toh mba mba Dade Kusumo: Si goblok. Uda tau cewe Make crowdsurfing. Ya pst digrepe lah

Syaiful Hidayah: Yg salah bkan laki2 nya n.tpi yg cewek yg mncing laki2 brbuat.

Hanya berselang sehari setelah video pelecehan Janet diunggah, admin akun tersebut, Hera Mary, mengaku mendapat ancaman kekerasan seksual lewat media sosial. "Kan ada berapa ratus komen yang nyalahin Janet. Ada satu komen aku balesin dan ternyata dia marah-marah sendiri," ungkap Hera. "Besoknya masuk pesan ke Facebook personal aku. Ada pesan dari salah satu laki-laki. Dia bilang 'elo orang mana sini gue datengin biar elo tau digrepe tete itu enak.'"

"[Janet] di-crucified sama orang cause she stood up for herself" — Kartika Jahja

Dihubungi melalui telepon, Janet mengaku tidak merasa pengalaman buruk di Boja membuatnya ketakutan. Dia lebih merasa marah dan terguncang.

Iklan

"Setelah insiden itu aku merasa sendirian," ujarnya. "Tidak ada yang datang menolong." Karenanya, kini Janet mengajak semua pegiat kancah genre manapun, agar semakin aktif melawan dan bersuara jika melihat ada pelecehan seksual terjadi di acara-acara musik.

Bagi Janet, terjun dalam kancah hardcore Semarang selama lima tahun terakhir sangat membahagiakannya. Dia sempat bergabung dengan band trashcore, SlowXfast, sebelum kemudian kini tampil bersama SLOST. "Scene hardcore/punk tuh berpengaruh [positif] buat hidup aku."

Karena itulah, Janet ingin scene musik yang dia cintai 'bersih' dari orang-orang yang masih gemar merendahkan orang lain. "Ketika ada orang-orang yang masih patriarkis dan menjadi pelaku pelecehan, mereka bikin hancur, menghambat [kemajuan] gitu. Makanya orang-orang kayak gini yang harus terus dilawan dan diterabas."

PERSOALAN LATEN PELECEHAN SEKSUAL DI KANCAH MUSIK INDEPENDEN

Kartika Jahja, anggota Kolektif Betina—sebuah perkumpulan dengan misi menguatkan dan mendukung sesama perempuan—mengatakan kultur menyalahkan korban pelecehan masih sangat kuat di Indonesia. Dia tidak kaget melihat banyak komentator di video itu menganggap Janet 'lebay' atau 'seharusnya siap menerima risiko dilecehkan' karena bermusik di hadapan penonton mayoritas laki-laki.

"[Janet] di-crucified sama orang cause she stood up for herself. The least women can do is support each other. Sayangnya menurut gue kita belum ada di titik itu dan masih sebagian besar orang yang masih victim blaming itu perempuan juga."

Iklan

Tika, yang juga vokalis band Tika and The Dissidents, pernah mengalami pelecehan dari penonton. "Pas gue lagi manggung di Jogja ada yang masturbasi pada saat gue di atas panggung," kata Tika menceritakan pengalaman memuakkan itu. "Terus yang terakhir itu pas di Gelora Bung Karno. I reached the mic down supaya orang bisa ikut nyanyi, ternyata yang di-grab bukan mic-nya tapi paha gue."

"Ini sudah dari dulu. Penonton Step Forward di zaman itu juga banyak yang melakukan hal-hal merendahkan ke Jill," kata Ricky Siahaan, gitaris band Step Forward menceritakan pengalaman buruk rekan satu band-nya. Step Forward, salah satu band hardcore dalam negeri yang pertama kali memiliki personel perempuan, meramaikan kancah Jakarta sejak pertengahan 90-an.

Jennifer Jill, vokalis Step Forward, membeberkan pengalaman buruknya di sebuah gig punk kawasan Pasar Minggu pada 1996. "Gue inget banget ada anak punk dengan dandanan mohawk sempurna, dia berdiri di depan gue. Dia buka celana and he was pointing 'it' at me. Itu gig perkenalan gue di Step Forward."

