Terorisme

Jemaah Islamiyah Diduga Kelola Kebun Kelapa Sawit di Sumatra Buat Biayai Aksi Teror

Densus 88 sukses membekuk Para Wijayanto yang buron sejak 2003. JI tak kunjung lumpuh meski petingginya berulangkali ditangkap. Organisasi yang tak akur dengan ISIS ini terus berisiko mengancam Indonesia.
Jemaah Islamiyah Diduga Kelola Kebun Kelapa Sawit di Sumatra Buat Biayai Aksi Teror
Pendukung berpose di dekat poster wajah tokoh Jemaah Islamiyah yang terlibat Bom Bali I. Foto oleh Beawiharta/Reuters

Sudah 12 tahun berlalu sejak Jemaah Islamiyah dibekukan pengadilan Jakarta pada 2007 sebagai organisasi terlarang karena terkait terorisme. Meski begitu, Jemaah Islamiyah terbukti tak bubar begitu saja. Akhir pekan lalu, Densus 88 menangkap lima orang anggota JI di Bekasi, Jawa Barat. Salah satunya adalah Para Wijayanto, Amir (alias petinggi) JI yang buron sejak 2003.

Walau lebih dari satu dekade terakhir JI tak terlibat terorisme, polisi menilai penangkapan tersebut sebagai upaya mitigasi. Aparat mengendus jejak sebagian anggota JI secara klandestin merencanakan aksi teror. Sebagai organisasi beraliran salafi tapi mendukung teror dan pembunuhan warga sipil, JI tergolong mandiri secara ekonomi. Polisi mengungkap, buat mendanai operasional, organisasi ini mengelola dua kebun kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan yang saat ini lokasinya masih terus dilacak polisi.

Iklan

Pengelolaan bisnis kelapa sawit adalah temuan baru dalam struktur organisasi teroris di Indonesia. Kebanyakan sel teror di Indonesia mendanai operasi mereka lewat duit bantuan dari luar negeri atau donasi saat pengajian. Jika pun berbisnis, kebanyakan anggota sel teroris berjualan obat-obatan herbal.

"Tindakan ini sebagai upaya mitigasi dan pencegahan, dan ini tidak besar. Tentu rekan-rekan bisa membayangkan apabila organisasi itu tumbuh besar dan memiliki massa dan kekuatan ekonomi,” kata juru bicara mabes Polri Dedi Prasetyo, dalam jumpa pers. "Perkebunan sawit itu menghasilkan uang untuk membiayai aksi, juga untuk membiayai organisasi, juga membiayai gaji pejabat atau orang di dalam struktur jaringan JI."

Jemaah Islamiyah saat ini sudah tak seperti dulu, yang gemar angkat senjata demi tegaknya khilafah di Asia Tenggara. Sesudah serangan bom Bali 2005, nyaris semua petinggi JI ditangkap Densus 88. Organisasi tersebut lumpuh. Pada 2008, para petinggi JI yang tersisa menggelar pertemuan di Surabaya, lantas mengangkat Wijayanto sebagai amir baru.

Para Wijayanto, lelaki asal Kudus, Jawa Tengah, adalah lulusan Universitas Diponegoro, Semarang. Dia dikenal punya kemampuan organisasional yang baik, meski pemahaman keagamannya tergolong minim. Awal 2000 dia sempat pergi ke Mindanao, Filipina buat latihan militer dan sempat menjadi pemimpin JI Jawa Tengah.

Organisasi tersebut kemudian mencoba membuat strategi baru. Salah satunya lewat jalur dakwah dan pendidikan dibandingkan dengan serangan senjata dan bom. Sebagai sayap dakwahnya, JI mendirikan Majelis Dakwah Umat Islam (MDUI) yang tersebar di 65 kota/kabupaten di luar Jawa. Sementara baru pada 2011 JI mendirikan sayap militer yang berhasil diungkap kepolisian dengan terbongkarnya pabrik senjata di Trucuk, Klaten, Jawa Tengah.

Iklan

Kendati punya sayap militer dan disinyalir memiliki ribuan anggota, JI yang sekarang sudah menjauh dari doktrin jihad bersenjata. Menurut sumber VICE, JI sadar pemerintah terlampau kuat. Pengalaman serangkaian serangan teror sepanjang 2000-an awal terbukti kontraproduktif buat organisasi. Hal ini juga membuat JI berhati-hati dalam operasional sehari-hari. Mereka nyaris tak menggunakan sosial media dan aplikasi pesan singkat.

Demi alasan keamanan, petinggi JI cuma berkirim pesan lewat kurir. Mereka menggunakan sistem sel tertutup, yang membuat anggota tak mengenal siapa pemimpin mereka. Ini yang membuat polisi butuh 16 tahun hingga dapat menangkap Para Wijayanto. Sistem sel tertutup ini juga tergolong rapi dan sulit dilacak, terbukti cuma 18 anggota JI yang ditangkap polisi dalam kurun 2014-2017.

JI tak berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), yang mereka sebut organisasi menyimpang. Saat konflik di Suriah meletus, khususnya sepanjang kurun 2013-2014, JI sempat mengirim tujuh orang ke negara konflik itu buat latihan militer bersama Jabhat al-Nusra (sayap Al-Qaeda di Suriah).

Lantas apa yang membuat JI tetap bertahan hampir dua dekade meski banyak petingginya telah ditangkap? Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones mengatakan JI merupakan organisasi tahan banting.

Meski banyak anggotanya ditangkapi, jejaringnya tetap bertahan. JI lebih memilih jalan klandestin, terakhir kalinya JI menggunakan kekerasan adalah saat tiga siswa sekolah Kristen dipenggal di Poso oleh anggota JI lokal. Selebihnya, nama JI jarang menghiasi halaman media online.

"Kekuatan JI adalah warisan sejarahnya serta jejaring keluarga dan para pendukungnya," kata Sidney kepada VICE. "JI punya visi jangka panjang yang membuatnya tahan banting dibandingkan kelompok teroris lainnya."

Artinya, tugas polisi untuk mencabut JI hingga akarnya amat sulit. Polisi kini dibekali dengan UU Anti Terorisme yang baru, memungkinkan aparat untuk menjatuhkan hukuman meski terduga teroris belum bergerak melakukan serangan serta menghukum pihak yang memberikan pendanaan buat organisasi terlarang. Akan tetapi, sepanjang polisi tak memiliki narasi menangkal paham radikal mereka, JI bakal tetap menjadi ancaman bagi Indonesia.