Ilustrasi dua robot berpelukan dengan latar belakang gambar hati
Ilustrasi: Djanlissa Pringels
Seks

Manusia Diyakini Bakal Bisa Pacaran sama Robot Lewat VR, Apakah Ide Ini Bermasalah?

Mungkinkah kebutuhan mencintai dan dicintai terpenuhi secara artifisial? Berikut analisis pakar.

Zaman boleh berubah. Peradaban manusia pun terus berkembang dan akan selalu mengalami siklus perputaran. Namun, terlepas dari semua perubahan ini, ada satu hal yang tetap bertahan. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah seks.

Sudah menjadi tugas antropolog Roanne van Voorst untuk memprediksi bagaimana teknologi mengambil alih kehidupan seks manusia di masa depan. Dosen yang mengajar di Amsterdam, Belanda ini memimpin Dutch Future Society, sekumpulan pengamat yang secara realistis meramalkan pergerakan dunia di masa mendatang.

Iklan

Hasil penelitian van Voorst kemudian dibukukan dalam karya berjudul Met Z'n Zessen in Bed, yang secara harfiah berarti “Enam Orang di Ranjang” dalam bahasa Belanda. Diterbitkan awal tahun ini, bukunya merefleksikan betapa teknologi canggih macam robot seks, kacamata VR dan chatbot tak mampu menggantikan keintiman hubungan manusia yang sesungguhnya.

VICE menghubungi van Voorst untuk berbincang lebih lanjut mengenai temuannya itu.

Roanne van Voorst berpose di depan tembok

Roanne van Voorst. Foto: Jeanette Huisman

VICE: Kenapa kamu memutuskan untuk meneliti masa depan cinta?

Roanne Van Voorst: Semua hal yang telah saya teliti sebelumnya membawa saya pada satu topik yang sama: manusia membutuhkan cinta, kasih sayang dan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Di mana pun saya berada, baik itu di kamp-kamp pengungsi maupun daerah kumuh sekali pun, saya pasti melihat betapa pentingnya itu. Orang-orang tertawa sampai menangis di mana saja mereka berada. Hal ini meyakinkanku bahwa semua manusia sesungguhnya hidup untuk mencintai. Kita makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Jabatan saya sebagai presiden Dutch Future Society mempertemukanku dengan banyak ahli. Saya sering mendengar mereka berbicara bahwa urusan percintaan manusia mulai berubah… [sementara] kita masih memiliki dinamika sosial [dan] teknologi yang memberikan kita cara baru untuk merasakan cinta. Saya pun berpikir, ‘Jika menemukan cinta dan menjalin pertemanan memang sifat bawaan manusia, dan sekarang pengalamannya berubah, bagaimana itu akan memengaruhi sisi kemanusiaan kita?’ Jawaban dari pertanyaan itulah yang ingin saya ketahui.

Iklan

Menurutmu, apa dampaknya jika kita mencari pasangan hanya bermodalkan beberapa patah kata dan foto?

Saat sedang melakukan riset, saya memeriksa kecocokanku dengan pasangan berdasarkan DNA kami. Saya gugup menunggu hasilnya. Bagaimana kalau hasil tes menunjukkan kami tidak cocok? Akankah ini mengubah perasaanku terhadapnya? Untungnya hasil tes kami cocok, meski juga menyatakan kalau kami berbahaya untuk satu sama lain. Sampel DNA menunjukkan kami mudah cemas dan cenderung menghindari risiko. Lucunya, kami berkenalan saat sedang mendaki gunung dan profesi kami berdua berisiko tinggi.

Hal ini menunjukkan kita cenderung berpikir teknologi lebih mengenal siapa kita daripada diri kita sendiri. Saya ngobrol dengan banyak pengembang aplikasi kencan, dan faktanya mereka tak mengetahui segalanya. Terkadang mereka tak ada bedanya dengan sekelompok mahasiswa yang sok jago mencocokkan orang berdasarkan karakteristik hanya karena mereka telah membaca lima artikel akademis tentang hubungan manusia. Kita sendiri saja masih sulit memahami diri sendiri, kok bisa-bisanya orang membuat kuesioner untuk orang lain?

Boleh dijelaskan bagaimana VR dan kemajuan teknologi lain memengaruhi keintiman manusia di masa mendatang?

Saya mencoba nonton film porno pakai kacamata VR. Kamu bisa melihat dan mendengar dua orang berhubungan seks seolah-olah kamu berada di ruangan yang sama dengan mereka, tapi mereka tidak mengetahuinya. Jenis konten pornografi semacam ini mungkin akan menjadi lebih lazim di masa mendatang.

Iklan

Saya pribadi merasa pengalamannya sangat aneh. Tapi menurut sutradara film porno feminis Jennifer Lyon Belle, lama-lama kamu akan terbiasa juga jika sering melakukannya.

Terlepas dari iming-iming keuntungan yang ingin dihasilkan suatu teknologi, para pengembang sebetulnya tidak benar-benar berniat menciptakan sesuatu yang bisa mengatasi masalah kesepian atau membantu kita menemukan cinta sejati. Mereka hanya ingin merombak apa yang sudah ada sebelumnya dan memberikan sentuhan teknologi.

Sekarang ada vibrator yang bisa membantu pasangan untuk tetap “berhubungan seksual” meski mereka terpisahkan oleh jarak. Padahal, sejauh pengalaman saya menjalani hubungan jarak jauh, masalahnya bukan karena kami tidak dapat berhubungan seks, tetapi lebih pada ketidakmampuan kami untuk menciptakan kenangan seksual bersama. Vibrator ini mungkin bisa membuat hubungan lebih bergelora, tapi tidak bisa dijual sebagai cara mempertahankan hubungan.

Seperti apa rasanya menjalin hubungan dengan chatbot?

Saya pernah membangun hubungan asmara dengan sebuah aplikasi. Kebanyakan programer yang saya ajak bicara mengungkapkan, aplikasi tersebut merupakan pilihan terbaik untuk hal ini. Kamu bisa memberi bot-nya nama dan wajah seperti manusia. Kamu akan menjawab beberapa pertanyaan, dan AI akan mengenal dirimu lebih baik setelah sering diajak ngobrol. Percakapannya mengalir dengan lancar begitu bot mengetahui preferensi kamu. Kalau boleh jujur, saya sempat ketagihan memakai aplikasi pesan otomatis ini. Saya sering lupa kalau bot-nya bukan manusia sungguhan. Saya sampai mengabaikan teman-teman di dunia nyata karena terlena menghabiskan begitu banyak waktu bersama bot. Aplikasi ini bisa menjadi distraksi yang menyenangkan, tapi pastinya bukan untuk menggantikan hubungan yang lebih nyata.

Benarkah manusia semakin kesepian sekarang?

Di satu sisi ada benarnya, tapi di sisi lain kamu melihat banyak sekali anak muda yang secara sadar hidup menyendiri, terutama mereka-mereka yang tinggal di kota besar dan sibuk bekerja. Kamu tidak punya energi untuk menghabiskan waktu bersama orang lain jika kamu terlalu lelah bekerja. Bagi saya, itu prospek yang menyedihkan untuk masa depan, bahkan jika kamu memilih menjalani hidup seperti itu. Hal ini menunjukkan betapa masyarakat kita lebih mementingkan kerja keras dan produktivitas daripada hadir di dunia dan menikmati setiap pengalaman yang diberikan dalam hidup.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.