FYI.

This story is over 5 years old.

kuliner dan penjara

Bukan Afiliasi Geng yang Menyelematkan Napi di Penjara, Tapi Berbagi Mi Instan

Sebagai narapidana, Gustavo “Goose” Alvarez berhasil hidup melalui Kerusuhan Penjara Chino pada tahun 2009 dengan “bercengkrama” dengan sesama narapidana menggunakan makanan paling serbaguna yang mereka miliki: mi instan.

Gustavo “Goose” Alvarez terjebak. Pintu di antara dia dan segerombolan sesama narapidana, banyak yang menggunakan senjata darurat, bisa terbuka kapan saja, dan alat utama yang dia pakai untuk berlindung adalah T-shirt yang bisa dipakai untuk melindungi kepalanya kalau-kalau ada yang mencoba menggoroknya. Beberapa teman asrama sedang berdoa untuk hidup mereka.

Pada 2009, kerusuhan Penjara Chino meletup. Insiden 11 jam yang dipicu oleh ketegangan rasial antara orang kulit hitam dan Latin itu mengakibatkan lebih dari 200 orang terluka. Alvarez sedang menjalani hukuman enam tahun di penjara pada saat itu. Ketika dia melihat sekelompok petugas pemasyarakatan melarikan diri melalui jendela, dia pikir dia sudah selesai.

Iklan

“Saya benar-benar berpikir, ‘Wah. Saya akan mati,’” ujar Alvarez.

Foto-foto yang diambil setelah kerusuhan menggambarkan sebuah adegan kehancuran dan kekacauan yang menakutkan—lantai satu barak yang terbakar adalah rawa gelap dari tempat tidur yang hangus dan barang-barang pribadi. Di tempat lain, kasur yang dilempar-lempar napi bertebaran di mana-mana, dan dinding-dindingnya berlumuran darah. Ada sisi tembok yang bolong, besar lobangnya setinggi orang. Potongan-potongan gelas pecah di halaman, bersama dengan novel, sepatu, alkitab, dan surat-surat.

GooseCliffFINALPIC055_edit

Gustavo "Goose" Alvarez and Clifton Collins, Jr. Photo courtesy of Workman Publishing.

Saat mengamati kerusakan, Gubernur California pada saat itu, Arnold Schwarzenegger berkomentar, “Ini seperti adegan dari salah satu film saya, bedanya ini adalah bahaya nyata dan kehancuran nyata.”

Tapi meski ini terkesan menarik, salah satu foto yang paling tajam menampilkan barak dengan kerusakan yang relatif minim. Di sudut foto kamar yang sebagian besar masih utuh, bercampur dengan puing-puing, ada tumpukan sekitar sepuluh paket mi instan oranye dan hijau cerah. Ketika saya menunjukkan foto itu ke Alvarez, dia tidak terkejut. “Itu makanan pokok kami,” katanya, mencatat bahwa mi kering dan paket bumbu, umumnya dilihat sebagai makanan termurah di dunia luar, berfungsi sebagai komoditas berharga saat ia menjalani hukuman penjara.

“Itu bisa dijadikan apa saja. Percaya atau tidak, itulah mata uang di dalam sini,” ujarnya.

Dihargai sekitar satu dolar di Chino dan tender untuk segala sesuatu mulai dari perjudian hingga mencuci pakaian, paket-paket ramen yang sederhana itu akan menjadi lebih berharga daripada yang pernah dibayangkan Alvarez malam itu. Makanan hangat yang mereka hasilkan akan menjadi simbol kuat kerusuhan baginya. Itu adalah narasi yang membentuk buku barunya, Prison Ramen, yang ia kerjakan bersama teman lama, aktor Clifton Collins, Jr.

Iklan

Buku ini dimulai dengan insiden kerusuhan—Alvarez berhasil selamat darinya berkat usaha seorang berumur 50 tahunan O.G. Crip yang berhasil menenangkan para lelaki muda berkulit hitam. Alvarez, berumur 30 pertengahan dan seorang ayah dari tiga anak saat itu, menyadari bahwa “anak-anak muda yang masih bodoh” itu hendak mengikuti langkah hidupnya yang dia sesali.

“Bocah-bocah ini, mereka mengenakan piyama—seperti itulah seragamnya—dan mereka kedinginan dan kelaparan. Tatapan mata mereka sudah berubah. Kini, saya melihat mereka sebagai orang tidak bersalah. Mereka hanya belum mengerti,” ujar Alvarez.

Satu jam kemudian, dia dan rekan-rekan blok selnya menggabungkan semua makanan mereka untuk memberi makan kelompok tersebut. Ini menghasilkan dialog bermakna bagi mereka-mereka semua yang bermusuhan. “Makanan berhasil mencairkan suasana,” ujarnya.

