Memotret Kondisi Sisilia Modern Setelah Bertahun-Tahun Dikuasai Mafia

FYI.

This story is over 5 years old.

Mafia

Memotret Kondisi Sisilia Modern Setelah Bertahun-Tahun Dikuasai Mafia

Fotografer Italia, Mimi Mollica, menceritakan pada kami alasan merekam kehidupan sehari-hari kotanya yang sejak lama dikuasai jaringan Cosa Nostra.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Mimi Mollica adalah warga negara Italia, atau tepatnya, fotografer kelahiran Kota Palermo, Sisilia. Dia sekarang bermukim di Ibu Kota London, Inggris. Walaupun tinggal jauh dari kampung halaman, Mimi justru sedang sibuk mendokumentasikan Palermo. Tujuh tahun terakhir Mimi rutin memotret keseharian warga dan suasana kotanya yang selama sekian dekade dikuasai oleh jaringan mafia Cosa Nostra. Subyek-subyek fotonya adalah warga yang mengalami kepahitan atau melihat langsung bermacam kekerasan akibat ulah organisasi kejahatan tersebut.

Iklan

Mafia menancapkan pengaruh besar di Sisilia setelah Perang Dunia ke-2. Vito Ciancimino dan Salvatore Lima, dua sesepuh Cosa Nostra, berinisiatif menjalankan tugas Departemen Pekerjaan Umum Palermo yang bisa dibilang vakum karena perang. Mereka membangun perumahan murah untuk rakyat, dengan menggerakkan anggota mafia. Penghuni perumahan itu, yang dibangun alakadarnya, dipaksa membayar pajak tinggi kepada petinggi Cosa Nostra. Dari sanalah kemudian hubungan aneh antara Sisilia dan mafia terjalin. Memasuki dekade 60-an, Mafia sanggup menguasai industri semen serta konstruksi di selatan Italia.

Sejak dekade 90-an, Pemerintah Italia mengesahkan undang-undang antimafia. Hasilnya, ribuan anggota ditangkap. Petinggi familia, klan, maupun borgatas dicokok. Jaringan bisnis dan rekening mafia di luar negeri dipreteli. Pembunuhan dan penculikan paksa para begundal itu berakhir. Kendali mafia pada narkoba juga terus menyusut. Pada 2006, salah satu bos tertinggi yang bernama Bernardo Provenzano ditangkap polisi. Cosa Nostra setidaknya masih bertahan walaupun pengaruhnya makin susut saja. Konfederasi ratusan kelompok familia di Sisilia itu diduga memiliki kedekatan dengan mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi.

Dalam bukunya yang baru saja terbit, Terra Nostra, Mimi menampilkan wajah-wajah mereka yang berhasil bertahan, para penyintas Mafia, serta generasi muda Sisilia yang sudah hidup di zaman sepenuhnya berbeda tapi masih merasakan efek kekuasaan mafia karena satu dan lain hal.

Iklan

Saya berbincang bersama Mimi membahas bukunya yang baru terbit. Obrolan kami turut menyinggung popularitas t-shirt bertuliskan Godfather di Sisilia, kondisi politik lokal setelah Cosa Nostra ambruk, serta korupsi yang masih menjangkiti wilayah pesisir indah di selatan Italia tersebut.

VICE: Kenapa kamu memberi judul bukumu Terra Nostra?
Mimi Mollica: Terra Nostra arti harfiahnya adalah "tanah kita". Istilah ini biasanya digunakan oleh anggota Cosa Nostra, jaringan mafia terbesar di Sisilia. Saya menggunakan istilah tersebut, karena buku ini bersifat pribadi, upaya saya mengenang kembali kampung halaman. Tujuan awalnya adalah mendokumentasikan peninggalan Cosa Nostra di Sisilia. Kehadiran Cosa Nostra sudah memunculkan bermacam dampak politik, sosial, dan ekonomi bagi warga. Cosa Nostra telah membuat banyak orang merasa terasing di tanahnya sendiri. Oleh karena itu, judul buku ini adalah upaya provokatif untuk mengajak warga merebut kembali tanah Sisilia yang indah. Tanah yang selama ini diklaim sepihak sebagai milik para mafia.

