FYI.

This story is over 5 years old.

Olahraga

Pejabat dan Media, Yuk Jangan Lebay Mendukung Zohri Agar Karir Larinya Terus Cemerlang

Kemenangan pelari Lalu Muhammad Zohri di Kejuaraan Dunia U-20 jadi sejarah kancah atletik Tanah Air. Masalahnya, memberi 'perhatian' dan merecoki perkembangan karir Zohri beda-beda tipis.
Lalu Muhammad Zohri merayakan keberhasilannya menjuarai lari 100 meter di arena Kejuaraan Dunia Tampere, Finlandia. Foto oleh Lehtikuva / Kalle Parkkinen/ via Reuters

Ketika masyarakat Indonesia sedang fokus menonton keseruan bangsa-bangsa yang sedang berlaga di Piala Dunia Rusia—termasuk membanding-bandingkan jumlah penduduk Kroasia yang cuma empat jutaan tapi sukses melaju ke babak final melawan Prancis—seorang atlet muda menggebrak kesadaran publik. Indonesia rupanya senantiasa menghasilkan atlet muda yang potensial sekaligus berprestasi.

Namanya Lalu Muhammad Zohri, baru 18 tahun. Dia berhasil mengungguli pelari muda potensial lainnya asal Amerika Serikat, Swedia, Inggris, maupun Jamaika, dengan menjadi juara dunia nomor 100 meter putra yang digelar Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF) di Kota Tampere, Finlandia, Rabu (11/7). Zohri mencatatkan rekor 10.18 detik, tercepat di ajang kejuaraan dunia U-20 selama tiga dekade terakhir, maupun menjadi rekor tersendiri bagi cabang atletik Indonesia. Baru Zohri lah pelari tanah air yang sanggup meraih juara selama keikutsertaan kontingen Indonesia di kompetisi prestisius ini.

Iklan

"Saya sangat bangga sekali dengan apa yang saya dapat hari ini. Ini sangat luar biasa,” kata Zohri saat diwawancarai staf humas IAAF seusai pertandingan.

Simak di video ini momen Zohri berhasil menaklukkan pelari tangguh belia yang sudah punya reputasi lebih mapan seperti Anthony Schwartz atau Eric Harrison:

Pengguna Internet di media sosial maupun Youtube segera mabuk dengan euforia. Komentar-komentar klise—sekaligus menyindir elit pengurus sepakbola—mencuat di sana-sini. "Atlet yang seperti ini harusnya dapat perhatian pemerintah, jangan sepakbola melulu padahal ga ada hasil," atau "Ayo viralkan, jangan sampai atlet kayak gini kalah dari bintang alay."

Tapi benarkah perhatian dibutuhkan oleh atlet muda seperti Zohri?

Jika perhatian artinya adalah diarak ke acara-acara kenegaraan, diundang datang ke sana-sini oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, atau ditawari jadi bintang iklan, sebaiknya sih enggak usah saja. Indonesia sudah punya rekam jejak panjang sebagai bangsa kagetan akibat sekian lama merasa tidak punya prestasi mentereng di dunia olahraga, padahal jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa.

Perasaan inferior dalam olahraga itu baru bisa dilipur atlet bulu tangkis. Cabang olahraga lainnya nyungsep. Sayangnya, indikasi berbagai pihak segera menghujani Zohri dengan perhatian berlebihan sudah muncul, baik dari media massa maupun pejabat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani lewat keterangan tertulis "mengapresiasi" prestasi Zohri yang menurutnya bisa memicu semangat para atlet cabang olahraga atletik lain menghadapi Asian Games 2018 pada Agustus mendatang. "Pemerintah telah menyiapkan infrastruktur menjelang Asian Games. Harapannya, selain sukses infrastruktur, Indonesia bisa mencapai sukses prestasi," kata Puan.

Iklan

Kemenpora, dalam kesempatan berbeda, mengklaim segera akan memberikan "penghargaan" buat atlet muda asal Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tersebut. Media massa segendang sepenarian fokus pada sanjung puji pejabat dan 'netizen' terhadap prestasi Zohri. Ironisnya, dalam waktu bersamaan cerita Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia kesulitan mengirim atlet ke Kejuaraan Dunia di Finlandia, lantaran aspek dana dan teknis, hanya dapat porsi seiprit saja oleh media massa. Semuanya sibuk menyorot pujian buat Zohri.


