Derita Anggota Kepolisian Afghanistan yang Selama ini Tak Terungkap

FYI.

This story is over 5 years old.

Health

Derita Anggota Kepolisian Afghanistan yang Selama ini Tak Terungkap

Bertahun-tahun perang membuat banyak polisi menderita stres serta gangguan mental serius. "Alih-alih mendapat penghargaan, banyak yang menganggap saya gila," kata Amiruddin.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

"Saya menyaksikan teman-teman dan rekan kerja tewas; Saya sendiri beberapa kali terluka. Alih-alih mendapat penghargaan, banyak yang menganggap saya gila."

"Menjadi seorang polisi di Kabul jauh lebih sulit dibandingkan di negara lain," kata Amruddin, polisi berpangkat rendah 35 tahun saat ditemui di kantornya di pusat kota Kabul. Amruddin terlihat resah, tangannya bergetar ketika dia menganggap segelas teh hijau—minuman tradisional Afganistan.

Seperti banyak warga Afganistan lainnya, Amruddin hanya memiliki satu nama. Hari itu Amruddin mengunjungi Departemen Psikiater dan Kesehatan Mental Kepolisian Afghanistan. Dia didiagnosa memiliki Trauma Penyintas/Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) akibat pengalamannya berperang sebagai gerilyawan melawan kelompok ekstremis Taliban di provinsi Badkhshan. Dia dibebastugaskan oleh atasannya yang menganggap kesehatan mental Amruddin menyebabkan pasukannya kalah telak dalam medan tempur. Insiden ini terjadi enam tahun lalu.

Iklan

Biarpun Afganistan telah terbebas dari pemerintahan Taliban 15 tahun lalu, beberapa tahun terakhir hidup Amruddin diwarnai oleh kematian dan darah. Rumah keluarganya di Badakhshan dihantam roket 2001 lalu. Salah satu istrinya, kakak lelakinya, dan pamannya terbunuh. Amruddin terluka parah, dikirim ke Iran untuk perawatan lanjutan. "Di Iran, saya melihat polisi menjaga kedamaian negaranya," katanya. "Saya sangat kagum dan memutuskan bergabung dengan kepolisian Afghanistan agar bisa menjaga perdamaian tanah air."

"Ternyata menjadi polisi di Afghanistan tidak sesuai harapan saya," katanya sedih. "Waktu itu saya tengah menjaga stasiun polisi beserta gudang senjatanya di Kishim dengan enam polisi lainnya. Kami harus menghadapi 200 tentara Taliban," jelasnya. "Saya menyaksikan teman-teman dan rekan saya meninggal; Saya sendiri beberapa kali terluka, namun alih-alih mendapat penghargaan jasa, banyak yang menganggap saya gila," tambahnya. "Kalau dulu saya tidak gila, kemungkinan saya bakal jadi gila beneran sekarang."

Kisah Amruddin bukanlah satu-satunya. Banyak polisi Afghanistan yang diduga memiliki gangguan kesehatan mental. Mantan menteri kesehatan Afganistan, Suraya Dalil pernah mengatakan bahwa lebih dari 60 persen penduduk Afganistan menderita gangguan psikiatris. Di dalam satuan kepolisian, angka ini diduga bahkan lebih tinggi. Sekitar 150 ribu anggota kepolisian diduga memiliki masalah kesehatan mental.

Iklan

"Mereka trauma akibat pengalaman perang dan harus menyaksikan banyak orang terbunuh. Efek psikologis ini tidak akan hilang dalam waktu yang singkat," kata Ahmad Elham, seorang psikiater yang menolak menggunakan nama aslinya karena takut dimusuhi pihak aparat. Elham telah menangani beberapa polisi, termasuk Amruddin. "Seorang polisi lainnya yang juga pasien saya mengalami mimpi buruk setiap malam. Di mimpinya, dia menggotong mayat temannya yang mati terbunuh," katanya.

Salah satu pasiennya yang lain yang juga seorang polisi didiagnosa dengan skizofrenia dan kerap berhalusinasi. "Dia dipecat dari kesatuan, ditinggalkan keluarganya dan istrinya dan hampir dipecat dari pekerjaan barunya. Akhirnya dia kami kirim ke India untuk dirawat. Di sana dia bertambah baik dan mengalami perkembangan yang positif," tambah Elham, "Dia bahkan mungkin bisa kembali masuk ke kepolisian kalau dia mau."

Namun tidak semua kasus berakhir bahagia. Seorang polisi yang kini tengah dirawat di sebuah fasilitas pemerintah menganggap dirinya sebagai seorang politisi dan panglima perang Afganistan yang terkenal keji, Gulbudddin Hekmatyar. Dia terus meneriaki para "komandannya"—yang sebetulnya tidak lain adalah staf rumah sakit—untuk membantai musuh. Dalam kasusnya, hampir tidak ada harapan dia akan sembuh dan bisa kembali bergabung ke masyarakat umum, apalagi kepolisian.

Tantangan bagi para polisi di Afganistan berlipat ganda. Tugas mereka kerap jauh lebih rumit dari sekedar mempertahankan kedamaian masyarakat sehari-harinya. Mereka sering harus bertempur bersama tentara nasional Afganistan melawan para pemberontak—padahal mereka belum cukup dilatih dan tidak mempunyai sumber daya yang cukup. Akibatnya polisi menjadi sasaran empuk bagi para pemberontak yang kerap dibekali sumber daya yang lebih baik. Korban polisi pun berjatuhan. Kementerian Dalam Negeri Afganistan mengabarkan bahwa Kepolisian Nasional Afganistan menderita lebih banyak korban dibandingkan dengan Tentara Nasional Afganistan.