Saya berbincang dengan kawan dari Paris yang merasa kesulitan menemukan aktivitas budaya baru di kotanya, akibat sejarah panjang yang melekat di Paris selama berabad-abad. Apakah kamu merasa hal serupa terjadi di kawasan Sisilia? Apakah masih ada tradisi peninggalan budaya mafia yang terlanjur berakar kuat di wilayah tersebut?
Pendapat kawanmu itu menarik. Bagaimanapun, mafia berhasil menciptakan ikatan sosial yang mengakar kuat di seantero Sisilia. Jika kamu perhatikan, di Palermo misalnya, masih banyak perumahan yang dibangun di era 1960-1970-an. Di kawasan padat itu dulu dipenuhi anggota mafia serta keluarganya. Bangunan-bangunan itu secara arsitektur sangat berbeda dari wajah kota yang lain. Ada atmosfer isolasi di dalamnya. Tentu saja, kalau ditengok lagi, sebenarnya yang terjadi adalah pemisahan antar warga, dibanding persatuan. Membangun mentalitas 'kita' dan 'mereka' itulah yang paling berhasil dilakukan mafia selama era-era tersebut.

Iklan

Apakah warga Sisilia masih mengalami trauma kolektif akibat segala macam kejahatan Cosa Nostra di masa lalu?
Tentu saja. Saya tidak yakin dampaknya masih tampak di permukaan saat ini. Tapi jelas sekali kampung halaman saya dihuni oleh masyarakat yang mengalami trauma bersama. Itulah tujuan saya membuat seri foto ini. Saya menemui misalnya, orang-orang yang beruntung tak pernah mengalami masalah dengan organisasi kejahatan. Mereka bisa dengan mudah membedakan mana budaya di kota itu yang berasal dari tradisi mafia. Mereka juga merasa masa-masa mafia masih bercokol kuat merupakan mimpi buruk yang ingin secepatnya dienyahkan. Di sisi lain, saya juga bertemu mantan anggota mafia atau lebih tepatnya korban aktivitas organisasi kejahatan. Mereka sulit memisahkan mana kenangan yang baik dan buruk dari kekuasaan de facto Cosa Nostra di masa lalu. Uniknya, mereka sekarang tidak keberatan untuk meninggalkan sepenuhnya, atau mengkritik apa yang dilakukan mafia selama masih berkuasa. Bagi saya inilah inti buku Terra Nostra. Menguak bermacam dimensi dari sebuah masyarakat yang mengalami trauma kolektif masa lalu. Saya berterima kasih kamu menanyakan hal itu.

Tahun lalu, VICE mewawancarai fotografer Letizia Battaglia yang fokus mengambil gambar-gambar jaringan mafia Italia. Saat itu saya menanyakan hal ini juga padanya. Apakah menurutmu, warga Sisilia sebenarnya tidak keberatan dipimpin mafia selama bertahun-tahun? Apakah mungkin mereka sebetulnya lebih bahagia di masa lalu?
Saya tidak bisa mengklaim mereka lebih berbahagia. Yang jelas, sebagai orang Sisilia, perebutan kekuasaan memang sudah mewarnai wilayah ini sejak lama. Perebutan kekuasaan adalah sejarah Sisilia itu sendiri. Secara alamiah, orang Sisilia selalu mencari perlindungan pada lembaga, institusi, atau orang-orang berpengaruh. Mereka yang memiliki kekuasaan. Ini tradisi sejak berabad-abad lalu. Kekuasaan bagi orang Sisilia dipandang sebagai hal yang menakutkan, namun sekaligus bisa menguntungkanmu. Bahkan, dalam beberapa kasus bisa mendatangkan kesejahteraan. Mentalitas itu masih betahan sampai kini, kendati Cosa Nostra sudah ambruk. Pemerintahan yang berkuasa sekarang tetap memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh untuk menguntungkan diri dan kroni-kroninya. Kekuasaan dipakai secara egois, seakan-akan kami masih hidup di abad pertengahan. Korupsi menyebar di banyak wilayah Sisilia. Beberapa foto saya merekam momen-momen semacam itu. Salah satunya adalah foto seorang petinggi gereja [dalam foto di atas-red] yang memayungi seorang politikus lokal, padahal dia sendiri sedang kehujanan. Bayangkan, orang dari gereja saja sampai menghamba pada kekuasaan. Saya pikir, orang Sisilia tak pernah merasa kekuasaan itu sesuatu yang bisa diperjuangkan. Konsepnya lebih menyerupai anugerah yang hanya bisa diperoleh orang atau kelompok tertentu. Dengan sudut pandang semacam itulah orang Sisilia melakoni pekerjaan atau bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah uang, atau setidaknya kesempatan memperoleh keuntungan material maupun nonmaterial. Sejauh ini saya belum melihat kesempatan bagi warga untuk sepenuhnya lepas dari pola sosial patron-klien semacam itu. Orang-orang yang berkuasa masih leluasa memanfaatkan mentalitas masyarakat itu. Merekalah yang kemudian membajak sistem demokrasi Italia.

