Ngobrol Bersama Ustaz Spesialis Ruqyah Caleg Gagal Selepas Pemilu
Ilustrasi ruqyah caleg gagal oleh Yasmin Hutasuhut.

FYI.

This story is over 5 years old.

VICE Votes

Ngobrol Bersama Ustaz Spesialis Ruqyah Caleg Gagal yang Stres Selepas Pemilu

Layanan ruqyah diprediksi populer setelah 17 April, apalagi bagi ribuan caleg yang gagal melenggang ke Senayan. Kenapa jasa pengobatan spiritual Islami ini populer di Indonesia? Berikut penjelasannya.

Sembari mengenakan jas biru yang jadi lambang partainya, Witarsa Winata duduk pasrah diguyur siraman air beserta rapalan doa dari ustaz Ujang Busthomi, pemimpin Padepokan Al Busthomi, Cirebon. Witarsa adalah suami salah satu calon anggota legislatif dalam pemilihan umum 2014, mewakili Partai Demokrat. Dia mengalami stres setelah istrinya, Nur Aisyah Jamil, gagal meraih kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat. Padahal Witarsa terlanjur menghabiskan tabungan pribadi hingga Rp250 juta untuk membiayai pencalonan tersebut.

Iklan

"Saya kecewa kepada warga yang menerima uang, tetapi tidak memilih calegnya," ujar Witarsa saat dihubungi media. Dia secara eksplisit mengakui terlibat 'politik uang', tapi ternyata tak memperoleh dukungan setimpal. "Mesin partai tidak berjalan. Perolehan suara partai kami hancur. Uang habis semua."

Selesai dimandikan Ujang Busthomi, Witarsa dibawa ke ruangan khusus. Di dalam kamar, Ujang merapalkan doa dan ayat-ayat Al Quran ke telinga Witarsa.

Meskipun pengumuman resmi dari KPU belum keluar kala itu, Witarsa buru-buru mendatangi Padepokan Ustaz Ujang. Hasil hitung cepat di banyak tempat pemungutan suara membuatnya depresi. Dua hari sebelum akhirnya datang ke Padepokan, Witarsa sudah kelewat pusing memikirkan uang yang ia pinjam dari keluarga dan rekan-rekannya untuk ongkos pencalonan sang istri.

Ujang, yang dimintai bantuan, tidak memiliki latar pendidikan di bidang psikologi atau psikiatri, lebih-lebih pemahaman soal politik. Kendati begitu, Ujang cukup percaya diri ilmu agama yang dia kuasai bisa membantu meringankan stres pasiennya.

"[Witarsa] sudah tergolong depresi tingkatan dua, kalau tiga itu mereka sudah ‘galak’. Mereka masih bisa disembuhkan. Insya Allah bisa sembuh dengan terapi dan berzikir kepada Allah," ujar Ujang Busthomi kepada media. "Mereka ini ketika mencalonkan memang tidak siap kalah dan tidak siap menang, akhirnya beban jiwa dan beban mental yang mereka hadapi, sudah jual segala macam. Akhirnya mereka sedih berlebihan dan depresi."

Iklan

Lalu bagaimana metode Ujang 'menyembuhkan' depresi caleg atau keluarga caleg yang kecewa karena kalah dalam pemilu?

"Saya mencoba membantu mereka lewat doa dan transfer energi. Energi negatif dalam diri mereka dihilangkan, diganti dengan energi positif. Setelah itu mereka istirahat," ujar sang ustaz.

Metode penyembuhan ruqyah semakin populer di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Ruqyah kerap dipandang sebagai cara alternatif mengatasi depresi, bagi mereka yang enggan menempuh terapi klinis. Kuatnya tradisi Islam di Indonesia membuat ruqyah oleh ulama dipandang masyarakat sebagai jalan alternatif yang "diperbolehkan agama", daripada menggunakan jasa dukun tradisional yang terlarang karena menyekutukan Tuhan.