Tonton dokumenter VICE tentang perenang difabel asal Yogya yang berusaha menghadapi trauma dan akhirnya menjadi juara:


Sorotan berlebihan pernah diberikan kepada timnas sepakbola U-19 yang menjadi juara ASEAN asuhan Indra Sjafri. Ekspektasi tinggi dan larangan menerima iklan—seakan-akan Evan Dimas dkk dapat menjadi juru selamat sepakbola nasional—akhirnya berakhir buruk ketika mereka beralih ke timnas senior. Lalu, benarkah kita peduli pada perkembangan pemain muda sebelum mereka meraih juara? Nyatanya Egy Maulana Vikri dkk memperoleh cibiran dan sorakan penonton Maret lalu ketika bermain buruk dan dikalahkan Jepang U-19 dengan skor mencolok 1-4 di Gelora Bung Karno.

Atau masih ingat Angelique Widjaja? Petenis perempuan ini begitu didewa-dewakan setelah meraih prestasi cemerlang menjuarai Wimbledon junior pada 2001. Tapi setelahnya pemerintah tak pernah berusaha mengorbitkan dan mendukung petenis lain. Semua beban prestasi dibebankan pada Angelique. Regenerasi atlet tenis mandek dan tak banyak pihak peduli.

Iklan

Akui saja, publik, pejabat, hingga media massa (selain yang fokus mengulas olahraga) di Indonesia tak pernah peduli dengan pembinaan atlet muda. Atlet muda hanya dipedulikan ketika mereka berhasil meraih prestasi. Kelakuan kita di Tanah Air sebetulnya tak jauh beda dari sensasionalisme norak media-media Inggris yang tempo hari berlebihan membangun hype gila-gilaan soal 'it's coming home' tapi hasil akhirnya The Three Lions balik kandang karena ditundukkan Kroasia.

Ketika redaksi VICE mengusulkan semua pihak menjauh dari atlet muda yang berprestasi, tentu bukan berarti kami menolak pujian dan sanjungan bagi Zohri. Tidak. Tapi momentum ini, jika memang publik betulan peduli pada olahraga, harus dipakai untuk menekan pemerintah dan pengurus cabang olahraga masing-masing agar serius melakukan pembinaan pemain muda.

Prestasi olahraga tak jatuh dari langit. Itu bukan anugrah. Sebaliknya, jalan mencapainya butuh perjuangan panjang, latihan keras, kesempatan rutin menghadapi kompetitor kelas dunia, dan pembinaan atlet muda yang sistematis. Sudah banyak yang menyorot syarat-syarat tersebut supaya olahraga Indonesia tak lagi memble. Hanya bulu tangkis yang konsekuen menjalankan rumus tersebut sehingga cabang olahraga satu ini terus mampu unjuk gigi di ajang internasional. Christian Hadinata ketika diwawancarai VICE, mengaku tak ada rahasia yang rumit dari kesuksesan para pemain badminton kita. Semua adalah hasil adanya kompetisi rutin bagi para atlet muda di Cipayung, Slipi, Kudus, atau Surabaya.

Iklan

Hasilnya, Indonesia selalu memperoleh talenta pebulu tangkis muda yang membuncah dilengkapi speed+insting+variasi pukulan kaya. "Selain itu dalam tiap nomor idealnya harus ada pemain yang dijadikan panutan atau mentor [bagi atlet muda]," kata Christian Hadinata.

Tentu semua prasyarat di atas lebih mudah diucapkan daripada dipraktikkan. Makanya, bagi media dan publik, berhentilah mendukung hanya ketika si atlet meraih prestasi membanggakan.

Beruntung, Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung saat diwawancarai CNN Indonesia, menyuarakan pesan penting yang seharusnya diingat para pejabat, pengelola media, maupun publik yang sedang dilanda euforia terhadap Zohri. "Dia masih sangat muda. Biarkan dia berkembang secara alami. Pokoknya jangan dipaksakan."

Dukungan terbaik adalah memberi atlet potensial seperti Zohri akses mengikuti kompetisi tertinggi yang reguler dan pelatih kelas dunia. Datang ke arena pertandingan di Hari H dan mendukung sang atlet apapun hasil akhirnya, juga sama pentingnya. Jika cuma ingin menangnya dan abai saat mereka melakoni jalan sunyi berlatih dan meraih prestasi, lebih baik enggak usah lebay deh. Menjadikan Zohri juru selamat bukan solusi yang baik.