Iklan

Salah satu fotomu menampilkan t-shirt Godfather yang terpantul di jendela. Apakah bekas wilayah kekuasaan mafia sekarang menjadi obyek pariwisata?
Kapitaliasi budaya mafia ini terjadi 10 tahun belakangan. Sewaktu saya tinggal di Palermo semasa kecil dulu, tidak ada orang berani menjual pernak-pernik Cosa Nostra. Mana mungkin ada t-shirt bertuliskan Godfather di toko suvenir. Sekarang saya perhatian memang banyak yang seperti itu. Di seantero Sisilia kamu bisa mudah menemukan kaos, topi, asbak, gelas, piring, sampai syal bermotif Cosa Nostra atau semua yang berbau mafia. Tragisnya, gambar-gambar yang dipakai justru adalah gambaran film-film Hollywood tentang mafia. Bagi saya semua ini menyedihkan. Sebagian orang di Sisilia menganggap tragedi masa lalu saat mafia menguasai kota dianggap cocok untuk menjadi memorabilia. Mafia tak pernah boleh kita anggap remeh. Saya tak sepakat jika simbol-simbol mafia dijadikan suvenir, dikapitaliasi, bahkan dijadikan konsep pariwisata untuk menarik turis datang ke Sisilia. Kita tak boleh lupa, ketika mafia berkuasa, kemiskinan merajalela, orang-orang hidup dalam ketakutan, budaya kami hancur. Semua penderitaan itu tak bisa jadi bahan guyonan atau motif suvenir.

Setelah kini menjadi ekspatriat di negeri orang, bagaimana perasaanmu pada mendatangi lagi kampung halaman? 
Berjarak dari Sisilia memberiku kemampuan untuk mengartikulasikan pemahaman yang berbeda, atau malah baru, tentang tempat kelahiranku itu. Sebelumnya aku sekadar tahu, ya di kota ini ada mafia, banyak terjadi pembunuhan. Sekarang saya bisa memahami apa dampak peristiwa-peristiwa di masa lalu, apa warisan momen gelap masa itu pada warga sekarang, dan lain sebagainya. Dulu saya paham ada yang salah dengan kekuasaan mafia, tapi kesulitan mengungkapkannya. Sekarang saya bisa melihat gambaran yang lebih utuh. Sebagai fotografer, bekal dasar yang kita harus miliki adalah kemampuan observasi. Berjarak dari obyek yang kita foto menjadi modal utama. Kalau kamu terlalu punya keterikatan, kamu justru tidak bisa melihat hal-hal yang unik, yang khas. Saya tidak mengatakan buku Terra Nostra memuat fakta paling obyektif tentang Sisilia. Setidaknya, sebagai orang yang sudah berjarak, saya justru mampu menghadirkan penafsiran baru, serta menuangkan pemikiran yang lebih konseptual mengenai bermacam dimensi peninggalan Cosa Nostra di Sisilia.

Iklan

Simak cuplikan foto-foto Mimi tentang Sisilia berikut ini:

Semua foto oleh Mimi Mollica. Buku kumpulan fotonya 'Terra Nostra' baru saja diterbitkan Dewi Lewis Publishing.