Konflik India-Tiongkok

Warga India Ingin Boikot Produk Cina Usai Insiden Perbatasan, Tapi Rupanya Mustahil

Membanjirnya barang impor asal Tiongkok di Negeri Sungai Gangga, membuat persoalan boikot tidak semudah ambisi kaum ultranasionalis. Kayaknya ini problem di semua negara sih....
Shamani Joshi
Mumbai, IN
Warga India Ingin Boikot Produk Cina Usai Insiden Perbatasan tewaskan 20 tentara
Demonstran di Kolkata membawa poster 'Boikot Made in China' saat ujuk rasa 20 Juni 2020. Foto oleh Dibyangshu Sarkar / Getty Images

Insiden di Lembah Galwan akhir pekan lalu, kawasan perbatasan India-Tiongkok, yang menewaskan 20 tentara India memicu kemarahan warga Negeri Sungai Gangga. Tentara Tiongkok dianggap bertanggung jawab atas munculnya korban jiwa dalam sengketa perbatasan tersebut. Sentimen anti-Cina meledak di India. Mulai muncul juga seruan sesama warga untuk memboikot semua produk Tiongkok.

Sebuah video viral dua hari lalu, menunjukkan seorang warga di Delhi melempar televisi buatan Tiongkok miliknya dari balkon apartemen. Itu aksi simbolis boikot yang kemudian merembet ke ribuan orang lain.

Iklan

Demonstrasi anti-Tiongkok juga muncul di kota-kota besar India. Demonstran membakar foto Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pengunjuk rasa itu, yang sebagian bergabung dengan ormas ultranasionalis Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) menuntut pemerintah pusat mendeklarasikan "perang melawan Cina."

Seperti lazimnya di situasi politik yang panas, tagar provokatif di medsos bermunculan. Tagar #BoycottChina

jadi yang paling dominan dua hari terakhir, sampai trending global di Twitter. Tak hanya itu, netizen India ramai-ramai mengunggah gambar Winne the Pooh untuk mengejek Xi Jinping. Seperti pernah kabarkan sebelumnya, gambar Winnie The pooh pernah disensor pemerintah Tiongkok karena sering dipakai untuk menggambarkan sosok presiden mereka dalam format parodi satir.

Politikus pun ikut serta membakar sentimen warga. Salah satunya adalah Ramdas Athawale, salah menteri di kabinet, yang mengusulkan semua restoran Cina di India harus dilarang. Masalahnya, kebanyakan restoran macam itu di Delhi atau Mumbai pemiliknya juga orang India sendiri. Problem lain yang segera membayangi ajakan boikot: pakar ekonomi menganggap ketergantungan India terhadap produk-produk Tiongkok amat besar.

Nominal impor barang India dari Tiongkok lebih besar tujuh kali lipat dibanding angka ekspor sebaliknya selama dua tahun terakhir. Sebagian sektor industri India juga sangat membutuhkan rantai pasok Cina untuk tetap beroperasi. Sebab, merujuk data 2017-2018, nyaris 60 persen komponen elektronik yang dibutuhkan India dipasok dari Tiongkok.

Iklan

Itu belum termasuk kondisi di sektor manufaktur populer, seperti ponsel. Empat merek ponsel dengan penjualan tertinggi di India adalah Xiaomi, Vivo, Realme, dan Oppo. Semuanya bikinan perusahaan Tiongkok. Ajakan boikot itu tentu saja jadi mustahil dilakukan, karena sama saja mengajak 60 persen konsumen di India membuang ponsel mereka, lalu menggantinya dengan merek lain yang harga jualnya lebih mahal.

Kondisi lebih tragis terjadi di televisi. Banyak TV India sekarang rajin menggelar talk show kemungkinan memboikot barang-barang Cina. Ironisnya, acara debat itu penuh iklan-iklan dari perusahaan ponsel Tiongkok.

Tengok sejenak sektor manufaktur lain, kondisi setali tiga uang. Sepertiga pasokan komponen otomotif tahunan di India datang dari Tiongkok. Sementara yang lebih parah, pangsa pasar industri mainan Negeri Sungai Gangga dikuasai produsen mainan Cina sampai di kisaran 90 persen.

Itu belum membicarakan ratusan startup India yang investor terbesarnya adalah raksasa-raksasa teknologi Tiongkok. Alibaba, marketplace terbesar Cina, menguasai saham mayoritas aplikasi pembayaran digital PayTM yang amat populer di India. Zomato, startup besar India lain, juga dikuasai oleh Alibaba. Sementara Ola, aplikasi taksi online terbesar India, mendapat suntikan dana dari Tencent Holdings yang juga berasal dari Tiongkok. Konsekuensi memboikot secara konsekuen jadi sulit dilakukan.

Di tengah pandemi yang masih mengancam India, nasionalisme sempit pun tak membantu para tenaga medis. Sekitar 70 persen pasokan obat generik di India datang dari Tiongkok, termasuk untuk dexamethasone yang menurut ilmuwan dapat mengurangi risiko kematian Covid-19.

Iklan

"Realitas ekonomi berbeda dari harapan emosional seseorang. Sebab, ketika tidak ada alternatif pasokan, yang dirugikan justru negara yang melakukan boikot," kata Jabin T. Jacob, pakar ekonomi internasional di Shiv Nadar University kepada VICE News.

Dalam kondisi seperti sekarang, satu-satunya yang harus disalahkan justru masyarakat India, karena sejak lama tidak menyiapkan sektor teknologi dan manufaktur secara serius. "Saat terjadi eskalasi politik semacam ini, maka sektor strategis yang terkait dengan negara yang sedang dimusuhi otomatis jadi titik lemah," imbuh Jacob.

Ekonom sejak lama mengingatkan, ketergantungan ekonomi antar negara memang mengurangi risiko perang. Tapi, ketika konflik benar-benar terjadi, maka kondisi ekspor-impor yang tidak setara akan menjadi keuntungan salah satu pihak.

Maka dibanding memboikot produk, Jacob mengingatkan pengambil kebijakan untuk mengedepankan renegosiasi beberapa kesepakatan perdagangan yang tidak adil antara India dan Tiongkok. Itu lebih strategis dibanding sekadar menolak barang-barang Cina beredar di negara mereka. Taktik ini pun juga agak riskan, mengingat tidak ada negara mau bekerja sama di sektor ekonomi dengan kesadaran pihak lain hendak menjadikannya alat peningkat posisi tawar politik.


Follow Shamani Joshi di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE India