Sehari Bersama Para Bandit Bersenjata Madagaskar
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Fotografi

Sehari Bersama Para Bandit Bersenjata Madagaskar

Fotografer James Patrick menghabiskan sehari penuh memotret aktivitas masalo, sebutan geng kriminal pencuri ternak. Mereka tak segan memakai kekerasan demi mendapat yang diinginkan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK

Di lanskap alam Madagaskar yang begitu luas tapi seringkali tak tersambung aspal, para bandit menjadi penguasanya. Mereka tak segan membunuh atau melakukan kekerasan demi mendapat ternak yang diinginkan.

Berbekal senapan berburu ataupun senapan AK-47, penjahat terorganisir ini menyasar kawanan ternak zebu, hewan keluarga kerbau yang menjadi penanda kekayaan seseorang di Madagaskar. Frekuensi dan kekerasan ulah para bandit ternak meningkat beberapa tahun terakhir. Saat jumlah ternak menurun akibat maraknya pencurian, ikut bertambah murah pula harga sebuah nyawa. Para bandit ternak begitu ditakuti di seluruh wilayah Madagaskar. Itu sebabnya saya ingin tahu benarkah kiprah bandit ini benar-benar seburuk reputasinya.

Iklan

Bagi penduduk asli Madagaskar yang masih menjalankan laku nomaden, kehidupan mereka berpusat pada ternak. Sabana adalah rumah bagi mereka. Karenanya musuh besar suku nomaden adalah gerombolan bandit. Pencurian zebu dalam skala kecil bukanlah fenomena baru bagi Madagaskar. Namun akibat puluhan tahun kemiskinan serta ketimpangan ekonomi yang tak kunjung berhasil dientaskan, diperparah mudahnya memperoleh senjata api—plus fakta permintaan daging sapi meningkat di seluruh dunia—maka lahirlah generasi baru pencuri ternak profesional. Warga setempat menamai rombongan bandit itu malaso.

Anggota malaso mendirikan benteng-benteng di dataran wilayah selatan dan barat Madagaskar. Kekuasaan mereka mencakup area seluas Inggris. Malaso tersusun oleh banyak geng. Rata-rata beraksi dengan berjalan kaki. Gerombolan maling ternak ini menyasar kota kecil atau desa-desa terpencil, sebelum menghilang ke padang belantara membawa ternak curian. Belum ada infrastruktur aparat keamanan ataupun militer yang sanggup menghalangi aksi Malaso. Gendarmerie, sebutan bagi tentara di Madagaskar, sejak lama dikenal kekurangan sumber daya. Dampaknya, warga juga main hakim sendiri demi melawan Malaso. Penduduk sering menyewa atau sekalian mendirikan milisi. Angkat senjata sendiri merupakan satu-satunya garis pertahanan paling masuk akal bagi kebanyakan komunitas gembala.

Perlu kalian tahu, Madagaskar bukan negara yang pas jika ingin bicara idealisme soal tertib hukum dan tetek bengeknya. Nyaris sepertiga wilayah dari negara yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia itu masuk dalam "zona merah" merujuk kesepakatan berbagai negara maupun PBB. Bagi jutaan orang yang tinggal di daerah terpencil itu, hidup sehari-hari sudah sewajarnya dipenuhi kemungkinan jadi korban tindak kejahatan.

Iklan

Selama dua tahun belakangan, saya mendapat pekerjaan sebagai fotografer di sebuah kota besar kawasan selatan Madagaskar. Saya terbiasa melihat polisi dan tentara melakukan operasi gabungan menggerebek ternak diduga curian. Saya berulang kali melihat aparat terlambat datang, hanya tersisa bangkai binatang sudah tercerai berai. Dengan mata kepala sendiri, saya melihat jasad peternak tergeletak bersimbah darah, dihabisi kawanan perampok. Pernah pula saya mendengar kisah warga setempat soal bandit paling tak terkalahkan yang lebih mirip dongeng, karena dia gesit menghindari kejaran aparat. Selama tinggal di negara ini, saya melihat langsung betapa merusaknya aktivitas pencurian ternak. Hanya satu barangkali yang kurang: walau bandit ternak adalah masalah sosial terbesar Madagaskar, saya justru tidak pernah bertemu pelakunya.

Ketika muncul kesempatan masuk 'zona merah' Madagaskar, saya tak menyia-nyiakannya untuk melacak jejak para bandit ternak. Di perjalanan, saya berjumpa penggembala sedang membawa zebu-zebunya menuju arah berlawanan. Tatapan matanya heran pada saya. Dia mungkin saja berpikir, "ini orang ngapain malah mendatangi pusat masalah?"