Berdasarkan definisinya, ruqyah sebetulnya sederhana saja: pembacaan ayat kitab suci Al Quran dan doa-doa tertentu, untuk membentengi korban dari gangguan sihir. Realitasnya, ruqyah bisa diterapkan untuk apapun. Mulai dari melawan santet, mengobati depresi, hingga 'menyembuhkan' komunitas LGBTQ agar menjadi heteroseksual kembali.

Cerita Witarsa dari Cirebon terjadi lima tahun lalu. Menjelang Pemilu 2019 pada 17 April, keadaan diprediksi banyak pihak tak banyak berubah. Kementerian Kesehatan sudah mewanti-wanti maraknya kasus calon legislatif depresi akan terulang lagi.

Pakar ruqyah asal Cirebon, Dedi Natadiningrat, turut menangani caleg yang depresi sesudah pemilu 2009 dan 2014. Dia kesulitan menyebutkan jumlah pasien berlatar politikus, saat dihubungi VICE. Tapi, caleg gagal yang dia tangani belum sebanyak pasien ruqyah hari-hari biasa. Praktik ruqyah Dedi memang tidak ditujukan hanya bagi caleg, tapi bagi siapapun yang membutuhkan pertolongan Tuhan.

Iklan

Tonton sensus VICE saat mewawancarai anak muda dari seluruh Indonesia tentang cita-cita dan aspirasi politik mereka:


Apa saja prosedur baku pakar ruqyah saat membantu caleg gagal? Dedi mengaku bakal membacakan rapalan doa dan ayat-ayat Al-Quran yang disalurkan melalui telapak tangan ke pasiennya. Tindakannya, diklaim Dedi, seringkali membuat pasien mual dan muntah-muntah. Sebagian lagi memang tidak menimbulkan reaksi seekstrem itu. Tapi mereka cenderung akan lebih tenang, dan bisa ikhlas menerima kekalahan dalam pemilu.

Rasa kecewa para caleg, menurut Dedi, selain akibat guncangan psikologis juga diperparah oleh ulah jin. Kok bisa? Menurutnya, saat seseorang punya banyak pikiran dan sulit ikhlas menerima sesuatu, kondisi kejiwaannya lebih labil. Di momen itulah, menurut Dedi, rawan jin memberikan pengaruh jahat bahkan masuk ke dalam diri seseorang, menjerumuskannya ke hal-hal yang tidak baik. Makanya, kadang kasus caleg gagal bisa ditangani praktisi ruqyah.

"Soal gangguan jin, caleg yang mengalami depresi itu bisa juga pengaruh efek negatif yang masuk ke dalam tubuh," kata Dedi kepada VICE. "Maka dari itu timbul putus asa, ingin bunuh diri, mengamuk. Kalau dibiarkan maka syarafnya akan mengalami gangguan."

Maraknya depresi, seperti dikhawatirkan Kementerian Kesehatan, akan terus muncul akibat ketatnya kompetisi memperebutkan kursi di parlemen daerah maupun nasional. Pada 2014 ambil contoh, sekitar 200 ribu orang memperebutkan posisi anggota legislatif di tingkat DPR RI, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, maupun Dewan Perwakilan Daerah. Padahal total hanya tersedia 19.699 kursi. Artinya dalam pemilu lima tahun lalu, secara nasional lebih dari 90 persen caleg yang mengajukan diri mengalami kekalahan. Pada 2019, angkanya tak akan jauh berbeda.

Iklan

Makanya, setiap digelar hajatan politik lima tahunan, fasilitas kesehatan jiwa pasti bersiap menerima pasien baru. Semua rumah sakit jiwa, baik di kota besar seperti Jakarta, hingga kabupaten kecil di seluruh pulau, akan menyediakan fasilitas tambahan berupa fasilitas perawatan bagi caleg yang terguncang mentalnya.

