Kecelakaan Kereta

Kesaksian Penumpang Jelang 'Adu Banteng' KA Turangga dan Commuter Line Bandung Raya

Tabrakan antara KA Turangga dan Commuter Line Bandung Raya menjadi kecelakaan KA terburuk 10 tahun terakhir. Penyebabnya belum diketahui.
Kesaksian Penumpang Jelang 'Adu Banteng' KA Turangga dan Commuter Line Bandung Raya
Penampakan KA Turangga dan Kereta Bandung Raya. Foto: Jovanka Edwina.

Tabrakan antara KA Turangga PLB 65A dan Commuter Line Bandung Raya (Baraya) 350 terjadi pada Jumat (5/1) pukul 06.03 WIB. Sebanyak 4 orang meninggal dan 35 orang terluka dalam insiden nahas ini.

Tubrukan dua KA di jalur tunggal kerap diistilahkan “adu banteng”. Peristiwa terjadi di jalur antara Stasiun Haurpugur dan Stasiun Cicalengka di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Meski penyebab resminya belum diumumkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), fakta yang sudah diketahui adalah saat kejadian, Commuter Line Baraya tengah berada di tempat tak seharusnya.

Iklan

Berangkat dari arah Padalarang, Kereta Baraya seharusnya berhenti di Stasiun Haurpugur dan diam di sana hingga KA Turangga lewat dari arah sebaliknya (arah Surabaya). Namun karena penyebab yang masih misterius, Kereta Baraya justru bergerak keluar dari Stasiun Haurpugur menuju tujuan akhirnya, Stasiun Cicalengka.

Di jalur antara dua stasiun tersebut, kecelakaan terjadi.

Dari empat korban meninggal, tiga orang berada di Kereta Baraya. Mereka adalah masinis Baraya Julian Dwi Setiono (27), asisten masinis Baraya Ponisam (47), dan petugas keamanan Stasiun Cimekar Enjang Yudi (40). Seorang korban meninggal lain adalah pramugara KA Turangga, Adriansyah (30).

Dari pihak penumpang, tak ada korban jiwa. Hari itu KA Turangga relasi Surabaya Gubeng-Bandung mengangkut 287 penumpang. Sementara Commuter Line Baraya mengangkut 191 penumpang.

Sembari menunggu rilis resmi KNKT, masalah di sinyal KA dan miskomunikasi antara masinis dan petugas di stasiun disebut-sebut menjadi penyebabnya. 

Jovanka Edwina, salah satu penumpang KA Turangga, menuturkan kepada VICE apa yang ia alami dalam kereta itu pada detik-detik kecelakaan.

Kesaksian penumpang

Jovanka menaiki Turangga dari Stasiun Yogyakarta beberapa menit sebelum pergantian hari dari Kamis ke Jumat. Ia akan turun di Bandung. Jovanka memilih tidur sepanjang perjalanan.

Seingatnya, sekira pukul 05.30, ia dibangunkan oleh pramugara yang sedang mengumpulkan selimut penumpang. Usai memberikan selimut, Jovanka mencari-cari teman seperjalanannya yang tak ada di kursi. Si teman sedang sarapan di gerbong restorasi.

Iklan

Gerbong restorasi ada di depan gerbong Eksekutif 4. Tempat duduk Jovanka ada di gerbong Eksekutif 5. Ia pun beringsut menyusul temannya. Sesampainya di gerbong restorasi, Jovanka duduk membelakangi meja bar dan memesan teh panas. Saat itu pukul 05.59. Selain dirinya dan teman, ada ada satu keluarga terdiri dari suami, istri, dan seorang anak kecil, serta dua pramugari.

Saat menuggu teh, Jovanka bersitatap dengan pramugara yang tadi membangunkannya. Pria itu lewat sambil menyeret kantung hitam besar berisi selimut. Ia melempar senyum kepada Jovanka.

Empat menit kemudian, teh panas Jovanka tiba di meja. Ia belum sempat meraihnya ketika benturan yang luar biasa keras menghempas para penghuni gerbong. Jovanka terdorong keras ke arah punggung kursi, temannya yang ada di hadapannya terlempar membentur meja di antara mereka.

“Rasaya kayak nabrak tembok. Temenku… dia kayak… aku bingung kenapa dia melotot gitu. Rupanya sesak napas, rusuknya itu kena meja restorasi.

