Tak Banyak Pilihan Tersisa Buat Transgender yang Memilih Bertahan di Aceh
Ayu, seorang transgender yang bekerja sebagai perias pengantin di Nangroe Aceh Darussalam. Semua foto oleh Hendri Abik.

FYI.

This story is over 5 years old.

Kesetaraan Gender

Tak Banyak Pilihan Tersisa Buat Transgender yang Memilih Bertahan di Aceh

Kontributor VICE Hendri Abik menemui beberapa transgender yang tetap bertahan di Nangroe Aceh Darussalam, ketika rekan lain kabur. Kami merekam siasat mereka menghadapi tekanan anti-LGBT dari pelbagai pihak.

Pilihan yang paling masuk akal bagi transgender seperti Ayu saat ini adalah pulang ke kampungnya di pedalaman Aceh Besar, mengamankan diri di rumah, lantas bersembunyi di balik cadar. Baginya, bukan perkara besar mengelabui warga sekitar memakai hijab yang menutupi seluruh tubuh. Dia lebih memilih menipu orang lain ketimbang menipu diri sendiri. Ia selalu merasa sebagai perempuan dan hatinya tak bisa menolak itu, meski komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Aceh kini sedang ditekan dari segala penjuru.

Iklan

Ayu tentu saja adalah nama kedua. Aslinya dia bernama Wahyu. Transgender yang sehari-hari bekerja sebagai perias pengantin ini terlahir sebagai lelaki, tapi sejak umur 9 tahun ia merasa di dalam dirinya ia adalah seorang perempuan. Di usia itu ia mendapati dirinya lebih suka dengan make up dan pakaian perempuan ketimbang main bola di lapangan kota. Keluarga semula tak terima dengan perangai Wahyu yang kemayu. Tapi akhirnya, ketika Wahyu berumur 19 tahun, keluarga bisa berkompromi, terutama karena ia sudah punya penghasilan yang bermanfaat bagi keluarga. Kini ia lah yang menanggung sebagian besar biaya hidup ibu beserta empat orang adiknya.

Sudah empat tahun Ayu bekerja sebagai perias pengantin. Selama itu ia tak pernah mengalami masalah menjadi laki-laki kemayu. Namun sejak Minggu 28 Januari lalu, semua berubah. Tak berapa lama setelah razia waria di Aceh Utara, Ayu ikut-ikutan diminta angkat kaki dari Ruko yang ia kontrak sejak 2014. Masyarakat di kawasan Darul Imarah, Desa Ketapang, Aceh Besar tidak mengizinkan Ayu untuk melanjutkan usaha salon yang ia jalankan sebab ia seorang waria. Ayu sudah menyangka cepat atau lambat ia akan turut terkena imbas penertiban LGBT yang sejak akhir Januari marak terjadi di tanah Nangroe Aceh Darussalam.

Mulanya, enam salon di Aceh Utara ditutup paksa pada Sabtu 28 Januari lalu. Bersamaan dengan itu, 12 transgender diamankan untuk seterusnya dibina. Selang dua hari kemudian di Ketapang, Aceh Besar, empat salon, termasuk milik Ayu digerebek dan ditutup paksa. Kedua lokasi itu sebenarnya jauh satu sama lain. Ada rentang jarak 132 kilometer antara Aceh Utara dengan Aceh Besar dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Ayu mengatakan, kalau mampu ia sebenarnya ingin melawan. Namun karena kalah banyak, apa boleh buat, ia terpaksa diam dan kabur.

Iklan

Ayu dan pengantin perempuan yang ia rias

“Sekarang Ayu hidup seperti dalam konflik. Harus was-was,” katanya saat diwawancara VICE di sebuah warung kopi di Aceh Besar. “Ayu kalau di kampung gunakan baju hijab, karena kalau nampak muka pasti ketahuan Ayu seorang waria. Hanya keluarga yang tahu siapa Ayu, tapi lainnya tidak. Begitulah biar hidup damai tanpa diusik,” katanya.

Sebenarnya Ayu bisa-bisa saja memaksa diri tetap buka salon atau cari pelanggan lewat media sosial. Tapi mengingat kondisi sedang panas, ia tak mau ambil risiko. “Kalau ketahuan, Ayu ditangkap, dipotong rambutnya. Tidak mau Ayu, amit-amit deuh. Ya sudah terima saja kenyataan pahit ini,” ungkapnya. Wacana razia pada kaum LGBT di Aceh mulai marak dibicarakan sejak akhir Januari lalu. Isu terus menggelinding sejak peristiwa razia dan penangkapan yang dialami 12 transgender di Aceh Utara. Sejak itu, razia-razia serupa menjalar ke daerah lain. Hiruk-pikuk yang terjadi di Aceh juga tak lepas dari sentimen anti-LGBT yang datang seiring pembahasan Rancangan KUHP di tingkat nasional. Peristiwa di Aceh Utara semakin heboh dibicarakan karena Kapolres AKBP Untung Sangaji mencukur paksa rambut semua waria yang ditangkap. Aksi ini menuai kecaman dari kalangan aktivis HAM di luar Aceh. Mereka menyebut apa yang dilakukan Untung tak sejalan dengan nilai-nilai hak asasi. Beda aktivis HAM, beda pula warga Aceh. Melihat AKBP Untung ditekan sana-sini, sebagian warga Aceh yang tergabung dalam ratusan Ormas Islam kemudian menggalang aksi Anti LGBT sebagai bentuk dukungan pada Untung. Aksi itu dihadiri pula oleh Gubernur Aceh Irwandy Yusuf yang berorasi mengapresiasi aksi Untung dan menentang keberadaan LGBT di Aceh. Sejak itu, isu LGBT terus menggelinding, memberi tekanan semakin nyata pada kaum LGBT di tanah serambi Makkah.

