FYI.

This story is over 5 years old.

Debat Capres

Berkaca Dari Debat, Aktivis Menilai Masalah Lingkungan Bakal Suram Siapapun Capresnya

Pegiat lingkungan punya setumpuk catatan kritis setelah melihat debat kedua Jokowi vs Prabowo. Kedua kubu tak serius membahas tata niaga sawit, energi terbarukan, sampai fluktuasi harga pangan.
Debat Jokowi Prabowo membahas energi, pangan, dan lingkungan menjelang pilpres 2019
Situasi debat kedua antar capres bertema energi, pangan, dan lingkungan pada Februari 2019. Foto oleh Willy Kurniawan/Reuters

Debat pilpres 2019 putaran dua berakhir kembali antiklimaks. Seperti debat pertama, banyak pernyataan Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang justru membuat publik bertanya-tanya. Bukannya mendapat gambaran konkret apa yang akan dijalankan lima tahun mendatang, sebagian masyarakat bingung, apakah kedua kubu betulan punya visi seputar energi, pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur.

Iklan

Agaknya para capres lupa, tema-tema tersebut di atas adalah satu kesatuan besar yang tidak bisa dijelaskan secara terfragmentasi. Maka ketika capres membahas soal ketahanan pangan, mereka juga seharusnya menjabarkan bagaimana produksi pangan tidak mengganggu lingkungan dan sumber daya energi, serta bagaimana infrastruktur yang tepat sasaran mesti dibangun.

Di sesi pertama Jokowi bilang bahwa misinya adalah untuk mengurangi penggunaan energi fosil dengan mengedepankan pemakaian biodiesel. Ia juga bilang telah membangun infrastruktur pertanian di pedesaan, serta menargetkan untuk menghentikan kebakaran lahan gambut dalam tiga tahun ke depan.

"Kita telah bangun 191 ribu kilometer jalan yang bermanfaat bagi para petani. Sebanyak 58 ribu unit irigasi. Di bidang lingkungan hidup, kita ingin kebakaran hutan dan lahan gambut tidak terjadi lagi dan ini sudah kita atasi. Dalam tiga tahun tidak ada kebakaran hutan dan lahan gambut," kata Jokowi.

Sementara Prabowo lagi-lagi beretorika untuk swasembada pangan dan energi dengan berkata singkat, "Kita harus swasembada pangan, energi, air, agar bisa survive sebagai suatu bangsa," katanya.

September 2018, Jokowi memang menandatangani inpres moratorium pembukaan lahan sawit selama tiga tahun ke depan. Ini problemnya, soal moratorium lahan gambut bukan kali itu saja terjadi. Pemerintahan Jokowi, yang meneruskan program warisan SBY, sudah melakukan moratorium berjilid-jilid sejak 2015, tapi hasilnya tidak bisa diukur jika tak mau dibilang gagal lantaran kurangnya evaluasi. Lembaga lingkungan non-profit Greenpeace mencatat 2.7 juta hektare lahan justru hilang selama pemberlakuan moratorium.

Iklan

Itu baru soal kebakaran lahan, tapi bagaimana dengan ketergantungan terhadap kelapa sawit? Yang diklaim Kementan telah menggunakan 14.03 juta hektare lahan di seluruh Indonesia. Selama ini Indonesia mengandalkan ekspor sawit yang mencapai 34.71 juta ton pada 2018 ke berbagai negara termasuk benua Eropa. Tapi kebijakan larangan impor sawit di Eropa berpeluang untuk menghajar ekspor sawit secara signifikan.

Soal energi terbarukan demi mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, kedua capres setuju bahwa produksi energi fosil, lama-lama bakal habis. Jokowi bersikukuh mengandalkan sawit, yang diolah sebagai biodiesel dan biofuel, demi mengurangi penggunaan energi fosil.

Pemerintah saat ini, kata Jokowi, telah menerapkan program B-20, yaitu mencampur solar dengan 20 persen minyak sawit. Ke depannya, kata Jokowi lagi, program tersebut akan ditingkatkan menjadi B-100. Bahan bakar B-100 ini murni menggunakan minyak nabati dan tak lagi dicampur dengan minyak fosil. Diproyeksikan, program ini dapat menyerap 30 persen dari total produksi kelapa sawit.

"Ini 98 persen artinya B-20 sudah rampung. Kami ini sekarang menuju ke namanya B-100. Plan-nya sangat rinci dan jelas. Kami sedang kerjakan sehingga tidak ketergantungan pada minyak dari impor," kata Jokowi.


Tonton dokumenter VICE menyorot masalah sampah plastik yang sudah sangat serius mencemari Indonesia:


Situasi makin runyam, mengingat sejak 2018 Uni Eropa melarang penggunaan sawit sebagai bahan dasar biodiesel. Dalam "Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources", politisi Uni Eropa berniat membatasi dan akan melarang penggunaan bahan bakar dari makanan dan tanaman yang dianggap sebagai penyebab penggundulan hutan dan kenaikan harga pangan.

Iklan

Indonesia tentu saja mengecam keras ratifikasi tersebut. "Indonesia mengadvokasi pentingnya kelapa sawit sebagai salah satu elemen utama dari kepentingan nasional Indonesia, terutama karena menyangkut kesejahteraan 17 juta warga Indonesia, termasuk petani kecil, yang bergantung secara langsung maupun tidak langsung dari industri kelapa sawit," seperti dikutip dari keterangan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Brussels.

Artinya ada tantangan dalam pasar internasional untuk menggenjot serapan sawit. Namun, naga-naganya, siapapun yang memerintah tidak akan berani membenahi atau merancang peta jalan tata niaga sawit agar tidak melulu ekspansif.

Kedua capres juga tak mengangkat dampak negatif perubahan iklim dan fluktuasi harga pangan, merujuk keterangan Anggalia Putri dari LSM tata kelola lingkungan Yayasan Madani Berkelanjutan. Demi ekspansi tanaman monokultur seperti sawit, para capres lupa betapa di balik tingginya produksi sawit, ada segudang masalah sosial dan lingkungan.

"Kedua kandidat sama-sama menekankan penggunaan sawit sebagai bahan bakar alternatif serta untuk mencapai swasembada energi," ujar Anggalia.

"Namun, kedua kandidat tidak memaparkan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan lingkungan yang timbul akibat praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, di antaranya potensi perusakan hutan alam yang masih baik serta lahan gambut yang kaya akan karbon."

Anggalia lebih lanjut mengatakan kedua capres gagal paham soal definisi energi terbarukan. Energi biofuel, dikhawatirkan, justru memicu penggundulan hutan demi menggenjot produksi, dan akhirnya bakal memicu efek rumah kaca.

Maka, celakalah bagi mereka yang peduli sama topik-topik di debat kedua. Mereka layak pesimis, mengingat peluang perubahan kebijakan lima tahun mendatang sangat minim, siapapun presidennya.