The VICE Guide to Right Now

Cuti Melahirkan dan Resign Itu Hak Pekerja yang Tak Perlu Lagi Didebat

Sudah 2021, tapi masih ada aja opini menyudutkan pekerja perempuan yang cuti atau resign. Kami lantas ngobrol sama pekerja perempuan soal polemik cuti melahirkan di medsos.
polemik karyawan perempuan resign usai cuti melahirkan ramai dibahas di Twitter Indonesia
Ilustrasi perempuan pekerja yang hamil. Foto oleh Roslan Rahman/AFP

*Artikel ini disunting ulang redaksi VICE Indonesia pada 24 Februari 2021, pukul 16.18 WIB, untuk memuat hak jawab pemilik akun Twitter @catuaries yang gagasannya mematik polemik mengenai cuti melahirkan dan hak resign bagi pekerja perempuan. Selain penambahan hak jawab, tidak ada substansi lain yang diubah dari artikel ini.


Diskusi soal cuti melahirkan berbayar bagi pekerja perempuan mengemuka, awalnya dari opini akun Twitter @catuaries. Dalam cuitannya, doi mengeluhkan kasus pekerja perempuan yang memutuskan berhenti bekerja setelah mengambil cuti melahirkan. 

Iklan

Dikesankan licik karena nyari keuntungan dengan ngambil “gaji buta” tiga bulan dulu baru cabut dari kerjaan, si pemilik utas menyebut keputusan semacam ini bisa berdampak buruk bagi masa depan pekerja perempuan lain. Contoh risikonya, cuti melahirkan bisa dihapus perusahaan atau kantor bakal mikir-mikir buat ngerekrut pekerja perempuan lagi.

Utas kontroversial ini mendapat respons protes sekaligus dukungan. Sebagian komentar yang muncul dari akun lain menyudutkan pekerja perempuan yang sekadar mengambil haknya sebagai “kaum oportunis”. Ramai dan jadi bola liar, tidak butuh waktu lama melihat kecaman mengarah kepada cuitan insensitif tersebut.

Cuti melahirkan berbayar atau paid maternity leave diatur lewat UU nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, tepatnya di Pasal 82. Pada ayat 1, ditegaskan bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. UU ini juga mengatur pekerja yang keguguran berhak atas cuti selama 1,5 bulan. 

Selama cuti, pekerja perempuan harus tetap digaji perusahaan, termasuk dipenuhi tunjangan dan jenis pendapatan lainnya. Perusahaan yang enggak memberikan hak tersebut akan diancam pidana penjara minimal satu tahun dan paling lama empat tahun, dengan denda maksimal Rp400 juta. 

Iklan

Terkait disahkannya omnibus law UU Cipta Kerja, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan aturan cuti melahirkan berbayar tidak berubah. “Ketentuan ada di UU 13/2003. Cuti hamil, cuti haid, cuti menikahkan, cuti menikah, kami tidak hapuskan itu,” kata Ida dilansir Kompas.

Mencoba mendapatkan gambaran fakta di lapangan, VICE bertanya kepada pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Oki Wiratama terkait pengalamannya menangani kasus polemik cuti melahirkan berbayar. Kebetulan pula, Oki saat ini baru saja melahirkan dan mendapat cuti tersebut.

“Menurut saya, cuitan itu berangkat dari pandangan misoginis terhadap perempuan. Hal ini bahaya jika diamini oleh kaum perempuan lainnya,” kata Oki kepada VICE. “Untuk menjawab pertanyaan [penerapan cuti hamil di Indonesia] ini, perlu didukung dengan data ya. Tapi, pengalaman saya menangani kasus, masih banyak perusahaan yang tidak memberikan cuti hamil tiga bulan. Bahkan, ada yang kasih cuti hamil hanya dua minggu. Ada juga perempuan yang disuruh mengundurkan diri sebelum melahirkan, untuk menghindari kewajiban perusahaan memberi paid maternity leave.”

Audian Laili, pekerja media di Yogyakarta yang tahun lalu mendapat cuti melahirkan tiga bulan, membagikan perspektif yang menjawab mengapa ada pekerja yang resign selepas cuti melahirkannya selesai.

