FYI.

This story is over 5 years old.

Serangan Masjid London

Teror Masjid London Terjadi Akibat Media Terus Memuat Propaganda Anti-Islam

Insiden mobil menabrak rombongan jamaah salat subuh ini bukti nyata dampak buruk cara media massa sayap kanan Inggris mencitrakan komunitas muslim 9 tahun terakhir.
Warga menggelar salat berjamaah di luar Masjid Finsbury Park. Foto: Yui Mok/PA Wire/PA Images

Hal paling meresahkan dari serangan teror di Masjid Jami Finsbury Park Senin (19/6) pagi waktu setempat—saat seorang lelaki menabrakan sebuah van pada sekelompok jamaah salat subuh yang baru saja pulang dari masjid menewaskan satu orang dan melukai 10 lainnya—adalah fakta serangan semacam itu pasti akan dialami umat muslim Inggris. Serangan teror macam ini tak terhindarkan.

Masjid-masjid di seluruh penjuru inggris menjadi sasaran ancaman tindakan kekerasan beberapa tahun terakhir. Menurut grup pengawas anti kebencian Tell Mama, lebih dari 110 masjid di Britania Raya melaporkan serangan berbasis kebencian sejak 2012. Beberapa di antaranya menggunakan alat peledak. Meski demikian, angka pasti masjid yang telah jadi korban penyerangan bisa lebih tinggi dari data ini, karena banyak kasus penyerangan tak dilaporkan oleh takmir.

Iklan

Di saat yang sama, umat Muslim seantero Inggris makin khawatir dengan keselamatan diri mereka, seiring terus maraknya insiden kebencian bernada islamofobia, terutama yang menimpa perempuan muslim. Kebencian terhadap pemeluk Islam ini sudah mencapai tahap mengkhawatirkan, sampai-sampai Muslim Association of Britain, menyerukan pentingnya keberadaan aparat pengaman di masjid.

Seperti apa yang mungkin bakal dikatakan oleh banyak muslim di Inggris, serangan Finsbury Park—seperti serangan-serangan anti muslim sebelum—tak datang muncu tiba-tiba. Pelaku serangan mobil kemarin, Darren Osborne dari Cardiff, tidak tiba-tiba membenci warga muslim di Inggris.

Ada konteks yang melatarbelakanginya. Bertahun-tahun lamanya, tajuk surat kabar bernada antimuslim menghiasi tabloid dan surat kabar di Inggris. Tak urung, tren itu memicu proses dehumanisasi habis-habisan terhadap kelompok muslim di Negeri Ratu Elizabeth. Sampai-sampai para pemeluk Islam dianggap sebagai sekumpulan teroris, binatang, benalu jaminan sosial; atau kombanisasi ketiganya. Media kanan ekstrem semacam Breibart dan Rebel Media melangkah lebih jauh, menuduh muslim yang tinggal di Inggris sebagai sekelompok orang asing yang perlahan-lahan ingin menerapkan hukum Syariah di London atau kota-kota lain. Lalu, ketika "agenda muslim" itu tercapai, saya dan orang-orang muslim lainnya dituduh bakal memaksa perempuan Inggris mengenakan burga.

Iklan

Menyusul teror yang terjadi di London Bridge awal bulan ini, Tommy Robinson—mantan pemimpin English Defence League yang banting stir jadi pengamat YouTube—mendesak pembentukan kamp penyekapan bagi anggota kelompok Muslim yang diduga punya kaitan dengan terorisme, sembari menambahkan "Jika hal ini tak ditangani dengan benar, masyarakat Inggris akan mengambil alih kendali dan membereskannya sendiri" dalam sebuah video yang ditonton oleh puluhan ribu orang di Rebel TV.