“[Habis benturan itu] aku sempat lihat-lihat gitu kan… bingung… terus tiba-tiba pramugarinya itu lari dari arah bordes di depan. ‘Temen saya, temen saya, tolongin… temen saya kepalanya berdarah,’ katanya. Aku yang paling deket sama dia.”

Jovanka pergi ke arah bordes di depan gerbong restorasi (bordes yang menghubungkan Restorasi dengan gerbong Eksekutif 3). Ia cuma mau memeriksa apa yang terjadi. Sesampainya di bordes, ia kaget melihat teman yang dimaksud pramugari itu adalah sang pramugara yang baru saja tersenyum kepadanya. Pria itu, yang lewat berita nantinya Jovanka akan tahu bernama Adriansyah, terjepit sela-sela penghubung kereta. Matanya memejam.

Iklan

Adriansyah menjadi salah seorang dari empat korban gugur dalam kecelakaan tersebut. Usianya baru 30 tahun.

Jovanka melongok keluar pintu. Ia melihat di depan sebuah lokomotif tampak ringsek. “Aku pikir anjlok.”

Usai kejadian, para penumpang hanya bisa bengong. Lampu dalam gerbong tak menyala, namun cahaya matahari sudah cukup terang menyinari seisi ruangan. Jovanka sendiri belum tahu bahwa keretanya bertabrakan dengan kereta lain. Sekitar lima menit kemudian, seorang kondektur KA naik ke gerbong restorasi dan meminta penumpang segera turun dengan membawa barang-barang mereka.

Jovanka bergegas mengambil barangnya di gerbong Eksekutif 5. Dari sana ia harus mundur 2-3 gerbong untuk mencari tempat turun yang tidak terlalu tinggi. Begitu turun, ia bertemu penumpang Baraya yang mengatakan bahwa dua kereta ini baru saja bertubrukan.

Kepada seorang sekuriti yang ia temui, Jovanka menanyakan apakah penumpang akan mendapat bantuan. 

“Dia bilang kalau mau cepat mending mandiri. Ya udah, habis itu cuma habis itu langsung jalan dikit, terus ada angkot.” Ia naik angkot hingga Cicalengka, menyambung angkot lain tujuan Rancaekek, disambung ke Cicaheum, terakhir naik Damri menuju Stasiun Bandung.

Dalam angkot ke Rancaekek, Jovanka bertemu penumpang Turangga lain yang duduk di gerbong Eksekutif 2. “Teteh ini bilang dia pertama bingung denger suara klakson-klakson [kereta] panjang banget [sebelum kejadian]. Kalau aku di restorasi enggak kedengeran, atau mungkin enggak merhatiin, soalnya itu pagi banget.”

Iklan

Jovanka mengaku tak terluka. Ia hanya merasa ngilu di kakinya, namun itu baru ia sadari setelah sampai di Bandung. Tapi bagaimanapun, momen ia berinteraksi dengan Pramugara Adriansyah dan bagaimana tak lama kemudian Adriansyah tiada, masih sulit ia percaya.

“Perasaanku saat ini lebih ke berpikir kalau ini sesuatu yang harusnya aku baca di koran, bukan aku alami. Yang kedua, karena aku ada interaksi ya sama yang pramugaranya, lebih ke, aduh ya ampun, barusan dia senyum, barusan papasan, sekarang udah enggak ada,” ucapnya sedih.

KAI masih menunggu investigasi KNKT

“Adu banteng” hingga mengakibatkan korban tewas terakhir kali terjadi pada 2012. Pada 19 Februari pagi tahun itu, dua kereta api batu bara rangkaian panjang (KA Babaranjang) bertubrukan di jalur tunggal. Peristiwa ini melibatkan KA Babaranjang 36 dan KA Babaranjang Suka Cinta II.

Peristiwa terjadi di petak antara Stasiun Penimur dan Stasiun Niara, Muara Enim, Sumatera Selatan. Akibatnya, empat orang tewas. Mereka adalah masinis dan asisten masinis masing-masing kereta. 

Hingga Selasa (9/1) PT Kereta Api Indonesia belum menyebutkan secara resmi penyebab kecelakaan KA Turangga dan Commuter Line Baraya. Pihak KAI menyebut masih menunggu investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).