Komisi Pemilihan Umum sudah mewajibkan semua caleg mengikuti tes kesehatan jiwa sebelum melakukan pencalonan. Aturan serupa sudah diterapkan pada 2014. Namun karena biaya politik untuk jadi caleg amat tinggi, risiko gangguan mental besar sekali. Tak sedikit caleg menggelontorkan dana besar-besaran, menjual harta benda, hingga berutang hingga ratusan juta. Media rajin mencatat perilaku caleg gagal yang stres sesudah pemilu. Contohnya caleg gagal di Tulungangung yang menuntut warga mengembalikan material dari musala yang dibangun memakai dana sumbangannya. Ada calon lain mengambil paksa kotak suara, mengusir peserta didik taman kanak-kanak, lima hari setelah dipastikan tak lolos ke Senayan terus berpidato di depan rumah, hingga kabur dari rumah sampai menggelandang, gara-gara tak punya uang tersisa untuk membayar jasa saksi di TPS. Kisah-kisah itu, ketika viral di masyarakat, justru menjadi bahan olok-olok.

1554894205660-gn-0803-indonesia

Logo seluruh partai peserta pemilu 2019 di kantor pusat KPU. Foto oleh AFP.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pernah mempublikasikan penelitian pada 2014 lalu, soal kisaran biaya yang mesti dikeluarkan untuk ‘nyaleg’ di Indonesia. Jika mengincar posisi di DPRD kota dan provinsi, biaya yang dibutuhkan tiap caleg berkisar di angka Rp250 - Rp500 juta.

Iklan

Sementara itu, jika ingin lolos DPR, biayanya melonjak jadi Rp750 juta-Rp4 miliar. Kisaran tersebut bagi sebagian pihak wajar, tapi untuk mayoritas orang terasa tidak rasional. Itu pun perhitungan biaya lima tahun lalu. Jika mempertimbangkan inflasi dan kebutuhan logistik dalam kontestasi 2019, angkanya pasti meningkat drastis. Semua angka di atas baru sebatas upaya membangun branding sosok agar dikenal masyarakat.

Banyaknya uang yang dikorbankan demi branding politik, terutama dilakukan calon anggota legislatif yang bukan tokoh masyarakat dihormati, atau punya kemampuan memobilisasi organisasi massa tertentu. Ketika para caleg melakukan upaya membeli suara, bisa dibayangkan biaya yang dikeluarkan mesti lebih besar lagi.

Aturan pembatasan dana kampanye oleh KPU juga masih berfokus pada nominal sumbangan, tapi tak ada niatan untuk membatasi pengeluaran tiap caleg secara akuntabel. Artinya, KPU pun meridhoi caleg membelanjakan miliaran rupiah saat bersaing memperebutkan suara pemilih.

Lingkaran setan ini, ujung-ujungnya, akibat gagalnya partai membangun kepercayaan di mata masyarakat. Loyalitas warga terhadap partai sangat minim. Ide menjalankan kampanye yang berasal dari sumbangan masyarakat, seperti yang sudah banyak dipraktikkan di negara demokrasi maju, hampir mustahil dilakukan di Tanah Air.

Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati dalam laporan mendalam CNN Indonesia, menelisik sekian penyebab membengkaknya biaya pencalonan politik Indonesia. Masalah terbesar, menurutnya, adalah pembiayaan kampanye yang lebih terpusat pada kandidat.

Iklan

"Peran parpol tidak terlalu terlihat. Implikasinya nanti ke model perwakilan: sistem ini wakilnya rakyat, parpol, atau dirinya sendiri?" kata Mada kepada CNN Indonesia. "Fungsi partai pada pencalonan saja."

Jika sistemnya terus berjalan seperti ini tiap kali Indonesia menggelar hajatan politik besar lima tahunan, maka masalah para caleg juga akan berulang. Mau tak mau, jasa pakar ruqyah macam Dedi Natadiningrat dan Ujang Busthomi juga terus dibutuhkan para politikus yang gagal itu.

Dedi sendiri mengaku lebih suka tak ada lagi caleg yang meminta bantuannya agar tidak stres selepas pemilu.

"Niat saya hanya menolong semua masyarakat yang membutuhkan pertolongan," ujar Dedi. "Semoga pemilu tahun Ini dan seterusnya tidak ada calon legislatif yang mengalami depresi lagi."