Iklan

Tentu saja mereka yang nyata-nyatanya transgender jadi cemas. Banyak juga teman-teman Ayu yang memilih sementara bersembunyi. Ada yang hijrah Ke Medan, Jambi, Lampung, hingga Jakarta. Di pusat Ibu Kota Aceh -seperti halnya di kawasan Penayong, Banda Aceh, yang merupakan kawasan kaya keragaman dan cenderung bebas- semula terdapat banyak salon kini mulai hilang. Tinggal 10 salon yang masih menjalani aktivas seperti biasanya.

Tak semua transgender Aceh berani mempertahankan identitasnya seperti Ayu. Banyak juga yang rela berkompromi dengan situasi yang ada. Kami berkendara 5 kilometer dari rumah Ayu ke Kuta Raja, Banda Aceh untuk menemui Abdul Rahim Supriadi, 42 tahun. Ia adalah waria yang memilih bekerja di salon. Bedanya, ia kini berpenampilan layaknya laki-laki pada umumnya. Ia mengaku tak bisa menanggung kerugian jika salonnya ditutup. “Nanti bayar sewa ruko seperti apa, serta pendapatan saya sehari-hari dapatkan dari mana?” kata Rahim yang lebih akrab dipanggil Ichan ini.

Sekeras-kerasnya aturan dan tekanan bagi waria di Aceh, dalam hati, Ichan merasa ia tetaplah seorang perempuan. “Saya tampil seperti laki-laki hanya karena tuntutan,” Ichan menuturkan.

Ichan (baju biru) memotong rambut pelanggan di salonnya

Hemi, waria lain asal Meulaboh, yang salonnya tak jauh dari tempat Ichan, ikut mengambil jalan kompromi serupa. Ia mengubah penampilan jadi seutuhnya laki-laki, semata-mata agar usaha salon yang lakoni tetap bisa buka. Sulit baginya membayangkan ia harus pindah profesi karena menjadi penata rambut adalah keahlian utamanya. Untuk urusan hati, Hemi tetaplah Hemi. Saat ini dirinya tetap merasa transgender dan perangainya pun tetap kemayu. Walaupun dilarang oleh aparat, apa yang dia yakini tak akan bisa diubah.

Iklan

“Untuk penampilan bisa, tapi tidak lainnya. Saya berpenampilan seperti ini, supaya bisa jalani usaha, bahkan supaya tidak ditangkap, karena selama ini saya belum pernah ditangkap. Mudah-mudahan jangan lah,” kata Hemi ketika kami temui di salon tempat ia bekerja.

Civi membiarkan rambutnya panjang

Aparat dan pemerintah, khususnya di Aceh, senantiasa berpikir kalau program-program pembinaan yang mereka terapkan bisa mengubah identitas seksual orang. Mengubah penampilan sih memang perkara gampang. Tapi soal gender dan kata hati, sulit diusik. Saat ditemui VICE, penata rambut bernama Susanto menceritakan pengalamannya tiga tahun lalu, ketika ditangkap polisi syariat karena kedapatan jalan di malam hari mengenakan pakaian perempuan. Di Aceh, perempuan tak boleh keluar pada malam hari.

bermalam di sel kantor polisi syariat usai ditangkap

Pada malam itu juga, Susanto yang biasa dipanggil Civi, dibawa ke kantor polisi Syariat di Banda Aceh. Ia tidur di dalam sel. Keesokan harinya, ia dibina, diberi penataran tentang akidah, akhlak, diceramahi tentang agama, lalu setelah datang seorang kerabat yang bersedia menjadi penjamin, Civi diperkenankan pulang. Pengalamannya ditangkap polisi syariat memang berkesan, tapi tak mengubah Civi sedikitpun. Hingga kini ia mengatakan belum ingin berubah. “Ini hidup saya, 80 persen masih ingin seperti ini, 20 persen akan berubah bila nantinya terjadi, entah kapan,” katanya.

Warwan, rambutnya dipotong oleh polisi syariat

Begitu pula Warwan (30), transperempuan yang tinggal di Kuta Alam. Waria sering dipanggil Shella ini dirinya tak tergerak untuk berubah meski ikut tergulung polisi syariat awal Februari lalu. Ia ditangkap pada dini hari pada Jumat 2 Februari. Keesokan hari, rambutnya dipotong paksa. Sepulangnya dari kantor polisi, ia tetaplah Shella seperti yang dikenal orang-orang. Dia tidak mau berubah. “Karena dari kecil saya seperti ini, masak berubah, kalau ditangkap dan potong rambut ini sudah jadi hal biasa, karena saya melanggar, saya terima," ujarnya. "Tapi jangan harap saya berubah."