Polisi berjaga di dekat Masjid Finsbury Park. Foto oleh: Henry Langston

Dalam lingkaran tokoh sayap kanan media "yang disegani", beberapa penulis, termasuk kolomnis The Telegraph Alison Pearson dan Julia Hartley-Brewer dari Talk Radio, menyerang pemeluk Islam dalam istilah yang lebih abstrak lagi. Warga kulit putih disarankan segera melakukan "sesuatu" kepada kami warga negara Inggris taat yang beragama Islam. Seruan tak jelas maksudnya ini dilontarkan tak lama sesudah serangan teror di London Bridge dan penyerangan bom konser Ariana Grande yang didalangi ISIS terjadi.

Sekarang, ketika warga muslim yang jadi korban aksi teror, tak ada ada tuntutan kepada warga kulit putih Islamofobik. Sejak awal, para penulis anti-Islam tak menjelasakan tentang apa yang harus dilakukan muslim moderat. Kami harus ngapain? Pindah agama baru mereka puas dan tak perlu lagi mencari kambing hitam? Sentimen samar seperti ini—bahwa harus ada sesuatu yang harus diperbuat terhadap komunitas Muslim di Inggris—terlanjur dimiliki oleh ribuan orang di negara tempat kelahiran saya. Jadi, sangat mungkin karena rutin membaca judul berita yang mendiskreditkan muslim, beberapa orang radikal menganggapnya serius dan memutuskan membalas aksi teror ISIS dengan cara brutal mengorbankan warga Inggris beragama Islam yang cinta damai dan tak pernah setuju pada terorisme. Persis itulah yang terjadi pada jamaah salat subuh Masjid Jami Finsbury Park.

Masjid-masjid seperti Finsbury Park—salah satu masjid paling kesohor di Inggris dan saya beberapa kali Salat Jumat di sana—sebenarnya berdiri berkat dukungan komunitas sekitarnya. Para pengurus masjid rutin menyediakan bantuan, makanan dan layanan gratis bagi anggota masyarakat sekitar. Tanpa keterlibatan pada komunitas, mustahil masjid ini bisa bertahan lama.

Awal dekade 2000-an, masjid ini pernah jadi bulan-bulanan pemberitaan negatif tabloid di Inggris ketika Abu Hamzah, seorang ulama radikal, menjadi iman di Finsbury Park. Pada 2003, Abu Hamzah dipecat dari posisinya. Masjid ini kembali dibuka untuk umum dan beberapa kali memenangkan anugerah lantaran andilnya dalam menekan perkembangan ekstremisme. Malah, seminggu sebelum terjadi serangan van, masjid Finsbury Park ikut membantu mendistribusikan bantuan bagi warga yang tinggal Grenfell Tower yang baru saja mengalami tragedi kebakaran. Semua ini dilakukan tanpa bantuan pemerintah Inggris dan sumber daya terbatas. Ketika kini masjid mengalami terorisme, media-media Inggris menyorotinya tanpa kepedulian besar seperti ketika ISIS melakukan serangan. Media sekadar mendeskripsikan si penyerang jamaah salat subuh sebagai seorang laki-laki "dengan muka yang klimis". Deskripsi "penuh hormat" macam itu mustahil diberikan pada tersangka terorisme berkulit hitam atau coklat yang kebetulan beragama Islam. Meski pemerintah Inggris telah menyatakan insiden ini sebagai serangan teror, beberapa tabloid di Inggris masih sungkan menggunakan kata "terorisme" atau menampilkan judul berita standar bahwa masyarakat "sedang diserang."

Kita harus mengakui insiden yang terjadi di Finsbury Park bukan suatu yang luar biasa dan kemungkinan besar akan terulang kembali. Bagi mereka yang terbiasa menghadapi kebencian anti-Islam, insiden tersebut merupakan manifestasi terburuk dari sebuah pola yang sudah dipahami sejak lama. Sebagai warga Inggris beragama Islam, saya paham sekali bagaimana media akan menampilkan berita Finsbury Park. Tragisnya, walau kami tahu insiden serangan teror terhadap umat muslim bakal terjadi lagi, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya.

Follow penulis artikel ini di akun @HKesvani