FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Depresi Merampas Semangat Hidupku Juga Kawan-Kawanku

Gampang banget meninggalkan seorang kawan yang terus-menerus ruwet, egosentris, menjengkelkan, dan “asing.” Lebih gampang lagi kalau mereka cabut duluan.
 Ilustrasi oleh Ashley Goodall

Depresi merampas banyak hal: waktu, pikiran, dan pemahaman diri. Tapi, pertama-tama, depresi merampas kawan-kawan terdekat. Berbeda dari tindakan bunuh diri, depresi menjalar perlahan. Tindakan bunuh diri ibarat tepukan tangan yang lantang: orang-orang yang ditinggalkan mengalami syok dan langsung merasa kehilangan. Tapi momen seseorang tergelincir ke dalam lubang gelap isolasi biasanya luput dari perhatian orang banyak. Orang-orang sering membahas yang sudah hilang, tapi jarang membicarakan yang menuju atau hampir hilang. Akibatnya, sulit bagi para sahabat untuk berinteraksi dengan seorang pengidap depresi, terutama dalam jangka panjang. Bagi saya, perpaduan bipolar, borderline personality disorder, dan depresi telah menghasilkan sejenis kapsul sianida yang siap saya gertak setiap kali berhubungan dengan orang lain. Jaminan bahwa, pada akhirnya, setiap pertemanan akan tercemar. Dan saya paham. Gampang banget meninggalkan seorang kawan yang terus-menerus ruwet, egosentris, menjengkelkan, dan “asing.” Lebih gampang lagi kalau mereka cabut duluan.
Salah satu sahabat saya—seorang penulis berbakat—perlahan menghilang ke dalam dunianya sendiri. Dia menghapus Facebook, tidak pernah membalas pesan dan mengangkat telepon, dan mendekam di kamarnya setiap hari. Kami semua tahu apa yang terjadi. Sahabat yang lain menghubungi saya: “Si X ke mana aja sih? Baik-baik aja gak? Kayaknya mending kita samperin deh.” Pada akhirnya, tidak ada yang nyamperin X. Kejadiannya dua tahun lalu dan sampai sekarang tak satupun dari kami yang pernah ngobrol atau ketemu dengan X. Dia masih hidup, tapi sudah menghilang. Kehilangan sahabat dengan cara ini rasanya seperti melihat hantu menembus tembok, membuat saya merasa sedih dan linglung. Tahun lalu saya terperosot dalam lubang depresi, dan mulai mengikuti perilaku si X. Pada dasarnya, saya mengisolasi diri dan memutuskan hubungan dengan begitu banyak orang sampai-sampai dalam enam bulan saya kehilangan lebih banyak kawan daripada seseorang yang secara terbuka mendukung Habib Rizieq. Hibernasi depresif bukan soal pengasingan yang disengaja, melainkan pintu yang perlahan tertutup dan terkunci. Saat saya merasa pening, putus asa, dan hari-hari terasa begitu lamban, sulit sekali mengumpulkan kekuatan untuk menyambangi gig kawan, atau ngopi bareng, atau bahkan membalas chat. Sepengalaman saya, sih, gangguan ini sungguh mengganggu sampai-sampai saya jadi yakin bahwa saya manusia brengsek sehingga cabutnya saya dari tongkrongan justru bermanfaat bagi kawan-kawan saya. Pengidap depresi cenderung menarik diri karena tidak ingin merusak suasana.

Iklan

Ilustrasi oleh Ashley Goodall.

Lantas ketakutan ini berubah menjadi rasa bersalah. Pengidap depresi memikul rasa bersalah yang berat. Jadinya, saya selalu merasa lelah. Depresi adalah pusaran dengan kekuatan gravitasi yang hebat. Orang-orang terkasih yang peduli, berempati, dan khawatir mulai ikut lelah dan tidak nyaman. Sulit bukan main untuk mencurahkan begitu banyak cinta sekaligus kekhawatiran untuk seseorang yang tidak mampu membalas, dan saya menyadarinya. Sering banget lidah saya kelu saat mencoba mengatakan terima kasih kepada mereka.
Ucapan terima kasih seperti itu membuat tidak nyaman dan kadang memalukan untuk berbagai alasan. Sulit sekali mengatakan pada pacar saya bahwa dengan menemani saya sehari-hari dan menonton kartun, dia membantu saya bertahan hidup. Hal seperti ini juga menambah beban bagi seseorang yang enggak memiliki—dan tidak wajib memiliki—kemampuan untuk membopong saya dan menyembuhkan gangguan yang tidak akan pernah sembuh ini. Seringkali rasa terima kasih saya, atau ketidakmampuan saya menunjukkannya, berujung pada permintaan maaf tanpa akhir. Saya pernah berkali-kali meminta maaf pada seseorang yang menyayangi saya apa adanya, dan pada akhirnya ada semacam erosi pada suatu relasi interpersonal ketika seseorang tidak mampu memahami alasan kawan atau pacar mereka mau atau mampu menyayanginya. Tersebab rasa tidak percaya itu, gangguan ini meracuni hubungan-hubungan yang saya miliki. Saya pernah bilang pada kawan-kawan bahwa keberadaan mereka membikin saya mual; dan pada orang tua saya bahwa mereka merusak otak saya; dan pada seseorang yang saya cintai sepenuh hati bahwa dia mengizinkan saya merampas bongkahan hidupnya dan, entah bagaimana, hal itu membuatnya bersalah. Kalaupun ada satu kebenaran tunggal soal depresi, itu adalah: gangguan ini sepenuhnya bersifat universal dan secara fundamental bersifat solipsistik. Gangguan ini membuat pengidapnya bias, dan merasa hanya dialah satu-satunya yang merasakan gangguan tersebut. Saya bisa merasakan hal ini dengan amat intens sehingga saya meyakinkan orang-orang terdekat bahwa ini masalah saya sendiri. Lalu tetiba semua orang menyadari bahwa saya sudah tak tertolong lagi. Kampanye-kampanye kesehatan mental secara konsisten menggarisbawahi pentingnya meminta dan memberikan bantuan. Meski saya setuju dan paham betul bahwa itu adalah metode terbaik, sebagian besar orang tidak terlatih untuk melakukannya, dan rasa bersalah yang muncul dari ketidakmampuan tersebut distruktif. Saya merasa seperti itu saat saya tidak mampu membantu kawan saya dan kini saya merasakannya saat saya tidak bisa meminta bantuan untuk diri saya sendiri. Realita yang menggelisahkan adalah depresi belaka tidak membuat seseorang menghilang dari peredaran. Kawan-kawan berperan dalam hal itu. Dan itulah kenyataan pahit mengapa kita jarang membicarakannya. Juga karena empati ada batasnya. Saya rasa, dengan menerima bahwa sang pengidap atau saksi sama-sama tidak salah, kita semua bisa merasa sedikit lebih damai. Dari penerimaan itu kita bisa memandang depresi sebagai perampok, dan mempertahankan hubungan dengan kawan-kawan yang mengidap depresi.