Pelanggaran HAM

Keroyok Warga Priok Bernama Jusni Hingga Tewas, 11 Prajurit TNI Dituntut 2 Tahun Penjara

Lembaga pemantau impunitas aparat menilai jalannya pengadilan militer janggal. Sepanjang 2019-2020, terdapat 53 kasus kekerasan oleh aparat kepada 73 warga sipil.
11 Prajurit TNI Pengeroyok Warga Tanjung Priok Jusni Hingga Tewas Dituntut 2 Tahun Penjara
FOTO ADALAH ILUSTRASI PROSES PENGADILAN MILITER LAIN DI PAPUA UNTUK PERSONEL TNI AD YANG MENYIKSA TAHANAN PADA 2010. FOTO OLEH BANJIR AMBARITA/AFP

Sebelas tentara yang mengeroyok warga Tanjung Priok bernama Jusni (24) hingga tewas menghadapi pembacaan tuntutan oleh jaksa, atau oditur, di pengadilan militer pada hari ini, Selasa (17/11). Kekerasan yang dilakukan anggota TNI pada Februari 2020 tersebut berujung pada ancaman vonis ringan, antara satu hingga maksimal dua tahun penjara. Para terdakwa juga terancam pemecatan tidak hormat dari dinas ketentaraan.

Iklan

Sidang dilaksanakan di Pengadilan Militer Jakarta, Jakarta Timur. “Kami mohon agar majelis hakim Pengadilan Militer II-08 Jakarta menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama yang mengakibatkan mati sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana Pasal 351 ayat 1 j.o ayat 3 KUHP j.o Pasal 55 ayat 1 KUHP,” kata Oditur Militer Salmon Balubun, seperti dikutip Detik.com.

Kesebelas pelaku adalah Oky Abriansyah, Edwin Sanjaya, Endika M. Nur, Junedi, Erwin Ilhamsyah, Galuh Pangestu, Hatta Rais, Mikhael Julianto Purba, Prayogi Dwi Firman Hanggalih, Yuska Agus Prabakti, dan Albert Panghiutan Ritonga.

Jaksa menilai para terdakwa dianggap merusak citra TNI, tidak menghayati sumpah prajurit, serta perbuatannya mengakibatkan seorang manusia meninggal.

Meski begitu, Salmon menjelaskan para terdakwa masih layak mendapatkan keringanan hukuman, lantaran berbekal sikap sopan dan jujur selama persidangan. Mereka juga mendapat rekomendasi keringanan hukuman dari Mayer TNI Isdarmawan Ganemoeljo, sekalipun mengeroyok warga sipil hingga meninggal.

Lembaga hak asasi menilai tuntutan jaksa di pengadilan militer itu masih melanggengkan impunitas terhadap aparat yang terlibat kasus pidana. Sebagai perbandingan, penganiayaan sampai menyebabkan kematian bagi pelaku warga sipil bisa diancam penjara maksimal sampai 20 tahun penjara.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) menyebut persidangan 11 prajurit pengeroyok itu berlangsung janggal. Dari pantauan KontraS, Jusni mengalami penyiksaan di tiga lokasi berbeda: depan Masjid Jamiatul Islam, Jalan Enggano, dan Mess Perwira Yonbekang 4/Air. Namun, saksi yang dihadirkan di persidangan hanya saksi dari satu lokasi saja.

Iklan

“Diduga tempat penyiksaan ada lebih dari satu tempat, tetapi saksi yang dihadirkan hanya berkaitan dengan penyiksaan yang ada satu lokasi aja di depan masjid,” kata Staf Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy kepada Kompas. “Saksi yang tahu ada penyiksaan di mess atau di Enggano tidak dihadirkan, sehingga kami menganggap proses peradilan ini tidak obyektif.”

Lekerasan tentara dengan korban warga sipil bukan barang baru. April lalu, terjadi ketegangan di Desa Merek, Sumatera Utara, saat tentara dilaporkan mengepung desa karena tidak terima satu prajuritnya dikeroyok warga. Diangkut truk militer, prajurit berseragam lengkap diduga melakukan penganiayaan, termasuk kepada Kepala Desa Merek. Sumber IDN Times menyebut paling tidak ada 10 warga sipil terluka, termasuk mereka yang tidak terlibat insiden pengeroyokan tentara.

Amnesty International Indonesia (AII) mencatat setidaknya sejak Juni 2019 sampai Juni 2020 terdapat 53 kasus dugaan penyiksaan oleh aparat dengan total 73 korban. AII mengecam dan menyebut bahwa praktik penyiksaan terhadap sipil dilarang dalam instrumen perlindungan HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia ke dalam UU No. 5/1998. Selain itu, konstitusi negara ini turut menjamin hak untuk tidak disiksa lewat Pasal 28I dan Pasal 4 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Setiap kasus seperti ini harus selalu dilakukan investigasi secara menyeluruh, efektif, independen, dan imparsial guna menjamin hak atas keadilan bagi korban,” kata peneliti AII Ari Pramuditya kepada VICE. “Harapan Amnesty tentu peristiwa seperti ini tidak diadili di pengadilan militer, tapi di pengadilan yang sifatnya lebih terbuka, transparan, dan mudah diakses oleh keluarga korban. Korban dan keluarganya berhak mengetahui setiap proses hukum dari pelaku.”

Berkaca pada kasus kekerasan serupa yang diusut pengadilan militer, hukuman pelaku terhitung selalu ringan. Tarik mundur pada 2013, warga Semarang asal Maluku bernama Rido Hehanusia tewas setelah dianiaya tentara Yonif 400/Raider Eko Santoso dan koleganya. Pengadilan militer lantas menjatuhi hukuman dua tahun penjara dan pemecatan kepada Eko.

“Pemecatan ini akan memberi efek jera dan menjadi contoh agar pasukan tidak melakukan kejahatan sekecil apapun,” kata Hakim Ketua Suryadi, dilansir Detik. Vonis ini berawal dari keributan yang terjadi antara keduanya di Liquid Kafe, Semarang.

Pada 2011, tujuh tentara Merauke ditarik penempatannya setelah menganiaya 12 warga sipil yang mereka duga sebagai kelompok separatis. “Mereka mengaku menyiksa warga sipil dengan cara menyuruh warga merayap di tanah seperti anggota TNI, memukul, menendang, bahkan merendam warga sipil ke dalam air,” ujar Komandan Ibnu Tri Widodo dilansir Tempo.