"Mungkin keluarganya, mungkin teman-temannya tidak menempatkan perempuan di tempat yang seharusnya, jadi grepe-grepe gitu [dianggap] nothing gitu lho, bukan masalah," imbuh Jill.

Poster Cafe yang sempat menjadi venue musik independen legendaris di Jakarta di dasawarsa 1990-an tidak lolos dari fenomena pelecehan seperti ini. Menurut Aprillia Apsari—pengunjung setia Poster Cafe saat itu—sikap penonton lelaki pada perempuan yang hadir di acara musik sangat tidak bersahabat. "Sekitar 1996-1997, pertunjukan musik underground kerap dilaksanakan di Poster. Di sana beberapa kali ada yang menyolek pantat saya, dan setiap kali saya menoleh orangnya langsung kabur atau pura-pura tidak tahu."

Iklan

Dyana Savina Hutadjulu, mantan vokalis Amazing In Bed dan Fever To Tell yang kini bekerja di lembaga pemberdayaan perempuan, menilai pelecehan seksual masih akan terjadi di perhelatan musik negara ini, baik independen maupun arus utama. "Dari segi negara kita sendiri belum ada upaya membuat masyarakat terpintarkan mengenai hal-hal yang merespek tubuh perempuan. Masih banyak [perempuan] dilihat sebagai obyek. Sorry to say, di Indonesia belum ada kesetaraan."

Pernyataan ini diamini Ricky Siahaan yang juga seorang ayah dan editor majalah Rolling Stone Indonesia. "Kesetaraan cuman kayak sejarah [ketika] mengingat Kartini. Secara konkretnya, sehari-hari kita tetap berada di dunia yang patriarkis," ujarnya. "Laki-laki pasti posisinya [masih] di atas perempuan, di rumah tangga aja mungkin dibiasakan dari kecil begitu."

Bagi beberapa pegiatnya, kancah hardcore seharusnya diikuti oleh orang-orang yang progresif. Ika Vantiani, salah satu editor zine perempuan pertama di Indonesia menilai pelecehan yang dialami beberapa musisi non-lelaki menunjukkan perlunya debat dan kampanye masif supaya isu diskriminasi perempuan diakhiri.

"Yang bikin gue stay di scene [hardcore/punk] ini adalah gue merasa didukung dan dimotivasi dan engga dianggap aneh dan gila dengan ide-ide gue. I feel this endless support and welcoming," ujarnya.

Ika Vantiani. Arsip foto pribadi.

"[Tapi ya] memang akhirnya banyak hal di scene itu sama dengan yang mereka lawan itu," imbuh Ika. "Mereka bisa berteriak-berteriak bilang equality, fuck this, fuck that, tapi mereka engga pernah mau terbuka tentang diskusi LGBTQ, mengenai perempuan, pelecehan seksual, dan seks yang fair."

Masalah di dalam scene hardcore/punk ini juga diakui oleh musisi lelaki. Farid "Pelor" Amriansyah, mantan vokalis band Dagger Stab dan Auman yang kini aktif di scene Palembang membeberkan banyak rekan-rekannya masih sering merendahkan perempuan. "Slogan yang ada di dalam scene seperti slogan equality hanya di kulit luarnya saja, dan kita tidak terapkan dalam keseharian."

Farid meyakini perubahan harus dimulai dari lingkungan yang terdekat. Di Palembang, dia bersama pegiat musik lain menggelar kampanye Punk Against Rape (punk melawan pemerkosaan). "[Kami] mencoba menciptakan sebuah habitat atau rumah yang nyaman bagi semua orang yang tertarik dengan subkultur ini," ujarnya.

"Membentuk support system di dalam tongkrongan, di dalam gig, apabila [ada pelecehan seksual] kita tahu bagaimana menyikapinya, bukan malah membiarkan."