FYI.

This story is over 5 years old.

Politik

Antara Kesetaraan Gender Atau Melanggengkan Dinasti Politik

Pada pemilihan kepala daerah mendatang, banyak istri-istri pejabat mencalonkan diri menggantikan suami yang tak lagi bisa mencalonkan diri. Garis tipis antara mendorong kesetaraan gender dan melanggengkan dinasti.
dari kiri ke kanan: Ratu Atut, Ingrid Kansil, dan Airin Rachmi. Dikolasekan oleh Ananda Badudu

Ketika Ingrid Kansil menyatakan diri melaju ke bursa pemilihan bupati Bogor, suami Inggrid, Syarief Hasan yang juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat menyatakan dukungan penuh. Di depan media Syarif mengatakan bahwa pencalonan Inggrid merupakan wujud “kesetaraan gender”.

Selain Inggrid, ada beberapa tokoh perempuan yang merupakan Istri dari para pejabat yang kemudian melenggang ke bursa kepemimpinan eksekutif daerah. Sebagian, mengincar posisi yang sebelumnya diduduki suaminya. Lantas, apakah kita bisa begitu saja bisa setuju dengan Syarif bahwa fenomena ini bentuk dukungan terhadap kesetaraan representasi perempuan di politik, atau sebatas kedok bagi terciptanya dinasti politik baru?

Iklan

Pakar kajian gender dan politik dari Universitas Indonesia, Shelly Adelina berpendapat bahwa fenomena istri-istri pejabat daerah untuk dijadikan calon pemimpin atau pejabat bukan hal baru. Dalam pencalonan perempuan menjadi kepala daerah, tidak jarang Ia temukan istilah “kesetaraan gender” atau konsep gender lantang diteriakkan.

“Saya enggak tahu apakah [inkumben dan calon perempuan] mengerti soal kesetaraan gender, atau konsep gender,” kata Shelly saat dihubungi VICE Indonesia. “Itu kadang yang membuat kami berpikir bahwa wah ‘gender’ bisa jadi jualan juga yah,”

Shelly menilai, terlepas dari siapapun calon perempuan mesti didukung, apalagi jika memang calon perempuan tersebut punya kapasitas dalam memimpin daerah, terlepas dari hubungannya dengan pejabat sebelumnya. Namun, ia mengkhawatirkan bahwa perempuan, dalam konteks ini istri dan keluarga dari pejabat daerah lain hanya menjadi alat perpanjangan kekuasaan.

“Yang jadi persoalan adalah ketika kita curiga, jangan-jangan dia jadi ‘alat’ perpanjangan masa kekuasaan [suami] saja,” ujar Shelly. “Bisa jadi ketika calon perempuan [istri] memimpin, otaknya bukan otak dia, bisa saja itu otak suaminya,”

Shelly menjelaskan, ketika seorang perempuan dikaderisasi, harusnya tanda-tanda tersebut jelas terlihat. Harus jelas ada indikasi terlihat bahwa calon perempuan tersebut peduli pada permasalahan daerah termasuk di dalamnya soal gender.

Di Jawa Barat misalnya, ada Netty Heryawan, istri dari Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan yang sempat digadang-gadang jadi calon gubernur; Anne Ratna Mustika, istri dari Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi; dan Elin Suharliah istri Bupati Bandung Barat. Di daerah lain ada pula Mahfudoh, istri Bupati Bojonegoro. Mereka digadang-gadang mengincar posisiyang sebelumnya diduduki suami masing-masing.

Iklan

Sebagai contoh, Netty Heryawan mungkin jadi salah satu tokoh yang diterpa ‘serangan politik’ berulang kali. Ormas Islam menentang niat Netty menjadi gubernur yang diusung Partai Islam dengan serangan isu gender. Ia pun pernah dikaitkan dengan [isu nepotisme](https://www.vice.com/id_id/article/qv48e5/udah-2017-masih-saja-muncul-aksi-menolak-perempuan-jadi-pemimpin https://www.merdeka.com/politik/aroma-dinasti-politik-di-pilgub-jawa-barat.html) dan dinasti politik terkait jabatan Ahmad Heryawan. Meskipun sebetulnya Netty telah aktif di lingkup politik dengan menjadi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dinasti politik dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan berada dalam genggaman sebuah keluarga. Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro dalam media lokal pernah mengatakan bahwa dinasti politik tumbuh subur di tengah sistem pemilihan langsung. Penyebab utamanya akibat peran partai politik yang lemah dalam kaderisasi calon pemimpin.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo pada awal 2017 lalu menyatakan ada 58 dinasti politik yang berkembang di Indonesia. Menurutnya yang terbesar kini adalah dinasti politik Banten. Atut Chosiyah merupakan mantan Gubernur Banten yang kini terjerat kasus korupsi. Dua adik Atut, Andika Hazrumy maju menjadi Wakil Gubernur Banten, dan Tatu Chasanah menjabat Bupati Serang. Begitu pula dengan Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany yang merupakan adik ipar Atut.