Tak berapa lama, saya mendapat teman seperjalanan baru. Dia juga penggembala ternak. Kami sama-sama menuju pasar ternak di Lhosy. Dia hendak menjual hewan peliharaannya, zebu-zebu gemuk yang berharga mahal. Jangan salah, orang Madagaskar sebenarnya tak terlalu suka menjual zebu kecuali kepepet. Punya Zebu dalam budaya setempat dianggap sebagai prestise, bahkan sebisa mungkin untuk warisan anak atau cucu. Penggembala yang saya temui pagi itu termasuk yang sedang kepepet. Dia butuh dana segar, untuk menyewa jasa milisi bersenjata melindungi kampungnya dari orang yang ingin sekali saya temui—pengincar ternak-ternak sekitar rumahnya.

Iklan

Lewat koneksi yang saya punya, akhirnya terjalin kontak dengan pesuruh Malaso. Saya mendapat kesempatan bertemu sebentar dengan salah satu pemimpinnya di lokasi terpencil. Saya tidak mendapat izin masuk ke kawasan benteng Malaso. Mereka awalnya juga enggan mengizinkan saya memotret, serta mengikuti sebagian aktivitas anggota.

Tampang si pemimpin Malaso seperti ketua geng dari setting film post-apocalyptic. Macam karakter film Mad Max gitulah. Itu kesan pertama yang saya tangkap setelah bertemu dengannya di lokasi perjanjian. Si pemimpin membawa nyaris selusin bandit lain saat bertemu saya. Dia bisa berbicara Bahasa Inggris, namun sangat beraksen, bahkan dalam beberapa kata sedikit cadel. Dia tidak sudi memandang saya selama wawancara. Sementara saya sungguh-sungguh membujuknya, menjelaskan pentingnya Malaso bersedia diekspose media, supaya kami bisa menampilkan sisi lain (kalau ada) dari sebuah narasi besar yang selama ini rutin menganggap Malaso sebagai gerombolan kriminal brutal.

Setelah menenggak beberapa gelas minuman keras, karunia rum sepertinya melunakkan hati si pemimpin Malaso. Saya diberi izin menemani perjalanan darat geng ini ke salah satu benteng di tengah padang belantara. Tanpa jalan aspal, malaso menjelajahi sabana berbekal insting, pengetahuan lokal, serta ketangguhan kaki yang terbiasa menempuh jarak ratusan kilometer tiap hari. Mereka tidak pernah merasa takut digerebek aparat. Musababnya, mereka sedang berada di atas tanah kelahiran. Malaso tidak perlu peta, mereka hafal luar dalam setiap jengkal sabana. Selain itu, kepercayaan diri anggota Malaso bersumber dari faktor lain: semua anggota menyandang senjata api di bahu. Bayangkan, tiap bandit membawa tas dan memanggul AK-47, tapi kecepatan jalan tiap personel Malaso melahap sabana bagai pemburu suku bushmen. Saya terengah-engah mengikuti gaya jalan mereka.

Iklan

Setibanya di "benteng" Malaso, jujur saya kecewa. Markas para bandit ini bukanlah benteng batuan, melainkan lebih mirip bumi perkemahan, atau mungkin pas menjuukinya tanah lapang dipakai rehat dan tidur. Kemah para bandit didirikan alakadarnya, bahkan acak-acakan, terjejer di bawah pohon. Walau cuma begitu, saya baru sadar kalau bumi perkemahan ini disebut 'benteng' bukan karena bentuknya. Ada semacam masyarakat tersendiri hidup di benteng. Termasuk anak ataupun istri personel Malaso. Di sela kesibukan mengembat ternak, di sinilah anggota Malaso beraktivitas sehari-hari. Ada istri, pacar, atau anak-anak mereka tinggal di tenda terpisah. Api selalu sudah menyala jauh sebelum matahari terbit. Kadang, anggota Malaso berburu sesudah subuh atau mencari makan di sabana. Ketika matahari sudah tepat di ubun-ubun, baru mereka pulang ke bumi perkemahan.

Dari siang menuju sore, bandit ternak Madagaskar itu mayoritas hanya bermalas-malasan. Walau begitu, kewaspadaan anggota Malaso teruji. Tidurpun setiap anggota memeluk senapan masing-masing. Ramai dan warna-warni betul jenis manusia datang ke benteng Malaso. Di ruang dalam markas mereka, terlihat pemandangan absurd berikut: ada sepasang kekasih saling bikin tato pakai asam baterai. Sesudah malam tiba, semua penghuni makan bersama. Jika kamu tamu lelaki, seperti saya, maka anggota Malaso akan memaksamu minum vodka oplosan murah, lalu diantar menjajal menembak cabang pohon acak-acakan.

