FYI.

This story is over 5 years old.

soundtrack

Siasat Menghasilkan Musik Western Yang Feminin

Kami mewawancarai Yudhi Arfani, yang dibantu Cholil Mahmud, mengadaptasi scoring ala Western untuk film 'Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak'.
Cuplikan adegan diunggah seizin Cinesurya.

Sosok karakter utama film terlihat menunggangi seekor kuda yang berjalan santai mengarungi jalan raya beraspal diapit sabana yang panas terik. Seiring efek fatamorgana mempengaruhi lensa kamera, liukan terompet yang mulus dan tenang menemani adegan tersebut, menimbulkan perasaan menggelitik dan menambah nuansa epik bagi penonton. Di atas kuda adalah perempuan berkulit sawo matang mengenakan blus, sarung dan sendal yang membawa potongan kepala manusia terbalut kain putih. Saya bukan sedang menonton film koboi western John Wayne, melainkan karya terbaru Mouly Surya, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak.

Iklan

Bersama Zeke Khaseli, Yudhi Arfani bertanggung jawab menciptakan audio untuk menemani visual Marlina yang sudah kuat. Bukan tugas yang mudah tentunya. “Ada film-film yang enggak banyak musiknya, dan bagus-bagus aja,” ujar Yudhi kepada VICE Indonesia. “Scoring yang bagus ada di porsinya, tidak berusaha melebihi filmnya dan gak ngeganggu adegan.”

Marlina direkam sepenuhnya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Lanskap Sumba yang luas, penuh padang sabana, dan berbukit-bukit seakan menjadi salah satu karakter utama film. Tidak menggunakan banyak dialog, film beralur lambat ini menampilkan banyak shot pemandangan buat menggambarkan mood, dan kadang menggerakan plot Marlina. Lanskap Sumba yang khas ini juga akhirnya berperan besar di balik pembuatan scoring film.

Selaku penata musik film ini, Yudhi Arfani mengandalkan foto lanskap Sumba—selain skenario tentunya—untuk mencari inspirasi komposisi scoring. “Referensi nada dan feel-nya waktu itu dari gue dapet dari gambar poster promo pencarian funding Marlina,” kata Yudhi. “Jadi gue pelototin aja gambarnya.“

Scoring film western termasuk yang paling mudah dikenali, karena memiliki banyak elemen yang khas: gabungan musik koboi, surf-rock, tembang Meksiko, dan nada-nada klasikal. Saking sudah familiar, sulit mendengarkan musik film western tanpa membayangkan adegan sosok koboi bertopi lebar menggigit jerami sambil memegang pistol.

Film spaghetti western sendiri tidak asing bagi penonton Indonesia dan sempat sangat populer sepanjang dekade 1970'an hingga 1980'an, beberapa tahun terlambat mengikuti tren sinema Amerika Serikat saat itu. Sosok aktor legendaris macam Bing Slamet dan Benyamin S membintangi berbagai film koboi yang memenuhi bioskop-bioskop tanah air. Di antaranya adalah Bing Slamet Koboi Cengeng (1974), Koboi Cilik (1977), Benyamin Koboi Ngungsi (1975), Tiga Janggo (1976), dan masih banyak lagi. Hanya saja, rata-rata, kebanyakan film western bikinan Indonesia sepanjang era itu masih bersifat parodi. Marlina, kebalikannya, cenderung memiliki tone film arthouse serius.

Iklan

Sang sutradara, Mouly Surya mengaku awalnya tidak berniat membuat film western. “Sebenernya gara-gara ngeliat Sumba,” kata Mouly. “Gue enggak menemukan genrenya dulu baru ceritanya, tapi the other way around." Ide membalut kisah drama absurd dalam genre Western terbesit dalam benak sutradara pencipta Fiksi (2008), dan What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013) ini ketika dia sedang menilik lokasi syuting dan melihat budaya penduduk Sumba.

Yudhi mengaku tidak mendengarkan musik western secara spesifik di tengah pembuatan scoring Marlina. Biarpun menyebutkan nama komposer Italia yang ikonik, Ennio Morricone, ia mengaku tantangan terbesar Yudhi bukanlah sekedar mereplika ulang musik dari genre film tersebut, namun merombak konsep musik western agar sesuai dengan tone Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak.

“Gimana membuat musik western yang sesuai dengan karakter utama perempuan, karena biasanya western selalu didominasi karakter utama lelaki.”

Mulai dari adegan pembuka hingga akhir, kentara sekali Mouly Surya ingin menunjukkan kekuatan perempuan dalam kehidupan sehari-harinya lewat Marlina. “Ini cerita seorang perempuan biasa di tempat yang rural, dan tidak berpendidikan, tetapi dia mau survive,” ujarnya. Dengan menggunakan perempuan sebagai karakter protagonis dan menyajikan cerita dari sudut pandang perempuan, Mouly berupaya mendobrak batasan-batasan yang kadang mengikat tipikal film Western. “Genre western sendiri kan memang sangat maskulin dan sangat misoginis. Jadi film Marlina ini mencoba untuk membalikkan konvensi itu.”

Iklan

Cuplikan adegan di film Marlina. Foto dari Cinesurya.

Pendekatan yang sama digunakan oleh Yudhi dan Zeke ke dalam menghasilkan musik latar film ini. Sambil mempertahankan elemen-elemen musik western yang ikonik dan khas, mereka tetap menjaga elemen feminin dalam scoring dengan cara memasukkan banyak nada-nada yang “manis.”

Eksperimen mereka paling kentara di “Lazuardi”, single utama soundtrack Marlina. Alih-alih menyajikan tembang instrumental seperti scoring yang lain, lagu tersebut menyajikan kehadiran Cholil Mahmud—vokalis Efek Rumah Kaca—dan semakin memperluas dimensi lagu ini.

Dibuka petikan gitar akustik sebelum masuk ke beat ¾ ala waltz dan disusul dentingan gitar elektrik yang nuansanya “twangy”, Cholil bernyanyi, “Simpan luka hingga lelah/Tak terbendung amarah.”

Lirik itu berusaha menggambarkan pertikaian batin dalam diri Marlina. Cholil menyadari bahwa posisinya sebagai laki-laki yang harus menyanyikan soundtrack dari film yang menampilkan cerita dari kacamata seorang perempuan, membuatnya harus menggunakan mindset yang berbeda ketika menulis lirik.

“Setelah menonton filmnya, gue refleksi sendiri dengan opini pribadi, bagaimana seorang perempuan menghadapi permasalahan seperti yang dia hadapi,” kata Cholil, “Seberapa kuat dan tough dia menghadapi masalah itu.”

Lazuardi—kata lain untuk warna biru muda, menggambarkan langit Sumba yang cerah sebagai saksi bisu perjuangan Marlina—adalah upaya menangkap esensi perjalanan Marlina yang penuh dengan lika-liku tak terduga. Sebagai perempuan yang diperkosa dan menghadapi tekanan patriarki, bahkan tak dilindungi oleh hukum, dia dipaksa tabah menanggung semuanya, meneruskan hidup. Marlina adalah sosok yang kuat. Dan itulah yang hendak ditegaskan Cholil dalam empat baris terakhir lagu ini. “Terbentang luas lazuardi / pada diri sendiri / pahit memori / terkubur mati.”