chernobyl

Alasan Kenapa Ratusan Ribu Perempuan Melakukan Aborsi Usai Bencana Nuklir Chernobyl

Misinformasi, “radiofobia,” dan ketakutan akan cacat lahir mendorong ratusan ribu perempuan memilih aborsi usai tragedi nuklir Chernobyl.
Screen Shot 2019-06-03 at 10
Image: HBO

Artikel ini mengandung spoiler serial 'Chernobyl.'

Sekelompok ibu menatap bayi mereka yang baru lahir. Lalu kameranya beralih ke boks bayi kosong.

Di sebelahnya, di balik tirai, tampak seorang ibu tengah berduka. Suaminya baru saja meninggal karena keracunan radiasi. Suaminya adalah salah seorang penanggap bencana pertama ketika reaktor nuklir Chernobyl meledak. Sebelum meninggal, ia memilih nama Natashenka untuk bayinya.

Iklan

Beberapa bulan kemudian, Natashenka lahir. Dia hidup selama empat jam, lalu meninggal karena penyakit jantung kongenital dan sirosis. Sebabnya adalah radiasi nuklir karena sang ibu terpapar ketika mengunjungi suaminya di rumah sakit.

Adegan ini didasarkan pada kisah nyata Lyudmilla Ignatenko, yang kehilangan suami dan putrinya karena tragedi nuklir Chernobyl. Cerita ini merupakan satu naratif yang didalami serial Chernobyl HBO, yang menceritakan berbagai kisah tragedi pribadi pasca ledakan reaktor nuklir pada 26 April 1986.

"Sang ibu yang seharusnya terbunuh, tetapi radiasi diserap bayinya," ujar Ulana Khomyuk, tokoh serial Chernobyl. "Di negara kami, anak-anak meninggal demi menyelamatkan ibu mereka."

Pengalaman Lyudmilla merupakan contoh pengorbanan orang yang terpapar radiasi nuklir Chernobyl. Beruntung, sebagian besar perempuan hamil–termasuk yang tinggal dekat situs ledakan–tidak terpapar radiasi sebanyak suami Lyudmilla, Vasily, yang berada dekat reaktor tak lama setelah terjadi ledakan.

Berbagai studi jangka panjang mengungkap bayi terpapar radiasi Chernobyl dalam rahim lebih cenderung menderita kanker tiroid ketika sudah dewasa. Namun, belum ada bukti bahwa cacat lahir lebih banyak dialami bayi yang dilahirkan ibu yang sempat berada di dekat situs kejadian, menurut WHO.

“Kami diberi kesempatan mengamati semua anak-anak yang lahir dekat Chernobyl,” kata Robert Gale, dokter dari UCLA yang mengkoordinasi operasi penyelamatan medis di situs bencana, kepada New York Times pada Februari 1987. “Tak heran, tak ada satu pun dari mereka, setidaknya ketika lahir, yang menderita abnormalitas. Kami tidak mengharapkan akan terjadi abnormalitas. Itu kabar baik.”

Iklan

Seperti yang terjadi dalam serial HBO, misinformasi dan "radiofobia" cepat tersebar usai kejadian Chernobyl. Banyak orang, termasuk para dokter, merasa tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan pihak berwajib mengenai jangkauan radiasi. Lantaran hal tersebut puluhan ribuan perempuan memutuskan melakukan aborsi, dengan atau tanpa saran dokter.

"Menurut Agensi Energi Atom Internasional, diperkirakan 100,000-200,000 perempuan menjalankan aborsi di Eropa Barat karena dokter salah menyarankan bahwa radiasi Chernobyl punya risiko kesehatan bagi bayi yang masih dalam rahim,” bunyi sebuah artikel yang terbit di Jurnal Kedokteran Nuklir pada Juni 1987.

Angka tersebut tercermin dari data angka kelahiran dari 1986 hingga 1987. Di Ukraina Soviet, ribuan perempuan meminta aborsi sebulan setelah terjadi bencana nuklir. Bahkan di negara-negara lebih jauh, seperti Hungaria, Yunani, Denmark, dan Italia, terjadi lonjakan jumlah aborsi terkait kejadian Chernobyl, yang menyebabkan penurunan angka kelahiran pada tahun berikutnya. Sementara itu, tidak terjadi lonjakan aborsi setelah bencana nuklir Fukushima di Jepang pada 2011.

"Bagi saya yang paling mengerikan adalah ketika perempuan hamil menyerbu kami karena ingin bayinya diaborsi,” kata ahli genetika asal Hungaria, Imre Feiffer pada Juni 1986, dikutip LA Times.

Tentunya, ada juga perempuan yang memutuskan mengakhiri kehamilan mereka karena alasan selain radiofobia dan kecemasan mengenai abnormalitas dalam rahim.

Aspek kesehatan mental bencana Chernobyl dianggap sebuah studi dari 2007 sebagai “masalah kesehatan publik terbesar yang disebabkan kejadian ini.” Studi ini menemukan bahwa populasi terpapar radiasi Chernobyl empat kali lebih cenderung menderita stres, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma, dan gejala-gejala ini bertahan selama puluhan tahun.

Serial Chernobyl HBO merekam suasana menyedihkan ini, yang menembus ke kehidupan warga sekitar seperti partikel radioaktif menembus ke tubuh mereka. Banyak orang secara psikologis belum siap untuk berkeluarga.

Saat memikirkan Chernobyl, kita cenderung berfokus pada tragedi itu sendiri, serta situs kejadian yang menjadi semacam monumen peringatan 30 tahun kemudian. Tetapi dari perspektif perempuan di seantero Uni Soviet dan Eropa, konsekuensi tragedi ini ternyata punya dimensi yang rumit sekaligus intim yang terjadi di tempat awam: rumah sakit, dapur, dan taman bermain. Lonjakan aborsi usai bencana membuktikan pengorbanan manusia yang luar biasa yang bahkan mustahil bisa ditangkap sepenuhnya oleh sebuah serial film terbaik sekalipun.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.