FYI.

This story is over 5 years old.

Opini

Season ke-2 'Stranger Things' Sebenarnya Keren, Sayang Dinodai Seksisme

Musim kedua serial populer Netflix ini oke banget. Nyaris sempurna. Sayang, ada nuansa seksisme yang mengganggu jalan ceritanya.
Cuplikan adegan dari Netflix.

Artikel ini pertama kali tayang di Waypoint.

Awas, ada sedikit spoiler jalan cerita musim ke-2 serial Stranger Things dalam artikel ini.

Saat menulis artikel ini, saya baru mulai menonton episode enam. Jadi sebetulnya saya belum selesai dengan Stranger Things season kedua. Tapi sejauh ini, hampir semua elemen musim kedua mengungguli musim pertama—tempo ceritanya lebih pas, suasana serial konsisten menyerupai film horor thriller. Stranger Things terasa lebih percaya diri dengan kualitas sendiri, tidak lagi menyerupai gabungan dari Goonies/Gremlins/Aliens/film Spielberg 80an yang sangat kentara dari delapan episode musim pertama.

Iklan

Karakter-karakternya ditulis lebih tajam, bahkan diberikan ruang bernafas di luar karikatur klise 80an yang mereka tampilkan. Tentunya, buat saya, aksi laga yang lebih intens untuk season ke-2 ini sangat memuaskan.

Tapi jangan salah, elemen-elemen khas 80an masih dengan mudah ditemukan. Ada semacam penghormatan terhadap film legendaris E.T di episode lima, ketika Dusty mencoba memancing makhluk asing menggunakan umpan. Di episode pembuka musim kedua, bocah-bocah favorit kita mengenakan kostum Ghostbusters buat perayaan halloween! Plus, pusat ding-dong dan video game muncul beberapa kali.

Sayangnya musim kedua Stranger Things yang sudah keren banget itu ternodai oleh seksisme film-film 80an yang khas.

Saya tidak sedang membahas dialog klise cowok remajanya ya, tapi lebih ke tipikal karakter perempuan yang tampil sekadar buat mempermanis layar.

Musim lalu, cewek pemanis ini adalah Eleven. Dia memiliki kekuatan supernatural dan lari dari sebuah laboratorium jahat yang melakukan eksperimen-eksperimen keji (membuka sebuah lubang penghubung dengan dimensi Upside Down yang membawa masalah bagi kota kecil Hawkins). Michael, pemimpin kelompok Club AV di SMP setempat, jatuh cinta sama Eleven. Perilakunya standar lah seperti kebanyakan anak remaja jatuh cinta. Di akhir musim pertama, Eleven menghilang dari kehidupan semua karakter utama. Michael merasakan kesedihan lebih besar dibanding teman-temannya yang lain.

Iklan

Musim ini, muncul karakter perempuan baru—Max, jagoan baru ding dong kota Hawkins—muncul, Michael menolaknya, menyebabkan keretakan dalam kelompok. Anggota lainnya ingin mengajak dia masuk ke dalam kelompok, tapi Michael menolak kehadirannya. Mike berlaku seperti tipikal kelompok bocah-bocah cowok: hanya ada satu perempuan yang diperbolehkan masuk ke dalam grup. Perempuan dianggap bukan sebagai individu dengan kepribadian dan kerumitan yang berbeda-beda, mereka hanyalah perempuan.

Ketika Eleven muncul lagi di musim kedua, alih-alih bergabung kembali dengan grup, dia melukai Max karena cemburu. Dia cemburu setelah menonton Mike dan Max berinteraksi secara akrab untuk pertama kalinya. Mereka bahkan saling melempar senyum. Takut digantikan oleh perempuan lain, dia mengamuk. Kok sesama perempuan malah saling benci sih?

Cuplikan gambar dari Netflix.

Stereotipe perempuan seperti ini sudah basi, kuno, dan berbahaya. Saya dulu juga korban dari pemikiran "hanya ada ruang buat satu perempuan" sepanjang hidup, dan sadar atau tidak, bersaing dengan perempuan lain demi status sosial di dalam grup yang didominasi pria. Dan saya bukanlah satu-satunya—Cecilia D'Anastasio sempat menulis esai luar biasa di situs Kotaku, tentang fenomena ini di dalam dunia gaming.

Sebetulnya Mike gak buruk-buruk amat kok. Dia menolak membayar seseorang dengan cara memberikannya kencan dengan kakak perempuannya, satu-satunya aset klub A/V melawan tukang penjaga arcade. Tapi ya ini mungkin karena mereka masih saudara kandung, bukan karena dia percaya ekualitas atau apa ya.

Saya masih sangat menikmati Stranger Things, dan aspek-aspek 80annya. Tapi tolong deh, produser TV: kalau kamu ingin berkomentar tentang sesuatu, kamu harus benar-benar mengatakan sesuatu. Kalau tidak, kamu hanya menguatkan stereotip yang sudah ada.