Budaya Kerja Jepang

Perusahaan Jepang Tetap Mempertahankan Etiket di Tempat Kerja

Di era WFH, karyawan Jepang ternyata harus tetap menghormati atasan. Caranya? Memastikan bagian kiri atas Zoom hanya untuk si bos.
Matt Selvam
ilustrasi oleh Matt Selvam
SG
Pemandangan kota di Jepang
Foto: PHILIP FONG / AFP

Sejak pandemi corona melanda selama setahun terakhir, jutaan pekerja di seluruh dunia mau tak mau mesti bekerja dari rumah. Etika di kantor yang wajib dipatuhi tak lagi menjadi sesuatu yang penting. Kalian tidak bisa berjabat tangan. Dan akui saja, kebanyakan dari kita bekerja pakai baju sehari-hari, bukan pakaian formal yang rapi dan sopan.

Namun, kelonggaran ini tidak berlaku di Jepang, negara yang sangat menjunjung tinggi tata krama di dunia kerja. Sistem kerja jarak jauh tak menghentikan pekerja untuk menghormati atasan.

Iklan

Berhubung sekarang rapat dilaksanakan secara konferensi video, perusahaan Jepang memerintahkan semua karyawan untuk menunjukkan posisi jabatan sesuai urutan di layar. Manajer berada di kiri, sedangkan lainnya menempati layar bagian kanan.

Ilustrasi “urutan duduk” di Zoom yang memperlihatkan hierarki jabatan di perusahaan Jepang. Ilustrasi: Matt Selvam.

Ilustrasi “urutan duduk” di Zoom yang memperlihatkan hierarki jabatan di perusahaan Jepang. Ilustrasi: Matt Selvam.

Kewajiban mematuhi aturan-aturan ini menggambarkan kegigihan perusahaan Jepang dalam menerapkan hierarki. Tekanan dari anak muda tak mampu menggoyahkan pendirian mereka. Alhasil, banyak yang berinovasi untuk memenuhi budaya sopan santun tersebut.

Shachihata, produsen stempel karet terbesar di Jepang, telah meluncurkan fitur baru pada perangkat stempel digital mereka. Dengan adanya fitur ini, karyawan bisa menunjukkan rasa hormat kepada atasan meski sedang tidak kerja di kantor.

Orang Jepang umumnya menggunakan cap stempel sebagai pengganti tanda tangan. Penggunaan stempel ini pun tidak bisa sembarangan, khususnya di lingkup profesional. Pertama kali ditemukan dalam dokumen bank Jepang pada 2004, praktik “stamp-bowing” menunjukkan status sosial seseorang di perusahaan sesuai dengan derajat orientasi cap. Pejabat eksekutif akan menstempel dokumen dengan garis lurus vertikal, sedangkan bawahan memiringkan sedikit cap pribadinya (inkai) ke kiri. Begitu seterusnya.

Stamp bowing

Ilustrasi perputaran arah stempel untuk menghormati atasan. Ilustrasi: Matt Selvam

Dewasa ini, banyak warga Jepang yang menuntut agar praktik ini dienyahkan saja karena terbukti tidak efisien dan kerap dipalsukan.

Pada November, politikus Taro Kono mengatakan pemerintah akan menghentikan 99 persen penggunaan stempel untuk keperluan administrasi.

Iklan

Fitur tadi hanya akan mempertahankan tradisi. Selain untuk memudahkan proses pengecapan, Shachihata mengklaim ingin mengubah tradisi “untuk hari esok yang lebih baik”. Sepanjang Maret-Juni tahun lalu, jumlah perusahaan yang menggunakan stempel digital Shachihata meningkat 30 kali lipat. Sudah ada 270.000 perusahaan lebih yang menggunakan produk itu.

Fitur stamp-bowing digital ini dikembangkan berkat usulan pelanggan. “Kami berkomitmen memenuhi kebutuhan pelanggan dan meningkatkan efisiensi,” bunyi penjelasan di situs resmi perusahaan. “Di Jepang, banyak dokumen yang membutuhkan persetujuan langsung sebelum dikirim ke perusahaan lain. Perangkat lunak baru kami akan mempermudah alurnya tanpa perlu mengubah budaya perusahaan.”

Sejumlah perusahaan Jepang telah menerapkan hierarki di Zoom. Septembar lalu, aplikasi panggilan video ini meluncurkan fitur pengatur urutan peserta di layar. Bahkan ada juga yang menggambar ilustrasi komprehensif adab video call yang baik saat rapat online. Tujuannya? Untuk mengingatkan karyawan akan posisi mereka di piramida sosial.

Pegawai dengan jabatan tertinggi akan menempati ujung kiri atas, sedangkan karyawan senior kedua mengambil posisi kanan atas. Semakin rendah jabatanmu, semakin di bawah pula posisi layarmu. Banyak anak muda Jepang yang mengkritik urutan layar ini di media sosial. Menurut mereka, fitur baru Zoom melanggengkan budaya hierarki.

Iklan

Miki Matsuda, 22 tahun, pernah mengalami langsung “urutan duduk” di Zoom. Ilustrator di Tokyo itu berujar peraturannya terlalu kekanak-kanakan. 

“Saya tidak melihat di mana letak pentingnya. [Urutan duduk] masih masuk akal di kantor, tapi tidak ada artinya di Zoom,” tuturnya.

Selain posisi layar, waktu masuk dan keluar dari rapat online juga penting. Beberapa berpendapat posisi terendah seharusnya keluar paling terakhir.

Hiroko Nishide, kepala konsultan HIROKO MANNER Group, membeberkan peningkatan kebutuhan akan etika bekerja online mendorong perusahaan untuk menetapkan larangan yang ketat. Nishide justru tidak menganjurkan formalitas yang dapat menambah stres karyawan.

“Karyawan yang menghormati atasan akan menunjukkannya lewat perilaku dan ucapan. Aturan spesifik tidak penting,” tegasnya. “Memperlakukan karyawan secara manusiawi dan penuh empati adalah kunci kesuksesan perusahaan. Etika bisnis hanyalah sebatas ekspresi rasa hormat.”

Sebagian besar aktivitas di Jepang kembali dibatasi, sehingga pegawai kantoran masih harus bekerja dari rumah entah sampai kapan. Tidak ingin jadi karyawan lancang? Geser saja layar Zoom kalian.

Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.