"Dinasti politik cenderung melahirkan korupsi daripada politisi lain yang berkembang tanpa melibatkan keluarga," kata Adnan seperti dikutip media lokal.

Iklan

Sejak bergulirnya otonomi daerah selepas reformasi pada 1999, lanskap politik Indonesia berubah, dari yang awalnya tersentralisasi, menjadi sistem yang memberi kekuatan penuh pada pemerintahan daerah untuk menjalankan roda pemerintahan. Hal inilah yang diprediksi memunculkan banyaknya dinasti politik di berbagai daerah.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam pasal 7 huruf (r), pernah melarang keluarga inkumben yang punya konflik kepentingan untuk mencalonkan diri dalam posisi di pemerintahan. Namun Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut dalam perkara uji materi pada 2015. Hal ini menjadi problematik. Di satu sisi, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 J UUD 1945, di mana siapapun jelas punya hak sama untuk dipilih. Di sisi lain, pembatalan pasal tersebut memungkinkan praktik dinasti politik yang makin menggurita.

Kepada media lokal, koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng mengatakan setidaknya ada tiga bentuk dinasti politik di Indonesia. Bentuk pertama ialah model dinasti politik regenerasi. Robert menyebutnya mirip dengan “arisan keluarga”, di mana satu keluarga memimpin suatu daerah tanpa jeda seperti yang terjadi di Kediri.

“Dari 1999 sampai sekarang dipimpin oleh satu keluarga. 1999-2009 Sutrisno dua periode. Kebetulan punya dua istri. Pada 2009, dua istri ini berkontestasi. Yang menang istri pertama dan sekarang masuk periode kedua,” kata Robert sebagaimana dikutip Qureta.

Iklan

Robert menyebut bentuk kedua sebagai dinasti politik lintas cabang kekuasaan. Sebagai contoh, hal ini terjadi ketika kakak menjadi kepala daerah (eksekutif) dan adiknya memegang posisi penting di DPRD (legislatif). Hal ini bisa jadi saling menguntungkan. Bentuk terakhir adalah model lintas daerah di mana anggota keluarga duduk di kursi kepemimpinan daerah-daerah yang berbeda. Robert menyebut dinasti jenis ini paling kuat. Ia mencontohkan hal ini terjadi di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.

Jika dikaitkan, tentunya sulit untuk memisahkan antara keterlibatan perempuan dalam politik dan perannya sebagai “agen” dinasti politik. Selepas reformasi, politik di Tanah Air cenderung lebih terbuka bagi perempuan. Sebagai gambaran, di ranah legislatif sejak 2003, Indonesia menerapkan adanya kuota minimal perwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen untuk tiap partai. Tentu semestinya tidak hanya di legislatif tapi juga eksekutif dan yudikatif. Harapannya, agar perempuan menjadi penentu nasib bangsa. Agar, berbagai isu gender mulai dari angka kematian ibu dan anak, isu pekerja migran domestik, pernikahan dini, dan kekerasan perempuan lebih diperhatikan dan diatasi oleh perempuan yang paham, merasakan dan memiliki perspektif soal masalah relasi gender.

Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan. Perempuan yang dipinang masuk partai politik tidak pernah jauh-jauh dari pesohor terkenal seperti model, aktor, atau penyanyi, termasuk sanak keluarga petinggi politik lama. Beberapa diantaranya memang mendulang prestasi dan reputasi baik di politik, tetapi kebanyakan kredibilitasnya dipertanyakan. Pada 2009, seperempat jumlah perempuan yang masuk ke DPR rata-rata adalah selebritas, dan sekitar 42 persennya adalah keluarga orang-orang berpengaruh.

Selain itu sayangnya tercatat hingga 11 Januari 2018, pada Pilkada 2018 yang melibatkan 171 wilayah, keterwakilan perempuan masih minim. Data terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat dari total 1146 calon kepala daerah, hanya 101 calon kepala daerah perempuan yang bersaing. Bandingkan dengan calon laki-laki yang berjumlah 1045 orang. Masih kurang dari kuota 30 persen.

“Letak masalahnya, apakah partai politik peduli bahwa kader perempuan harus memiliki sensitivitas gender dan perspektif gender untuk mengatasi masalah gender? Kan partai belum tentu menganggap isu gender itu penting,” kata Shelly. “Di tengah kehidupan partai yang sangat maskulin, perempuan di dalamnya dalam posisi sulit,”

Inilah mengapa peran perempuan dalam politik harus dipertanyakan. Tidak jarang perempuan hanya menjadi “pemenuh kuota” agar memenuhi standar persentase tokoh perempuan di politik. Bisa jadi juga justru perempuan dijadikan “alat penghias kampanye” atau “objek penarik massa/pemilih, atau malah sebagai “alat pelanggeng” dinasti politik.

“Sekarang nih ada perempuan-perempuan maju [ke pemilihan] terkesan hanya menggantikan suami,” kata Shelly. “Kalau memang calon kepala daerah perempuan hanya menggantikan suami, bagi saya itu masalah.”