FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Materi Radikal Pro-ISIS Masih Mudah Ditemukan Pengguna Youtube di Indonesia

Hanya berbekal kata kunci sederhana, VICE memperoleh lebih dari 10 ceramah Aman Abdurrahman di Youtube, yang bisa mendorong orang melakukan teror bom bunuh diri. Kominfo berjanji terus memburu konten macam itu.
Aman Aburrahman, ulama diduga menjadi pemimpin spiritual simpatisan ISIS di Indonesia, dikawal densus menuju ruang persidangan. Foto via Beawiharta/Reuters.

Dakwah radikal ustaz Aman Abdurrahman ternyata masih bisa ditemukan di beberapa kanal YouTube. Dengan kata kunci sederhana “youtube+dakwah+tauhid+aman+abdurrahman”, misalnya, kita akan memperoleh lebih dari 10 tautan. Dari amatan VICE, setidaknya ada 13 konten di YouTube yang secara gambalng berisi ajaran Aman Abdurrahman tentang konsep thoghut dan dosa besar bagi muslim yang mendukung sistem politik demokrasi.

Iklan

Aman, yang tengah menjalani rangkaian persidangan karena diduga terlibat dalam serangkaian serangan terorisme dua tahun belakangan dan dituntut hukuman mati, mulai berdakwah sejak 2003. Oleh para pendukungnya, materi dakwah untuk mendukung ISIS disebar melalui sosial media dan aplikasi pesan instan, terutama telegram. Aparat sejak lama menuding ceramah Aman yang tergolong keras disinyalir menjadi pintu masuk radikalisasi.

Salah satu militan yang menjadi lebih radikal karena ceramah Aman adalah Syawaluddin Pakpahan yang dihukum 19 tahun penjara dalam kasus penyerangan Mapolda Sumatera pada Juni 2017. Syawaluddin tak pernah bertemu Aman secara langsung, namun ia rajin mendengar ceramah Aman secara online dan membaca buku Seri Materi Tauhid yang disusun oleh Aman.

Buku tersebut, yang dibagi menjadi 19 seri, berisi tentang tinjauan dari mulai demokrasi sebagai hukum kafir hingga hukum menjadi pegawai negeri sipil. Materi tauhid tersebut awalnya gampang dicari di beberapa blog, namun kini tak lagi tersedia secara daring setelah pemerintah bergerak menyaring konten radikal.

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Donny Budi Utoyo membenarkan masih banyaknya konten-konten radikal macam itu di berbagai kanal media sosial. Namun dia meyakinkan publik bila pemerintah trus meningkatkan kinerja mesin penyaring konten. Menurut Donny, setiap dua jam mesin tersebut secara otomatis akan melakukan crawling (penyisiran) konten terorisme atau radikalisme dengan kata kunci tertentu.

Iklan

“Kalau ada konten sesuai kata kunci, dilanjutkan dengan proses pemblokiran,” kata Donny kepada VICE.

Sesudah terjadi insiden kerusuhan napi di Mako Brimob dan serangan bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada 11 dan 13 Mei, Kominfo telah memblokir 2.145 konten dan situs radikal hingga 20 Mei. Kebanyakan konten tersebut diblokir dari media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Telegram.

Namun bukan berarti perkara selesai dengan jumlah pemblokiran yang terus meningkat. Faktanya, pekerjaan Kominfo tersebut seperti tak berujung. Administrator situs yang diblokir tak jarang memindahkan domainnya untuk mengelabui pemerintah atau malah membuat situs baru.

Sejak 2010, pemerintah telah memblokir lebih dari 800.000 situs bermuatan radikal, seperti al-Mustaqbal.net, millahibrahim.wordpress.com, shoutussalam.com, dsb. Pemerintah sempat bergerak lebih jauh, dengan memblokir aplikasi favorit militan Telegram pada Juli tahun lalu. Raksasa sosial media Facebook juga sempat diancam oleh pemerintah jika tidak mau bergerak memberantas konten radikal. Tak ingin diblok oleh pemerintah, Facebook sepakat untuk bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dilansir CNN Indonesia, Facebook Indonesia mengklaim punya lebih dari 7.000 personel untuk menyaring konten bermuatan negatif.


Tonton dokumenter panjang VICE yang merekam keterlibatan pejuang asing, termasuk Indonesia, yang bergabung dengan ISIS di Suriah:

Iklan

Lantas bagaimana dengan Google? Pihak Google Indonesia belum bersedia memberi pernyataan kepada VICE. Namun dari data YouTube Transparency Report, pada 2017, YouTube menghapus sekira delapan juta video sepanjang kurun Oktober hingga Desember. Total ada 490.667 video atau 1,6 persen konten global yang dihapus karena disinyalir mempromosikan terorisme.

Menurut juru bicara Google, upaya untuk memberantas konten bermuatan radikal justru harus dilakukan oleh masyarakat. Mekanisme pemberantasan yang dilakukan oleh Google adalah dengan mengajak masyarakat untuk melaporkan konten yang kedapatan, di antaranya, mempromosikan terorisme dan ujaran kebencian. Upaya menghapus konten radikal yang mempromosikan terorisme memang tak bisa hanya mengandalkan pemangku jabatan dan penyedia layanan, tapi juga harus melibatkan masyarakat.

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Solahudin mengatakan bahwa tantangan terbesar dalam pemberantasan terorisme saat ini memang terletak pada konten radikal. Menurutnya seseorang saat ini hanya butuh waktu singkat untuk menjadi radikal dan militan. Hal tersebut terutama dikarenakan masifnya arus konten dakwah di media sosial dan situs. Dari penelitiannya, pengikut organisasi seperti Jemaah Islamiyah (JI) memerlukan waktu lima hingga 10 tahun sampai ikut serta dalam sebuah operasi.

Tantangan masa kini ternyata sangat berbeda. Sesudah deklarasi kekalifahan ISIS pada 2014, seseorang bisa menjadi radikal hanya dalam waktu satu tahun, menurut penelitian Solahudin. Mayoritas perekrutan jihadis untuk keperluan aksi teror memang tetap harus secara tatap muka, khususnya lewat berbagai pengajian. Namun tren pemanfaatan materi online ini perlahan menanjak.

Indikasi itu terlihat dari pengakuan 79 napi teroris yang dia temui. Sebanyak tujuh orang, atau 9 persen dari responden, mengaku mendukung pandangan radikal dan tertarik direkrut jaringan teror via online. "Ada puluhan kanal radikal di Telegram, dan setiap kanal bisa menyebar puluhan bahkan ratusan lagi konten radikal setiap hari," ujarnya. "Jadi orang lebih mudah menjadi militan, meski belum tentu ia akan bergabung dalam kelompok teroris."

“Penggunaan media online oleh kelompok militan sekarang dinilai sangat penting,” imbuh Solahudin. “Karena ia terkait dengan upaya radikalisasi.”