Kesenian Bantengan Mistis Kota Batu Malang Jawa Timur Warisan Kerajaan Singasari
Dalam kondisi kerasukan, penari Bantengan di Kota Batu Jatim sanggup mengangkat topeng tanduk 30 kilogram tanpa kesulitan. Semua foto oleh M. Zaki Rizaldi
Budaya

Kerasukan Massal Para Pewaris Tradisi Kerajaan Singasari

Bantengan adalah tradisi kuno dari Kota Batu, Jawa Timur, yang mistis sekaligus ekstrem. Dalam prosesnya bercampur silat, tari topeng, sampai momen kerasukan roh banteng, singa, serta monyet.

Diterangi mentari sabtu pagi, wajah Satria Putra Pratama terus menyunggingkan senyum sembari keluar rumah. Pemuda 20 tahun itu, yang sehari-hari membagi waktunya untuk kuliah dan menjalani profesi ojek online, akan kembali melakoni Bantengan. Setelah paguyuban yang dia ikuti hiatus enam bulan, dia akan bisa kembali menari dan kerasukan mahluk halus.

"Ini sekarang mau jalan ke rumah Mbak Woro Esti," ujarnya pada VICE, yang mengikutinya dari kos yang dia tinggali di pinggiran Kota Malang. Dia hendak menuju lokasi pertunjukan tradisional kesohor dari Kota Batu, Jawa Timur. Woro Esti adalah sosok ketua paguyuban Bantengan Sukun Budoyo.

Iklan

Setiba di rumah Woro Esti, nampak puluhan pemuda usia 20 hingga awal 30 tahun memakai baju hitam-hitam. Rasanya seperti datang ke gerbang menuju lokasi konser black metal. "Sebelum Bantengan mulai, kita harus ikut beberapa ritual," kata Satria. Ritual permulaan itu disebut suguh: proses berdoa bersama sembari menyalakan dupa, dipimpin Woro Esti. Anggota Bantengan Sukun Budoyo berdoa agar dilindungi Yang Maha Kuasa, sehingga dapat menampilkan aksi Bantengan secara maksimal. Selanjutnya, puluhan orang itu naik lima angkot sewaan menuju lokasi acara.

Hari itu, saat VICE mengikuti kegiatan mereka di pertengahan Desember 2019, Paguyuban Sukun Budoyo diundang menjadi tamu penampil acara di desa Jambuwer, dekat lereng Gunung Kawi. Paguyuban Bantengan lainnya, Kancil Mas, merayakan hari jadi.

Angkot hari itu menempuh jarak sejauh 76,7 kilometer dari kota Malang untuk sampai ke lereng Gunung Kawi. Sebelum menari, rombongan berziarah ke makam Punden, sosok orang pertama yang melangkahkan kaki pertama kali membuka Desa Jambuwer, sebelum akhirnya menjadi pemukiman warga.

1582193891128-Untitled-design-2020-02-20T171641109

Kepala banteng ini hendak dimasukkan dalam angkot sewaan paguyuban Bantengan.

Punden memiliki peran yang besar dalam acara bantengan, karena Pundenlah yang memanggil arwah banteng, singa, dan monyet, serta memiliki kontrol penuh menjaga situasi tetap kondusif selama bantengan berlangsung. Para peserta Bantengan tidak diperkenankan mabuk dan berbuat maksiat lain sebelum beraksi.

Awan gelap menaungi jalan utama Desa Jambuwer, sampai menuju lapangan yang akan jadi lokasi puncak acara. Tapi ratusan warga menyemut, menantikan iring-iringan para pemain Bantengan.

Iklan

Tunggu dulu, barangkali demikian suara batin pembaca sekalian. BANTENGAN ITU APAAN SIH?

Kalian pastinya belum familiar dengan seni tradisi magis sekaligus ekstrem ini, yang lahir sejak zaman Kerajaan Singasari, diperkirakan bermula pada Tahun 1222. Penciptanya, konon, adalah Patih Kerajaan Singasari bernama Santiko Joyo yang melihat anak muda masa itu lebih suka rebahan alih-alih belajar silat untuk mempertahankan kerajaan dari serangan musuh. Seriusan, itu cerita resminya. Kaum rebahan yang malas ngapa-ngapain ternyata sudah ada sejak Abad Pertengahan di nusantara.

1582193914069-Untitled-design-98

Para penari Bantengan bercengkrama sebelum tampil.

Santiko Joyo menciptakan kesenian yang dipadupadakan dengan pencak silat. Inspirasinya muncul setelah berbulan-bulan semedi, lantas melihat sekumpuan banteng di tanah lapang meregang nyawa akibat ancaman harimau. Patih Santiko Joyo memperhatikan bentuk tanduk banteng yang melengkung ke atas layaknya seorang yang sedang berdoa. Pertempuran hidup mati dua binatang itu mengilhaminya gerakan tari yang berfungsi sekaligus sebagai jurus silat.

Tari Bantengan menampilkan tiga tokoh utama. Yang pertama tentu saja Bantengan, semacam barongsai banteng, diperankan dua orang menari dengan topeng dan jubah. Tanduk yang mencolok dalam topeng kepala banteng mereka terbuat dari kerangka banteng jantan yang mati alamiah, bukan karena disembelih. Topeng kepala itu bobotnya bisa mencapai 30 kilogram. Mayoritas pemain berperan sebagai koloni banteng.

