FYI.

This story is over 5 years old.

Masa Depan Militer

Sekarang Kita Memasuki Era Pilot Tempur Vs Drone

Pilot Amerika Serikat menjatuhkan dua drone musuh bulan ini. Dalam dua dekade lagi, kata pengamat militer, drone bisa memaksa pilot jet tempur betulan kocar-kacir.
F-15E Lightning menembakkan rudal. Sumber foto: US Air Force

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Beberapa drone pengintai telah jadi korban dalam pertempuran udara yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan. Percayalah, berita macam ini bakal jadi makanan sehari-hari kita dalam beberapa waktu ke depan. Peristiwa pilot betulan vs drone di masa depan akan semakin lazim saja.

Sekarang manusia memang masih menang. Tapi jangan sombong dulu deh, dalam beberapa tahun ke depan, manusia diyakini bakal kalah total.

Iklan

Pada 8 Juni lalu, pilot F-153 asal AS berhasil menghadang dan menembak jatuh Shahed-129, drone bersenjata buatan Iran yang baru saja menyerang pasukan koalisi AS di selatan Suriah. Sampai sekarang, belum jelas siapa yang mengendalikan drone itu—rezim Suriah, milisi pro-rezim Bashar al-Assad, atau milisi yang didukung Iran.

"Sementara ini drone tanpa awak memang masih bukan tandingan bagi pilot jet tempur."

Dua minggu kemudian, pada 20 Juni, pesawat tempur F-153 AS lainnya berhasil menghancurkan Shahed-129 lainnya yang tengah terbang menuju wilayah yang dikuasi milisi pro-AS yang sebelumya pernah diserang drone. Di hari yang sama, pesawat jet JF-17 milik Palestina meluluhlantakkan drone tanpa identitas buatan iran yang diperkirakan terbang dari perbatasan Iran dan Pakistan.

Sepertinya, fenomena pilot yang berhasil menembak drone sudah makin umum sekarang, dan memang begitu kenyataannya. Tak lama setelah militer di seluruh dunia mulai menggnakan pesawat tanpa awak dikemudikan remote control di pertengahan tahun 1990an, pesawat musuh-musuh mereka mulai menembaki drone-drone ini. Tapi, pertarungan beneran antara pilot dan drone masih jarang terjadi.

Pada musim semi 1999, helikopter transport Serbia Mi-8 terbang di samping drone predator milik AS yang tengah terbang di atas Kosovi selama masa intervensi NATO terhadap Serbia. Penembak yang duduk di pinggir helikopter tak butuh waktu lama untuk memberondongkan senjaytanya. Drone asal AS itu pun hancur berkeping-keping.

Iklan

Tiga tahun kemudian, pada bulan Desember 2002, pilot MiG-25 memergoki sebuah drone predator AS yang tengah menjalani misi mata-mata Iraq selatan. Drone tersebut dilengkapi dengan misil khusus pertarungan udara untuk membela diri. sayangnya , MiG-25 unggul dalam kecepatan dan jangkauan senjata. Kedua pesawat lantas saling menembakan misil mereka. MiG-25 yang trengginas bisa menghindari misil yang diarahkan kepadanya. Lawannya, drone lamban asal Amerika Serikat, tak seberuntung itu. Dia meledak didera misi.

Selanjutnya, pada September 2009, sebuah Reaper Drone USAF—versi lebih besar dari drone predator AS yang dikenal sebagai drone "pemburu-pembunuh—ngadat di ataas Afganistan dan terbang ngasal ke arah Tajikistan. Aliha-alih mengambil resiko drone rusak itu jatuh ke tangah musuh, angkatan bersenjata Amerika Serikat mengutus sebuah F-153 untuk menghabisi drone malang tersebut.

Seiring makin banyaknya negara yang menggunakan drone dengan ukuran besar—yang tentunya telah dipersenjatai, pertarungan manusia versus drone di angkasa bakal makin marak. Ini, bagi beberapa negara penghasil senjata, adalah peluang emas. Setidaknya, Cina, Iran dan Amerika Serikat makin getol dan sumringah mengekspor drone bersenjata berukuran besar.

Dalam beberapa data termutahkhir, tak lebih dari selusin negera di dunia ini memiliki drone bergaya Predator yang lengkapi dengan missil dan bom. Beberapa kelompok non-negara, seperti Hezbollah dan Negara Islam Irak dan Syams (ISIS), tercatat belanja pesawat tanpa awak serupa. Di saat lain, kelompok-kelompok militan ini melakukan sedikit improvisasi untuk mengakali budget. Darpada belanja drone, mereka kadang cuma melekatkan bahan peledak pada sebuah quadcopter yang aslinya dibuat untuk kepentingan komersil.

Iklan

Drone pembunuh yang populer belakangan kebanyakan digerakan dengan roket pendorong. Dampaknya, manuver drone terbatas dan terhitung ketinggalan zaman kalau dibandingkan dengan pesawat jet konvensional. "Pesawat tanpa awak militer yang ada saat ini, termasuk yang ada di US dan drone Shahed buatan Iran yang baru ini ditembak jatuh, masih jadi sasaran empuk para pilot pesawat jet," ujar Todd Humphreys, seorang profesor dan pakar drone di University of Texas at Austin, pada Motherboard.

Pada tahun 2013, Pentagon pernah sangat sangat khawatir akan keselamatan dronenya sampai-sampai mereka mengutus F-22 stealth fighter untuk mengawal drone Predator dan menembak jet tempur Iran berusaha menembak jatuh drone lamban ini.

Namun, keunggulan pilot beneran bakal berakhir. Amerika Serikat, Rusia, Cina, Iran dan beberapa negara Eropa lainnya kini tengah mengembangkan drone bersenjata bertenaga jet. Drone-drone baru ini digadang-gadang bakal lebih gesit dalam bermanuver dan dilengkapi lebih banyak senjata.

"Pesawat tanpa awak di masa datang akan menang dalam laga udara," ujar Humphreys. "Drone-drone bakal lebih kuat dalam menghadapi gravitasi bumi daripada manusia. Reaksi mereka juga akan sangat cepat dan bisa berkoordinasi antara sesamanya dengan sempurna. Kalau sudah begini, giliran pesawat tempur yang dikendalikan pilot yang jadi bulan-bulanan."

"Menurut perkiraan saya sih, pesawat tempur tanpa awak bakal berjaya di angkasa dalam 20 tahun mendatang," imbuh Humphreys.