RUU Larangan Minuman Beralkohol

Ancaman Bui RUU Minuman Beralkohol Bisa Memicu Kriminalisasi dan Perdagangan Gelap

Dalam draf saat ini hukuman maksimal konsumen hingga pengedar minuman alkohol adalah 2 tahun penjara atau denda Rp50 juta. Pengamat pidana menilai RUU ini memperburuk overkapasitas penjara.
RUU Minol ancam konsumen alkohol hukuman Penjara 2 Tahun dan Denda Rp50 Juta
Ilustrasi kriminalisasi dan larangan konsumsi alkohol via Getty Images.

Dalam Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol yang diusulkan tiga fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, terkandung ancaman pidana. Dalam pasal 20 naskah beleid tersebut, dijelaskan bila konsumen minuman beralkohol dapat dihukum penjara, atau dikenai denda. Hukuman maksimalnya dua tahun penjara, atau denda Rp50 juta.

Adapun definisi minuman beralkohol yang bisa dikenai ancaman pidana tertuang dalam pasal 7 RUU minuman beralkohol. Naskah awal di DPR, yang dikutip CNN Indonesia, menyebut semua orang tanpa kecuali dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, serta minuman beralkohol campuran atau racikan. Artinya, minuman-minuman lokal seperti Cap Tikus, Ciu, atau Arak Bali yang sudah teregulasi ikut terdampak RUU tersebut.

Iklan

Hukuman lebih berat berisiko menimpa produsen atau pengedar minuman beralkohol. Merujuk pasal 18 dan 19 di RUU Minol, pelaku bisnis ini terancam hukuman 10 tahun penjara, serta denda maksimal Rp1 miliar.

Pengamat hukum pidana mengkritik ancaman bui maupun denda itu, karena dampaknya justru merugikan sistem peradilan dan penjara di Tanah Air.

Erasmus Napitupulu, selaku Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut RUU yang tengah dibahas DPR ini dapat menimbulkan “overkriminalisasi”. Menurut Erasmus, DPR harus melihat efek perang narkoba di Indonesia selama ini, yang mengirim lebih dari 40.000 orang pengguna ke lapas, tapi tak kunjung membuat angka penyalahgunaan narkotika berkurang. Lebih buruknya lagi, sebagian pengedar yang dijebloskan ke bui justru leluasa menjalankan bisnis dari balik jeruji.

“Pendekatan pelarangan buta terhadap alkohol hanya akan berujung seperti narkotika yang telah terbukti tidak pernah bekerja, malah berdampak negatif, baik untuk sistem peradilan pidana maupun untuk kesehatan dan keamanan konsumen,” kata Erasmus lewat keterangan tertulis.



Hal lain yang dipersoalkan ICJR adalah ketiadaan analisis ilmiah untuk memvalidasi pelarangan total konsumsi alkohol di Tanah Air. Illiza Sa'aduddin Djamal, salah satu pengusul RUU ini dari fraksi PPP saat dikonfirmasi terpisah, hanya mengklaim bahwa larangan total minol akan menciptakan kondisi sosial yang lebih aman.

Iklan

“RUU bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol,” ujarnya.

Erasmus menilai asumsi macam itu sembrono, karena bisa menghambur-hamburkan anggaran negara secara serampangan memenjarakan peminum dan penjual minuman beralkohol, tanpa ada justifikasi ilmiah soal dampaknya. Plus, RUU ini tidak menghormati keragaman budaya di Indonesia, yang sebagian memiliki tradisi minuman keras lokal.

“Naskah Akademik RUU Larangan Minol tidak memuat analisis tersebut, padahal berpotensi besar membebani APBN dan para pembayar pajak untuk seluruh tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan pemasyarakatan yang dilakukan atas para calon tersangka, calon, terdakwa, dan calon terpidana,” kata Erasmus.

Menurut catatan ICJR, sudah banyak negara mengupayakan pelarangan total minuman beralkohol di masa lalu, juga atas alasan moral. Amerika Serikat salah satunya, pada dekade 1920-an. Hasilnya, kebijakan itu gagal total, karena yang tumbuh justru pasar gelap minuman keras. Angka kejahatan dan aktivitas organisasi kriminal di AS meningkat pesat ketika alkohol dilarang sepenuhnya.

“Pendekatan prohibitionist terhadap alkohol adalah pendekatan usang,” tandas Erasmus.

Sejak Selasa (10/11), Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat membahas RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, salah satu dari 37 daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Tiga fraksi menjadi pengusulnya, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Gerindra. 

Begitu pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol dimulai, kritik langsung berdatangan, termasuk dari sesama anggota DPR RI. Anggota Baleg dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo mempertanyakan apakah RUU ini mendesak untuk dibahas. Sedangkan anggota Baleg dari Fraksi PAN Guspardi Gaus menyoroti data yang digunakan sebagai landasan pembentukan RUU berasal dari penelitian enam tahun lalu, sehingga kurang relevan.

DPR berdalih pembahasan RUU minuman beralkohol ini baru tahap awal, sehingga masih akan menampung masukan dari berbagai pihak untuk disempurnakan.