Iklan

Tokoh penting lain adalah gerombolan macan, serta para pemeran pendukung yakni penari dengan kostum kera. Sebagaimana seni tradisi lain di Indonesia, para penari itu kerasukan roh halus. Semua penari dengan kostum hewan ini dikendalikan oleh pendekar silat, yang bertugas umenghentakan cambuk ke tanah, membuat kesan pertunjukan semakin menegangkan.

1582193960967-Untitled-design-2020-02-20T171615818

Penari macan tampil mengganggu gerombolan banteng.

"Ctar! Ctar! Ctar"

Farel Rendra Saputra adalah salah satu pendekar termuda. Dia baru tujuh tahun, tapi tangannya sudah lincah mencambukkan pecut yang ia genggam ke tanah. "Bismillah krono awo jenengan kulo haturi pinarak," ujar Farel. Dia memberi tanda pada mahluk halus di lapangan, bahwa raga para pemain Bantengan sudah siap dirasuki.

Bau menyengat dari asap dupa dan kemenyan yang dibakar menutupi bau lereng Gunung kawi sehabis diguyur hujan. Para pemain Bantengan lantas menari blingsatan. Kepala banteng yang amat berat itu dimainkan berlenggak-lenggok seakan bobotnya seringan kapas.

Ayunan cemeti para pendekar membuat banteng marah. Mereka mengejar pendekar, menyeruduk sesama banteng, bahkan berhamburan berlarian ke penonton. Sebelum pertunjukan bantengan hari itu dimulai, panitia mengimbau penonton agar selalu tetap waspada. Nahas seekor banteng kehilangan kontrol menyeruduk seorang bocah laki-laki kira-kira berumur 8 tahun. Kepala si bocah mengucurkan darah.

1582193975535-Untitled-design-2020-02-20T171548751

Penari bantengan mengadu kepala dengan sesamanya.

Salah satu pemain Bantengan mendekati kerumunan yang panik melihat bocah itu terluka. Sambil membisikan mantra dan mengusapkan tangannya di kepala si bocah, pendarahan langsung berhenti, luka langsung tertutup sempurna tanpa meninggalkan bekas. Si bocah juga kembali melanjutkan menonton, seakan-akan dia lupa baru saja dihantam tanduk.

Iklan

Para macan kemudian turun mengganggu para banteng. Penari macan mudah dibedakan dari peserta bantengan lainnya. Pandangan mereka kosong, matanya putih, suara parau mengaum. Anak-anak muda yang kerasukan itu seringkali meminta ayam kampung hidup untuk mereka gigit lehernya sampai putus.

Sore itu, belasan darah ayam hidup membanjiri lapangan. Adapun pemuda yang trans menjadi kera bertingkah laku layaknya bocah manja. Mereka meminum susu, makan pisang hingga, minta digendong oleh para pendekar. Setidaknya dari gerombolan ini, tak banyak darah tertumpah.

1582194256652-Untitled-design-2020-02-20T172352637

Kepala banteng ini bisa mencapai bobot 30 kilogram.

Walaupun sekilas seperti pesta menikmati kesurupan massal, bantengan memiliki filosofi tersendiri. Banteng berkoloni menyimbolkan kelompok masyarakat kelas bawah, yang selalu menghadapi tantangan hidup, serta ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup mereka disimbolkan oleh sekelompok macan.

"Dalam proses melawan marabahaya yang disimbolkan oleh macan pasti ada godaan yang menghalangi banteng melawan ancaman tersebut disimbolkan oleh kera licik," demikian penjelasan dari Mbah Agus, seniman sepuh Kota Batu yang berusaha menghidupkan lagi kesenian Bantengan agar dekat dengan anak muda. "Saat zaman Belanda rakyat dilarang mempelajari ilmu bela diri demi melanggengkan kekuasaan kolonial. Makanya masyarakat Jawa mensiasatinya dengan menggunakan kesenian Bantengan untuk belajar bela diri."

Kakek Agus dulunya merupakan pendekar pencak silat kondang. Di rumahnya, masih ada kepala banteng, beserta satu set alat tabuhan yang berasal dari zaman Hindia Belanda. Seperti seni tradisi daerah lainnya, era awal kemerdekaan sampai kisruh politik Orde Baru membuat Bantengan mati suri. Tak ingin tradisi kuno Singasari ini punah, pada 2008 Mbah Agus berhasil menghidupkan Kesenian Bantengan, dengan mendirikan paguyuban Bantengan Nuswantara.

Iklan
1582194014825-DSC02653

Lebih dari satu dekade berjalan, paguyuban ini menarik minat anak-anak muda. Khususnya mereka yang terpinggirkan di masyarakat. Dari catatan Mbah Agus, 40 persen anggota Bantengan pernah mendekam di penjara. Tapi, sejauh ini, Bantengan belum menarik minat anak muda di perkotaan—apalagi masuk radar pemerintah untuk menjadi agenda wisata tersendiri.

"Sedih saya, yang lebih tertarik oleh kesenian ini justru orang-orang luar," kata Agus pada VICE. "Tak jarang yang membantu perfomance saya di luar negeri itu justru orang-orang bule, mereka sukarela mencalonkan diri menjadi personil bantengan, mereka juga mengaku sangat senang bisa mengalami pengalaman trans."

Seni Bantengan memang masih mengandalkan uang kolektif anggota. Sesama paguyuban saling meramaikan. Tapi ada kepuasan tersendiri dari pelakunya. Ada energi purba yang membuat mereka ingin terus melakoni Bantengan. Energi yang dirasakan Satria, yang seharian itu tanpa henti mengangkat tanduk berat topeng bantengnya.

"Kami menata ulang kembali kehidupan dengan melestarikan kesenian bantengan," ujarnya.