Iklan

Posisi pemimpin kelompok Malaso tidak pernah aman. Akibatnya mereka jadi paranoid. Banyak pemimpin Malaso sebelumnya dihabisi pembunuh atau mengalami pemberontakan internal. Makanya si pemimpin yang sayan temui tampak mengatur ketertiban di bumi perkemahan itu melalui disiplin ketat bagi para anggota, menangani masalah sosial memakai tangan besi. Ketidaksetiaan berarti eksekusi, atau minimal hukuman berat. Contohnya remaja di foto atas. Dia sedang dikucilkan dari kawanannya. Semua hanya gara-gara ucapan yang dianggap membangkang pimpinan. Bandit muda ini dipermalukan karena pelanggaran kecil, lalu senjatanya disita. Jika penggembala mendewakan ternak, Malaso menganggap senapan sebagai belahan jiwanya—atau malah kehormatan dirinya.

Benteng Malaso selalu berpindah. Sempat terjadi serangan aparat tahun lalu. Untuk kabur dari kejaran aparat Madagaskar, salah satu anggota menembak membabi buta, menghabiskan seluruh amunisinya. Terlalu royal memakai senjata mendatangkan masalah tersendiri bagi Malaso. Bandit-bandit ini tinggal di tengah sabana. Membeli peluru bukan perkara gampang. Amunisi pun harus ditebus dengan harga mahal di Madagaskar. Solusi satu-satunya adalah daur ulang. Peluru atau magazin senapan yang sudah apkiran dipaksa bisa berfungsi kembali. Tak ada peluru, maka cara inipun jadi: campur timbal dari baterai mobil tua, beri sedikit bubuk mesiu dari potasium nitrat hitam, tambahkan arang dan tahi zebu kering. Jadilah peluru baru untuk ditembakkan.

Iklan

Di luar lingkaran kekerasan dan aktivitas kriminal tersebut, kehidupan di benteng Malaso sebetulnya relatif "normal". Setidaknya sesuai yang saya lihat seharian itu. Yang paling tidak normal adalah ini: anak-anak bandit seringkali terlihat keluyuran membawa sekop—alih-alih senapan—saat iseng mencari makan. Sekop adalah tahap pertama pembuktian diri. Jika kau terampil memakai sekop untuk bertahan hidup di sabana luas, maka kau membuktikan layak diberi pistol. Baru nantinya setelah cukup umur, bocah itu diajak mengikuti ayah atau saudara laki-laki mereka merampok ternak.

Di foto atas, saya menyempatkan berpose bareng beberapa anggota malaso sebelum mereka memulai perampokan ternak, pada malam harinya. Peternakan sasaran mereka saat itu adalah lokasi yang perlu ditempuh perjalanan tiga hari tiga malam ke sisi utara. Jalurnya melewati medan sulit. Jika perampokan berhasil, perjalanan pulang bisa ditempuh lebih cepat menaiki kawanan zebu tadi. Saya meminta mereka mengizinkan ikut pelaksanaan operasi perampokan. Sayang, jawaban si pemimpin adalah, "tidak." Dia tidak membuka ruang diskusi. Saya tahu diri dan tidak memaksakan kehendak.

Perasaan saya campur aduk ketika sebagian rombongan perampok berangkat mencuri ternak. Saya sadar sepenuhnya kalau mereka kriminal. Tapi, sebagian hati kecil bilang mereka hanya berusaha bertahan hidup di tanah keras ini. Bahkan, saya sempat berharap mereka berhasil dalam operasi tersebut. Namun, kalau mereka berhasil, saya sama saja mengharapkan terjadi kekerasan, atau yang lebih buruk adalah risiko pembunuhan peternak tak berdosa. Pertemuan macam ini memang bisa melenakan. Hanya karena nongkrong sehari bersama para bandit, betapa cepat perspektif saya berubah soal Malaso. Orang-orang ini layak dijuluki sebagai penjahat, pembunuh, pencuri. Di sisi lain, saya tak bisa memungkiri kalau mereka adalah manusia oportunis. Mereka nekat mencari peruntungan di tanah yang sejak lama diabaikan dunia.

Follow James Patrick dan petualangannya di Afrika lewat akun Instagram @shotbyjamespatrick