Iklan

Ada satu alasan besar mengapa polisi yang terganggu mentalnya, tidak mencari bantuan medis: stigma sosial. "Mayoritas polisi Afganistan itu laki-laki," kata Rohullah Amin, psikolog Afghanistan yang pernah merawat beberapa personel polisi dan satuan keamanan. "Ada banyak stigma yang terkait dengan kondisi mental yang tidak sesuai dengan identitas pria di kepolisian—kuat, tangguh, tidak terkalahkan, tidak terbantahkan—sulit bagi mereka buat sekadar mengeluh atau curhat," jelasnya.

"Sering sekali para atasan di kepolisian menganggap enteng kondisi mental mereka," jelas Amin. "Aparat yang menangis, mengeluh atau takut, kerap diejek atau dihina. 'Kamu bukan cewek, jangan nangis. Kalo cowok, berani dong.'" Akibatnya banyak pria di kepolisian mengabaikan rasa takut dan trauma mereka. Mereka takut stigma sosial, dibebastugaskan dari jabatan, lalu kehilangan kredibilitas sebagai pengabdi Negara.

Amruddin dituduh meninggalkan rekan-rekan polisinya di lokasi pertempuran. Biarpun tidak merasa bersalah, dia dihukum enam bulan di penjara. "Setelah disalahkan atas kekalahan pertarungan dengan Taliban, saya dipindahkan namun tidak pernah ditugaskan lagi," katanya. "Lalu saya pulang ke rumah untuk bertemu keluarga mengingat sudah berbulan-bulan saya tidak melihat wajah mereka. Ketika sampai di rumah, saya ditangkap dengan tuduhan meninggalkan pos saya. Seolah-olah pengorbanan saya menjaga stasiun polisi Kishim tidak ada artinya. Saya dipenjarakan dan tidak digaji lagi."

Iklan

Amruddin merasa dikhianati oleh sistem. Dia kerap gelisah dan mengalami insomnia. Kalaupun dia bisa tidur, biasanya kepalanya dipenuhi mimpi buruk.

Barulah bertahun-tahun kemudian, Amiruddin mencari bantuan medis. "Biarpun calon-calon polisi baru mengalami evaluasi psikologis rutin, tidak ada sistem yang mengevaluasi ulang kesehatan mental mereka setelah mereka dilantik," kata Elham. Justru, tambah Amin, kasus gangguan kesehatan mental sering diabaikan hingga ada gejala ekstrem seperti breakdown yang parah.

Masalah lain yang muncul dari gangguan kesehatan mental adalah ketergantungan pada obat-obatan. "Ketika pasien Afganistan melihat kata "Dr." di depan nama saya, mereka kerap meminta resep obat generik. Ini adalah tren yang mengkhawatirkan di Afghanistan," kata Elham. Namun tetap saja banyak "obat saraf" yang mudah didapat tanpa resep di apotik-apotik terdekat. "Banyak tentara/polisi yang ketagihan mengatakan bahwa obat-obatan membantu mereka sigap dalam situasi peperangan." Sayangnya banyak juga yang akhirnya tidak bisa berfungsi secara normal tanpa obat-obatan ini.

Rumah sakit bagi petugas kepolisian di Ibu Kota Kabul terletak di sebuah komplek luas, penuh dengan hamparan tanaman yang hijau yang damai. Bilik pasien psikiatris yang memiliki 50 ranjang hampir selalu penuh terisi. Pada 2016 saja, RS ini menerima 300 pasien. Mayoritas didiagnosa mengidap PTSD. Namun di luar sana, masih banyak personil kepolisian maupun militer yang belum melaporkan gangguan masing-masing.

Amruddin menceritakan situasi mentalnya pada saya. Dia berharap isu ini mendapat perhatian lebih dari publik Afghanistan maupun internasional. Dia mengatakan apabila pemerintahnya mendidik tentara dan polisi negaranya tentang masalah kesehatan mental, stigma sosial yang terkait dengannya akan berkurang. Masalahnya, anggaran pemerintah Afghanistan terbatas. Dana diprioritaskan untuk makanan dan obat-obatan. Organisasi-organisasi dan lembaga internasional yang beroperasi di Afghanistan masih belum menaruh perhatian yang cukup. Sementara semua narasumber yang saya temui mengatakan bahwa perhatian terhadap kesehatan mental tentara/polisi sangat penting guna melawan terorisme—yang kerap tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, namun juga ketahanan mental.

Amruddin merupakan salah satu polisi dengan gangguan mental yang beruntung dan telah menerima bantuan medis. Dia mengatakan hal ini di ujung wawancara kami dan menambahkan, "Pengalaman kami di peperangan tidak sehat atau normal. Dan bagi kebanyakan polisi/tentara, pasca perang anda tidak bisa kembali ke kehidupan normal."

"Ya paling tidak," imbuhnya, "Pemerintah Afghanistan bisa memudahkan kami mencari bantuan psikolog. Sebelum kami semua sepenuhnya gila."