Keriangan dan kesulitan sehari-hari dalam mencari asupan makanan dalam penjara dibahas dalam Prison Ramen. Bagian paling menarik adalah esai yang ditulis Alvarez, biarpun pengakuan beberapa selebritas yang pernah dipenjara—seperti Danny Trejo dan Slash—juga muncul. Setengah buku resep, buku ini menampilkan resep-resep yang menggunakan bahan-bahan yang biasa tersedia dalam penjara. Bayangkan tamale ramen yang terbuat dari kulit babi, keripik jagung, dan kacang panjang yang digoreng ulang.

Tulisan dan resep ini menampilkan tingkat keintiman yang terbentuk antara tahanan-tahanan penjara. Alvarez mengatakan pikiran-pikiran akan kenikmatan di dunia luar harus ditinggalkan demi kesehatan fisik dan mental. “Banyak yang terus memikirkan pacar mereka—apa yang pacar mereka lakukan, di mana mereka—tapi tubuh mereka secara fisik berada di penjara, dan ini tidak sehat. Kamu seperti seorang zombie berjalan, dan kamu akan menderita,” ujarnya.

Iklan

Makan bareng rekan-rekan adalah cara untuk membangun ikatan dengan keluarga baru di penjara. Kebersamaan dan kepercayaan, dia yakini, terbangun ketika tahanan yang tidak memiliki banyak sumber daya sendiri menggabungkan sumber daya dengan tahanan lain untuk menciptakan sesuatu yang lezat—misalnya goulash atau sup ayam. Sangat serba guna, ramen merupakan bahan dasar untuk masakan-masakan kolaboratif ini, dengan saset bumbu berfungsi sebagai saus utama.

Prison-Ramen_edit

Photo courtesy of Workman Publishing.

Pastur Greg Boyle, pencetus Homebuy Industries dari LA (program rehabilitasi geng tersukses dan terbesar di dunia) juga menulis sebuah esai dalam buku ini, mengamini Alvarez. Berbagi makanan—atau “breaking spread”, istilah yang digunakan di Homeboy—ujarnya, membantu mengakrabkan bahkan musuh bebuyutan sekalipun.

“Di Homeboy, kami sering ‘break spread,’ karena membantu mengingatkan kami bahwa kami semua keluarga. Ketika kami makan bareng, kami merasakan sensasi yang sama, dan rasa hangat itu adalah sumber penyembuhan bagi kami semua,” ujar Boyle.

Selain menyediakan keakraban, memasak makanan sendiri (bahkan kalau menggunakan kudapan yang diproses) bisa menyediakan nutrisi yang makanan penjara normal tidak bisa berikan. Alvarez bercerita menggunakan tiram asap, remis muda, dan cumi-cumi dibeli dari komisariat atau dari kiriman untuk menciptakan sup siete mares. Ceviche dan pico de gallo juga bisa dimasak begitu barak yang dia tempati diizinkan menanam sayuran di kebun. Kalau semua gagal, mencuri bahan dari dapur—pelanggaran serius yang bisa membuat seseorang ditambah hukumannya beberapa bulan—dipandang sebagai resiko yang layak diambil.

“Kami bisa menghabiskan seharian nyelonong ke sana ke sini dan menyiapkan distraksi demi mendapatkan produk tertentu. Begitu kamu menyadari apa produknya—entah tomat, pisang, atau apel,” ujarnya, menambahkan bahwa buah kiwi baginya seperti emas.

Perjuangan sehari-hari macam ini inheren bagi kehidupan dalam penjara dan teror yang dia alami selama kekisruhan menggerakan Alvarez untuk memperingatkan generasi muda. Mengakui bahwa dia telah melakukan banyak hal buruk di masa lalu, dia merasa akhirnya memiliki sebuah tujuan, dan dia berharap Prison Ramen akan menjadi alat untuk berhubungan dengan anak-anak beresiko yang dia mentori lewat organisasi seperti Homeboy Industries.

“Saya bersedia ngobrol dengan siapapun,” ujar Alvarez. “Saya tidak peduli. Saya akan seketika berhenti melakukan apa yang sedang saya lakukan dan mengatakan ke mereka, ‘Ini semua bohong, bro. Semua tentang penjara, ini kebohongan dari setan. Kamu tahu apa yang akan mengeluarkanmu dari ini? Kalau kamu menjadi penjahat paling hardcore, kamu tahu apa yang kamu dapat? Kamu akan mendapat sel seluas lima kali tujuh meter selama seumur hidup… Kamu tidak akan bisa keluar.’”