Iklan

“Banyak yang emang enggak niat resign setelah melahirkan, tapi ada kondisi khusus yang memaksa si ibu harus resign. Misalnya, soal kondisi bayi itu sendiri,” kata Audian kepada VICE. “Soal twit itu, kalau aku lihat sebetulnya ‘niat’ orang yang ngetwit enggak ada masalah. Cuma, mungkin cara dia delivery aja yang terasa kurang empati. Jadinya, bikin kaget dan mungkin banyak orang tersinggung. Apalagi banyak dari diskusi itu yang justru mengarah ke penghapusan cuti tersebut.”

Menurut pengalamannya, waktu tiga bulan yang sekilas panjang dan bisa salah dikira sebagai “bonus leha-leha” justru terasa sangat cepat bagi ibu yang baru melahirkan. Apabila setelah cuti kemudian sang ibu memutuskan berhenti, biasanya karena faktor yang sebelumnya tak terprediksi. Ia sendiri, misalnya, “mengisi” masa cuti melahirkannya dengan mencoba beradaptasi pada ritme tidur yang berubah serta kondisi mental yang sering enggak karuan.

Saat diklarifikasi oleh VICE, pemilik akun @catuaries menyebut rangkaian twitnya sekadar rangkuman dari diskusi dengan teman-teman dekatnya. Diskusi yang berlangsung dalam support group ayah-ayah baru itu sempat membahas maternity leave, membandingkan situasi satu kantor dengan kantor lain.

“Sampai kemudian diskusi mengarah ke banyaknya ibu-ibu hamil yang sudah merencanakan tidak melanjutkan bekerja setelah melahirkan, tetapi sengaja mengambil maternity leave. Menurut kami, ini akan merugikan ibu-ibu lain di masa mendatang jika fenomena tersebut berlanjut,” ujarnya.

Iklan

Pemilik akun @catuaries menegaskan tidak ada niat dari twitnya untuk mendelegitimasi hak perempuan mengambil cuti melahirkan, atau resign dari pekerjaan. Yang ada, menurutnya, adalah keluhan pada orang atau oknum yang sejak awal berniat berhenti bekerja tapi sengaja ambil cuti dulu. Jika menjadi tren, perilaku semacam ini menurutnya berisiko digunakan perusahaan menjustifikasi pengurangan benefit maternity leave, atau melakukan diskriminasi saat perekrutan terhadap perempuan yang sudah menikah atau hamil, memakai tudingan rentan berhenti kerja.

“Utas tersebut malah menunjukkan kekhawatiran saya apabila tren berlanjut, [malah] merugikan ibu-ibu lainnya. Apalagi, maternity benefit yang ada sekarang masih belum cukup,” tandasnya. “Ini tidak berlaku ke hal-hal seperti [pekerja perempuan yang] memiliki anak berkebutuhan khusus atau susah mencari nanny.”

Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UGM Nabiyla Risfa Izzati menjelaskan, cuti melahirkan adalah aturan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh perusahaan. Dia menegaskan kalau tiga bulan adalah waktu paling minimal. Bahkan, ujar Nabiyla, ketentuan ILO (organisasi buruh internasional di bawah PBB) mensyaratkan cuti melahirkan minimal 14 minggu (3,5 bulan).

Menanggapi polemik yang viral di medsos, ia mempercayai polemik ibu berhenti kerja setelah cuti melahirkan tidak sesederhana motif oportunistis. Bisa jadi alasannya karena kantornya tidak ramah terhadap ibu pekerja yang punya bayi, misal tak ada ruang laktasi, jauh dari tempat penitipan anak, atau jam kerja malam hari.

“[Dari perkembangan diskusi di Twitter] seakan-akan mendapat cuti adalah keuntungan dan privilese bagi perempuan dari perusahaan. Padahal kan konsepnya tidak seperti itu. Tidak tepat menyematkan label antagonis kepada perempuan yang berhenti kerja setelah cuti melahirkan. Karena enggak ada hubungannya antara satu dengan yang lain. Cuti melahirkan berbayar itu hak yang dijamin UU, enggak bisa dijadikan sebagai ancaman,” kata Nabiyla kepada VICE.